UNI Eropa segera menyepakati Undang-Undang Anti Deforestasi dalam Europe Union Due Diligence Regulation (EUDDR). Undang-undang ini akan memasukkan aturan untuk memastikan perusahaan menghormati hak asasi manusia (HAM) masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai syarat impor produk ke negara-negara Uni Eropa.
Hak masyarakat adat yang dimaksud adalah persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (free, prior, and informed consent, FPIC) dalam hal pembangunan. "Keputusan parlemen Eropa ini tepat,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebuah LSM, pada 14 Sepember 2022.
Menurut Uli, aturan bebas deforestasi dan perlindungan HAM terhadap masyarakat adat adalah keniscayaan. Menurut Uli, aturan Uni Eropa ini bisa menuurunkan laju deforestasi dan perlindungan masyarakat adat. "Pemerintah Indonesia harus segera berbenah,” kata Uli.
Sebagai bagin dari pembenahan, pemerintah mesti memperbaiki tata kelola sawit dan industri kehutanan Indonesia. Kayu, kedelai, kopi, dan sawit adalah empat komoditas ekspor Indonesia ke Uni Eropa.
Pembenahan tata kelola itu, kata Uli, mencakup pemberian izin, lahan, evaluasi terhadap perusahaan kelapa sawit, pembalakan, hasil hutan kayu, dan perusahaan HTI atau hutan tanaman industri. Menurut dia, mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 3,3 juta hektare sawit di kawasan hutan yang mendorong deforestasi.
Bagi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan mili korporasi, Uli menyarankan agar pemerintah mencabut izinnya. Sementara bagi HTI adalah evaluasi rantai pasok kayunya. Menurut dia, 45% bahan baku industri pulp and paper HTI berasal dari hutan alam. “Kayu yang diproduksi juga masih banyak berasal dari luar konsesi izin perusahaan,” katanya.
Operasi-operasi perusahaan itu akan terlarang dalam EUDDR. Uli menjelaskan pemerintah bisa menjamin prasyarat perlindungan HAM untuk masyarakat adat dan komunitas lokal melalui kebijakan perhutanan social, hutan adat dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam kawasan hutan.
Untuk tanah wilayah kelola rakyat yang berkonflik dengan korporasi, kata Uli, harus ada distribusi lahan dengan skema enclave atau pencabutan izin.
Hal lain yang harus dilakukan, kata dia, adalah moratorium izin perkebunan sawit. Dia menilai jika penerbitan izin perkebunan sawit terus dilakukan, deforestasi akan semakin masif.
Perkebunan kelapa sawit saat ini seluas 16,4 juta hektare. Lahannya biasanya bekas perkebunan HTI yang awalnya hutan alam yang dikelola perusahaan HPH. Artinya, perkebunan kelapa sawit mengubah hutan menjadi areal tanaman monokultur.
Pembenahan terakhir adalah penegakan hukum terkait sertifikasi. Parlemen Eropa menyatakan bahwa sertifikasi tidak dapat digunakan oleh perusahaan sebagai pengganti mereka telah melakukan uji tuntas.
Soalnya, selama ini banyak perusahaan yang mengantongi sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) untuk produk kayu dan sawit berkelanjutan (ISPO) justru jadi pelaku deforestasi dan pelanggaran HAM.
Kuncinya, kata Uli, adalah pengawasan yang ketat. Selama ini lembaga sertifikasi yang mengaudit operasional perusahaan kayu dibayar oleh perusahaan yang teraudit. Akibatnya, hasil audit rawan disetir dan dimanipulasi perusahaan. Independensi perusahaan sertifikasi menjadi pekerjaan rumah besar bisnis sertifikasi kayu di Indonesia.
Ketergantungan keuangan pada perusahaan membuat lembaga sertifikasi menjadi tidak independen. Sementara pemerintah tak menyediakan anggaran untuk operasional audit yang mahal.
Uli berharap jika aturan uji tuntas produk impor ke Uni Eropa disahkan akan memberikan dampak positif bagi petani swadaya di Indonesia. Maka untuk menjamin petani Indonesia memenuhi prasyarat uji tuntas, harus ada kerja sama antara perusahaan konsesi dengan petani.
Bagi Indonesia, EUDDR mestinya mendorong tata kelola yang baik bagi komoditas unggulan untuk menaikkan daya tawarnya. Asal-usul komoditas dan cara mengelolanya yang tak menimbulkan deforestasi dan pelanggaran HAM adalah kunci mitigasi iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :