SEKRETARIS Jenderal PBB António Guterres mengatakan bahwa bencana iklim yang terjadi saat ini merupakan dampak penggunaan bahan bakar fosil. Gelombang panas di Eropa, banjir besar di Pakistan, kekeringan berkepanjangan di Cina, Afrika, dan Amerika Serikat adalah beberapa di antaranya. “Tidak ada yang alami dalam skala baru bencana iklim. Itu adalah harga dari kecanduan kita pada bahan bakar fosil,” kata Guterres, 13 September 2022.
Pernyataan Guterres merupakan komentar atas rilis laporan United in Science, multilembaga terkait perubahan iklim, dampak, dan tanggapannya. Laporan ini menekankan tindakan mendesak mengurangi emisi dan beradaptasi dengan krisis iklim.
Dalam laporan itu disebutkan untuk mencegah suhu bumi naik 1,5° Celsius dibanding suhu masa praindustri 1850-1900 perlu upaya tujuh kali lipat dibanding usaha mitigasi krisis iklim saat ini.
Menurut laporan itu, jumlah bencana iklim yang berhubungan dengan cuaca, iklim, dan air saat ini telah meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir. Kerugian yang diakibatkan mencapai US$ 202 juta atau Rp 3 triliun per hari.
Antara Maret dan Mei 2022, New Delhi mengalami lima gelombang panas dengan suhu yang memecahkan rekor mencapai 49,2C. Dengan setengah dari populasi Delhi tinggal di permukiman berpenghasilan rendah dan sangat rentan terhadap panas yang ekstrem, gelombang panas ini menyebabkan dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang menghancurkan.
Pada Juni dan Juli 2022, daratan Eropa juga terkena dua gelombang panas ekstrem dan kekeringan. Suhu Portugal pada Juli mencapai 47C. Untuk pertama kalinya, suhu di Inggris melebihi 40C. Menurut inisiatif Atribusi Cuaca Dunia, krisis iklim yang disebabkan oleh manusia membuat gelombang panas di Inggris setidaknya 10 kali lebih mungkin terjadi.
Karena itu gelombang panas pada musim panas menimbulkan risiko yang signifikan bagi kesehatan manusia, terutama orang tua dan mereka yang lemah secara fisik maupun psikis. Faktor lain, seperti kondisi sosial ekonomi, urbanisasi dan tingkat kesiapan, juga meningkatkan kerentanan mereka.
Secara global, tulis laporan United in Science, pada tahun 2050, lebih dari 1,6 miliar orang yang tinggal di lebih dari 970 kota akan secara teratur terpapar suhu rata-rata tiga bulan yang mencapai setidaknya 35C (95 °F).
Mencairnya lapisan es kutub di Greenland dan Antartika saat ini disebutkan akan memiliki konsekuensi global yang berdampak pada kenaikan permukaan laut yang substansial selama ribuan tahun.
Kota-kota pesisir dataran rendah dan permukiman, seperti Bangkok (Thailand), Houston (AS) dan Venesia (Italia), kemungkinan besar akan menghadapi banjir pesisir yang lebih sering dan lebih luas karena kenaikan permukaan laut, gelombang badai, dan penurunan permukaan tanah.
Berkurangnya tutupan hutan hujan Amazon bakal memberikan konsekuensi lokal dan dampak global yang pada akhirnya mengganggu sistem cuaca utama, seperti monsun.
Efek gabungan suhu dan kelembapan yang tinggi di beberapa wilayah akan mencapai tingkat berbahaya dalam beberapa dekade mendatang. Jika dibiarkan, ambang batas tenaga manusia di luar ruangan tak akan sanggup menanggungnya tanpa bantuan teknis.
Dengan 3,3-3,6 miliar orang yang hidup dalam konteks yang sangat rentan terhadap bencana iklim, tulis laporan United in Science itu, dunia tidak hanya wajib mengurangi emisi karbon, juga beradaptasi dengan perubahan iklim.
"Kita membutuhkan sistem peringatan dini untuk membangun ketahanan terhadap bencana iklim saat ini dan masa depan di komunitas yang rentan. Itulah sebabnya WMO mempelopori upaya memastikan peringatan dini untuk semua dalam lima tahun ke depan,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas.
Talaas menjelaskan bahwa prioritas pertama mencegah dampak bencana iklim adalah memastikan setiap orang di bumi dilindungi oleh sistem peringatan dini dalam lima tahun ke depan. "Ini akan membutuhkan kolaborasi lintas aktor yang beragam dan solusi pembiayaan yang inovatif," katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :