Kabar Baru| 02 April 2019
Ngobrolin Hutan Sosial: Lima Hutan, Satu Cerita
JARANG ada buku yang mengupas perhutanan sosial dengan gaya bercerita. Salah satunya buku ini: Lima Hutan, Satu Cerita, yang ditulis Tosca Santoso, wartawan senior pendiri Kantor Berita Radio 68H. Pada akhir 2018, Koran Tempo memilih sembilan hutan sosial terbaik dengan sajian naratif. Selebihnya, artikel soal perhutanan sosial disajikan dalam bentuk penelitian-penelitian yang ditulis dengan gaya jurnal yang kering.
Padahal, hutan sosial menyangkut orang, para petani di sekitar hutan yang sejak lahir dan tumbuh bersama ekosistem rimba. Mereka yang menjaga hutan-hutan adat atau pemilik-pemilik lahan kecil yang menggantungkan hidup sepenuhnya kepada alam.
Tosca Santoso memilih gaya bercerita dengan subjek para petani itu, menggabungkannya dengan serentet kebijakan pemerintah yang masif mengakui pengelolaan hutan kepada masyarakat dalam program perhutanan sosial. Juga data-data detail untuk menunjukkan dampak sosial, ekonomi, dan ekologi sebuah hutan yang dikelola sebuah komunitas.
Ketika membahas kebijakan dan data, Tosca menggabungkannya dengan cerita para petani itu sehingga angka-angka menjadi hidup, menjadi penopang cerita, tak sekadar hiasan agar tulisan terkesan rada ilmiah. Selebihnya adalah narasi tentang manusia: bagaimana para nelayan di Kubu Raya, Kalimantan Barat, membudidayakan kepiting dan lebah Trigona dengan menjaga hutan bakau yang menjadi bahan baku madu.
Atau cerita Dudu Duroni yang bertahan menjadi petani kopi di bukit Sarongge kendati awalnya tak populer di mata tetangganya. Kopi adalah komoditas menahun yang hasilnya tak bisa langsung dipetik setelah ditanam. Butuh tiga tahun bagi Dudu, orang Cianjur yang ulet ini, menunggu panen kopi pertama yang kemudian meledak di pasar. Karena bertahan menjadi petani kopi, Dudu bahkan harus bercerai dengan istrinya karena tak tahan menunggu kebunnya memberi hasil.
Cerita sukses Dudu kemudian mendorong para petani lain menanam kopi dengan menggabungkannya dengan tanaman cepat untuk menopang hidup sehari-hari lewat sistem agroforestri. Kini, kopi Sarongge bahkan pernah dipamerkan dalam festival kopi di London. Kini kedai-kedai kopi di Cianjur tak afdal jika tak memajang kopi Sarongge yang menjadi produk dan oleh-oleh khas kabupaten ini. Meskipun belum setenar kopi-kopi dataran tinggi Bandung atau Garut, kopi Sarongge menjanjikan karena kekhasan aromanya.
Para petani Cianjur bertekad mengembalikan kejayaan kopi Cianjur yang pernah harum namanya dalam pasar kopi hingga Belanda. Di zaman pendudukan VOC, Bupati Cianjur disambut dengan kereta emas ketika datang ke Batavia karena para pejabat VOC berterima kasih kepadanya telah menghasilkan komoditas unggulan yang menjadi nomor satu di pasar Eropa.
Kopi Cianjur kemudian redup seiring revolusi kemerdekaan. Para petani meninggalkan komoditas ini karena serangan hama daun kopi, selain karena trauma akan kerja paksa. Bagi orang Cianjur, kopi melambangkan kerja paksa para petani yang ditindas oleh para penjajah. Tosca menggabungkan sejarah perkopian ini dengan geliat petani Sarongge menanam kopi dalam lima tahun terakhir.
Sebetulnya bukan hanya cerita-cerita manis para petani yang memetik hasil dari hutan sosial setelah mereka diberikan hak oleh pemerintah melalui sertifikat pengelolaan. Tosca bahkan lebih banyak mengulas tentang jalur berbelit para petani ini mendapatkan hak pengelolaan itu karena keharusan birokrasi menyediakan proses yang bersih secara hukum dalam merespons pengajuan hak hutan sosial, selain tergopoh-gopohnya para petani itu sendiri menyediakan prasyarat memperoleh sertifikat.
Para petani tak terbiasa berurusan dengan administrasi. Bahkan ketika sertifikat itu sudah diberikan, tantangan lain adalah mendapatkan modal. Bank-bank negara menyediakan mikrokredit untuk para petani, tapi skema tanaman menahun membuat bank kesulitan mendapatkan pengembalian cicilannya karena hasilnya baru muncul tiga tahun kemudian. Walhasil, kredit yang sudah diberikan pun macet akibat skema cicilan tak sesuai dengan sistem bank.
Problem lain adalah pemasaran. Setelah hutan sosial berhasil, modal cukup, para petani menghadapi belantara pasar yang ruwet dan rantainya yang panjang. Tosca mengupas soal ini di tiap hutan sosial yang ia bahas dengan menampilkan peran para pendamping yang membantu para petani menembus pasar produk hutan mereka.
Lima cerita dari lima hutan ini menunjukkan dengan terang bahwa keberhasilan perhutanan sosial jika ia ditopang pranata sosial dan ekonomi yang solid: ada kemauan petani yang gigih, para pendamping yang ulet, pembiayaan untuk modal, juga off taker untuk akses ke pasar. Ada potensi ekonomi yang sangat besar di balik hutan sosial yang bisa menopang hidup jutaan keluarga di sekitar hutan.
Dan buku ini baru memotret lima cerita dari 5.000 lebih hutan sosial yang sudah ada di Indonesia. Simak diskusinya pada Jumat, 5 April 2019 pukul 13.00 di Ruang Rimbawan I Gedung Manggala Wanabakti. Buku ini akan dibagikan gratis kepada peserta yang hadir.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :