PRESIDEN Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) pekan lalu. Berdampakkah pada harga listrik EBT?
Dalam konsideran menimbang, PP 112/2022 itu bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca yang disemburkan dari energi fosil seperti minyak, gas, dan batu bara. Sektor energi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.
Pada 2019, sektor pembangkit listrik bertanggung jawab terhadap 35% emisi gas rumah kaca di Indonesia, diikuti transportasi dan industri masing-masing 25%. Kontribusi emisi karbon dioksida (CO2) yang begitu besar dari sektor energi listrik karena 47% pembangkit listrik di Indonesia memakai bahan bakar fosil. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dan menjadi penopang dari pembangkit listrik yang ada saat ini.
Berdasarkan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC), Indonesia memiliki target menurunkan emisi karbon sebesar 29% atas usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dan nol emisi karbon pada 2060.
Meski penyumbang emisi terbesar, sektor energi hanya akan menurunkan 11% atau 314 juta ton setara CO2 jumlah emisi gas rumah kaca pada 2030, di bawah target sektor kehutanan dan penggunaan lahan sebesar 17,2%.
Jika sektor kehutanan melalui FOLU net sink untuk menurunkan emisi, sektor energi melalui transisi energi fosil ke EBT. Peraturan Presiden akan mempercepat pengembangannya. Dalam RUPTL atau rencana usaha penyediaan tenaga listrik bauran energi terbarukan pada 2030 ditargetkan sebanyak 25%. Kini masih di bawah 15%.
Data dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) menunjukkan kapasitas pembangkit listrik hingga bulan Juni 2021 sebesar 73.341 megawatt, dengan PLTU batu bara menopang 47% kapasitas. Sementara Pembangkit Listrik Tenaga EBT dan lainnya hanya 2.215 MW (3%).
Peraturan Presiden yang baru diteken itu mendorong adanya pergeseran dari sisi keekonomian. “Penentuan tarifnya dilakukan dengan memperhatikan masukan dari para stakeholder,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM, Dadan Kusdiana. “Nanti setiap tahun Menteri ESDM itu akan menetapkan kembali dari sisi harganya."
Peraturan ini, kata dia, dibuat untuk menjaga daya saing Indonesia. Dukungan di tingkat keekonomian yang wajar dibuat dengan sistem staging. Staging adalah tarif yang berlaku akan berubah dalam beberapa tahapan.
Tahapan staging adalah pengusahaan pembangkit di 10 tahun pertama akan mendapatkan harga lebih tinggi dari harga rata-rata. Sepuluh tahun adalah perkiraan usaha listrik balik modal.
Setelah balik modal, tarif ini turun karena sudah tidak ada keperluan untuk mengembalikan investasi. Harga listrik EBT pun akan lebih rendah tetapi tetap memberikan porsi yang wajar bagi pengembang pembangkit di atas 10 tahun. “Prosesnya nanti melalui tender dan angka harga listrik EBT yang ada dalam peraturan presiden ini adalah angka maksimum,” kata Dadan.
Berdasarkan peraturan tersebut, harga tertinggi untuk pembelian listrik dari dari pembangkit energi terbarukan yang sepenuhnya dibangun pemerintah (termasuk dari dana hibah):
Di masa mendatang, sumber energi akan diarahkan ke industri hijau dan tidak ada pembangunan PLTU baru. Namun PLTU yang sudah beroperasi, sedang dibangun, dan sudah masuk RUPTL akan terus berjalan.
”Kami stop untuk pembangunan pembangkit (PLTU) baru, namun perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini,” ujar Dadan. Menurut Dadan, pemberian izin operasi PLTU tidak hanya pembangkit dalam jaringan PLN tetapi juga PLTU yang dibangun secara mandiri oleh perusahaan.
Pada April lalu, Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menjelaskan hal serupa. Dia menyebutkan bahwa PLTU batu bara milik PLN akan dipensiunkan lebih cepat. “Bisa dengan mekanisme co-firing maupun dialihkan dulu menggunakan gas,” katanya. Pembangkit listrik dari gas alam, kata dia, akan dipensiunkan setelah 30 tahun.
Meski tidak ada lagi pemberian izin pembangunan PLTU baru, kata Yudo, kontrak PLTU dengan swasta yang sudah telanjur disepakati tidak akan dibatalkan. “Kontrak PLTU swasta akan dilanjutkan dan setelah nanti kontraknya habis tidak akan dilanjutkan,” kata Yudo. Kontrak paling lama PLTU batu bara yang sudah disetujui berakhir 2057 dan gas alam 2054.
Pembangunan PLTU batu bara akan setop pada 2030. Setelah itu hanya ada pembangkit listrik EBT. Dengan begitu, harga listrik EBT setelah 2030 akan makin rendah karena pasokannya akan terus bertambah setelah 2030. Masalahnya, tahun 2030 adalah tahun penentuan apakah Indonesia bisa mencapai net zero emission pada 2060 atau tidak.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :