Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 September 2022

Sah! Komoditas Terkait Deforestasi Tak Boleh Masuk Eropa

Parlemen Uni Eropa mengesahkan aturan bebas deforestasi (EUDDR) untuk enam komoditas yang berpotensi merusak hutan.

Petani kopi Sunda Hejo di Garut, Jawa Barat, yang memanfaatkan hutan lindung di Gunung Mandalawangi yang konsesinya dipegang Perum Perhutani (Foto: Rifky Fauzan/FD)

PARLEMEN Uni Eropa akhirnya mengesahkan aturan uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan. European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) tersebut disetujui mayoritas anggota parlemen sebagai aturan yang melarang 27 negara anggotanya menerima enam jenis produk yang merusak hutan.

Dalam pemungutan suara pada 13 September 2022 itu, sebanyak 453 anggota setuju aturan antideforestasi itu, melawan 57 yang menolak, dan 123 suara abstain. Enam produk yang harus bebas deforestasi itu adalah kayu, minyak sawit, kopi, cokelat, kedelai, dan daging.

Konstruksi Kayu

Dari enam produk itu, Indonesia mengekspor empat komoditas, kecuali daging dan kedelai. Karena itu aturan baru bebas deforestasi ini akan berdampak pada produk-produk hasil hutan Indonesia. Sawit Indonesia dianggap sebagai penyebab deforestasi karena mengubah hutan menjadi kebun, juga kayu, kopi, dan peternakan.

Larangan itu juga termasuk produk komoditas sebagai produk turunannya, seperti kulit, cokelat, dan mebel. Parlemen Eropa juga ingin memasukkan daging babi, domba, kambing, dan unggas, jagung, karet, arang dan kertas.

Apabila Indonesia menerima regulasi tersebut pemerintah harus mematuhi aturan dengan sistem verifikasi dan sertifikasinya yang telah ditetapkan Eropa, termasuk di dalamnya produk mebel dan kerajinan Indonesia berbasis kayu yang masuk pasar UE harus memiliki sertifikasi Dewan Forest Stewardship Council (FSC) meskipun Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK).

Produk kehutanan bebas deforestasi adalah produk yang berasal dari hutan yang bukan dari pembalakan liar, bukan dari kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung. Asal-usul produknya dapat ditelusuri rekam jejak dari hulu sampai hilir. Mari kita bahasa satu per satu:

Minyak sawit mentah (CPO). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini terdapat 3,1 -3,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare.

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.

Dari 3,1 juta hektare, jika kita pakai data KLHK, 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan agar ilegal. Ada dugaan karena sawit ini sebagai perkebunan sawit rakyat perorangan.

Kopi. Sentra-sentra kawasan produksi perkebunan kopi pada umumnya terdapat di daerah dengan topografi berbukit dan bergunung-gunung yang pada umumnya adalah kawasan hutan lindung atau hutan konservasi. Banyak kasus terjadi kawasan perkebunan kopi ini sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan secara ilegal selama bertahun-tahun yang pada akhirnya menimbulkan konflik tenurial antara pemerintah dengan masyarakat.

Sebagai solusi, kebun kopi bisa terus berlangsung namun harus dicampur dengan tanaman kehutanan dalam konsep agroforestri yang sekarang dilegalkan dalam kegiatan perhutanan sosial. Sebagai contoh budidaya kopi di hutan lindung Mandalawangi di hutan lindung Perum Perhutani.

Cokelat. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil terbesar produksi kakao di Indonesia. Masih ada kebun-kebun kakao milik masyarakat yang masuk dan merambah hutan konservasi kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. 

Karet. Di era Menteri Kehutanan dan Perkebunan Hasjrul Harahap, komoditas karet dimasukkan dalam golongan tanaman hutan. Payung Hukum HTI Karet Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 160/Kpts-II/1996 tentang Biaya Satuan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) jenis karet, pengaturan kawasan hutan didasarkan fungsi dan manfaat utamanya untuk kesejahteraan rakyat.

Jika mengacu pada regulasi penerapan bebas deforestasi Uni Eropa ada aturan sektor kehutanan yang tidak sejalan dengan regulasi tersebut:

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan. Di pasal 20, 21, dan 22 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Rehabilitasi hutan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi dengan pola agroforestri.

Reboisasi agroforestri dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat. Secara tersirat, kegiatan reboisasi dengan pola agroforestri dengan kebun campuran (termasuk komoditas kopi dan kakao), diizinkan secara legal dalam kawasan hutan lindung. Padahal skala prioritas bebas deforestasi adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Maka pasal-pasal dalam PP 26/2022 ini tidak sejalan dengan regulasi bebas deforestasi Eropa.

Kedua, PP 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara PNPB yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Pasal 27 dan 28 memuat konsep jangka benah. Jangka benah adalah revitalisasi kebun sawit dengan agroforestri sawit guna peningkatan produktivitas lahan dan menjaga biodiversitas.

Tampaknya, Eropa tidak menghendaki adanya agroforestri sawit di dalam kawasan hutan produksi, apalagi di hutan lindung dan konservasi. Eropa tidak menghendaki perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.

Ketiga, peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial yang mengizinkan perhutanan sosial di hutan lindung dan hutan konservasi. 

Agaknya perlu penyelarasan dan memastikan definisi deforestasi dalam aturan EUDDR. Dalam banyak kajian, agroforestri menjadi cara menaikkan nilai hutan. Perhutanan sosial dan agroforestri telah terbukti meningkatkan tutupan hutan, berkebalikan dengan aturan bebas deforestasi Uni Eropa.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain