Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 September 2022

Perladangan Berpindah yang Kian Surut

Benarkah perladangan berpindah menyebabkan deforestasi sehingga dilarang?

Area food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Foto: Dok. Tempo)

DI tahun 1970-an istilah perladangan berpindah (shifting cultivation) populer di kawasan hutan alam di Indonesia. Penelitian telah membuktikan praktik mengolah lahan secara tradisional ini  tak berdampak negatif karena skalanya kecil. 

Deforestasi besar justru terjadi setelah pemerintah mengizinkan investasi membuka hutan pada 1968. Sementara perladangan berpindah menciptakan siklus hutan memulihkan diri secara alamiah (suksesi alami).

Konstruksi Kayu

Dari aspek sosiokultural, etnis Dayak yang hidup di Kalimantan telah mempraktikkan perladangan berpindah ratusan tahun. Bagi masyarakat adat perladangan berpindah adalah pertanda batas terluar daya jelajah wilayah (home range) hutan adat dengan hutan adat yang lain dan atau dengan kawasan hutan negara.

Dengan izin investasi membuka hutan dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH) dan alih fungsi hutan untuk perkebunan besar seperti sawit di era Orde Baru (1968-1998), perlahan-lahan tapi tradisi perladangan berpindah kian tersisih dan surut digusur oleh HPH dan perkebunan besar. Padahal dibalik kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat etnis Dayak terdapat kearifan lokal yang menjunjung tinggi untuk mempertahankan kelestarian hutan yang tidak dimiliki oleh etnis lain.

Ciri khas perladangan berpindah adalah mengolah lahan sebelum ditanam, secara tradisional dilakukan pembakaran gulma (weed). Menurut laporan Suriansyah Murhaini dan Achmadi  di jurnal Heliyon (2021), membakar gulma sebelum menanam merupakan cara petani Dayak beradaptasi dengan lingkungan spesifik.

Abu dan arang yang dihasilkan dari pembakaran dibutuhkan untuk menyuburkan lahan. Berbeda dengan pertanian di Jawa dan Bali yang secara alami mendapatkan hara dari erupsi gunung berapi, Kalimantan tidak memiliki gunung api.

Setelah ditanami beberapa musim dan unsur hara mulai menipis, lahan akan ditinggalkan sehingga menjadi hutan kembali, sebelum kembali ditebas, dibakar dan ditanami lagi. Teknik bercocok tanam ini sebenarnya bukanlah perladangan berpindah melainkan teknik bertani gilir balik.

Pembakaran ladang dilakukan melalui berbagai peraturan adat, termasuk membuat sekat bakar untuk menjaga agar api tak meluas. Dengan pengetahuan tradisional ini, para peladang etnis Dayak menolak dikambinghitamkan atas kebakaran hutan dan lahan yang meluas pada tahun 2015 ataupun setelahnya.

Studi ilmiah juga menunjukkan teknik pertanian gilir balik lebih ramah lingkungan dibandingkan semua jenis pembukaan hutan untuk penggunaan lain di Kalimantan termasuk perkebunan monokultur kelapa sawit dan karet (Nicolas Labriere, dkk dalam PLOS ONE, 2015).

Ketika petani tradisional dilarang membuka ladang dengan membakar gulma karena dituding sebagai salah satu sumber deforestasi dan kerusakan lingkungan, faktanya deforestasi dan kehancuran lahan gambut baru terjadi setelah Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare 1995/1996 dinyatakan gagal oleh pemerintahan Habibie.

Pembukaan lahan dengan membakar hutan dilarang oleh regulasi terbaru yang diatur dalam UU Cipta Kerja  yang mengubah pasal 69 ayat (1) huruf h UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Meski begitu, ketentuan ini dikecualikan bagi masyarakat yang membuka lahan tersebut dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud adalah membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare per kepala keluarga  untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi sekar bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Artinya membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan/diizinkan, namun harus mengikuti persyaratan tertentu yang telah ditetapkan. 

Kearifan lokal dalam membuka lahan juga rendah emisi karbon dibanding dengan budidaya sawah padi sawah yang tergenang. Sebuah studi menunjukkan, teknik bercocok tanam padi di sawah juga penyumbang utama emisi metana, gas rumah kaca paling merusak. Secara global, padi sawah menghasilkan 12% emisi metana global dan 1,5% dari total emisi gas rumah kaca. 

Laporan Xiaoming Xu dari University of Illionis dan tim (Nature Food, 2021) menunjukkan padi sawah merupakan penyumbang emisi tertinggi kedua di antara semua produk pertanian setelah peternakan sapi. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kilogram emisi untuk memproduksi 1 kilogram beras.

Tingginya emisi tanaman padi karena ada bakteri penghasil metana dalam kondisi anaerobik di sawah tergenang. Emisi dari budidaya padi sawah yang intensif, bisa berasal dari pupuk kimia, berbahan dasar minyak bumi.

Perladangan berpindah juga jauh lebih rendah menghasilkan emisi dibandingkan proyek food estate di Kalimantan Tengah. Di Gunung Mas, hutan dibuka lalu ditanami singkong sehingga emisi terlepas begitu masif.

Petani di Kapuas dan Pulang Pisau sebenarnya telah mencoba mempraktikkan menanam tanpa membakar, tapi gagal. Perladangan berpindah di Kalimantan Tengah telah terhenti. Sistem paludikultur, bercocok tanam di lahan gambut, belum tersosialisasi dengan baik.

Dengan terhentinya perladangan berpindah ini, sedikit banyak akan berdampak melemahnya ketahanan pangan masyarakat. Pertanian tak lagi menarik dibanding pertambangan emas ilegal. Pergeseran tradisi budaya berladang yang telah berlangsung bertahun-tahun itu telah dan akan memicu bencana baru bagi lingkungan, selain bencana sosial.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain