PEMBANGUNAN ekonomi mestinya menyesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan sosial. Sebab, ekonomi akan terkena dampaknya jika daya dukung lingkungan dan sosial tidak menopangnya. Namun, untuk sampai ke sini, perlu cara berpikir baru. Untuk sampai ke sini, ilmuwan harus berpihak.
Di masa depan, lingkungan hidup dan kondisi sosial tak bisa lagi diperlakukan sebagai obyek yang mendapat dampak. Ada kalimat populer dalam judul-judul penelitian “studi dampak (proyek ekonomi bagi) lingkungan. Seharusnya dibalik karena lingkungan yang menjadi penentu nasib masyarakat luas. Dengan begitu, lingkungan hidup dan kondisi sosialnya menjadi “keystone” atau prinsip utama yang menjadi penentu kebijakan dan sistem ekonomi.
Ketika kebijakan ekonomi menempatkan kondisi lingkungan dan sosial yang telah rusak ke dalam proses “yang masih dapat dirusak”, menunjukkan ada yang tak seimbang dalam segitiga kelestarian, yakni sosial, lingkungan, ekonomi. Ekonomi dianggap lebih superior dibanding sosial dan lingkungan. Padahal, degradasi lingkungan dan sosial tak akan tergantikan oleh ekstraksi sumber daya alam.
Saya menyampaikan pemikiran ini ketika diundang berbicara dalam acara ikatan alumni Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman di Samarinda, Kalimantan Timur, pekan lalu. Temanya soal pembangunan ibu kota negara Nusantara.
Tampaknya ada kesepakatan antara pembicara lain dan peserta bahwa rancangan teknokrasi ibu kota negara sudah tidak perlu dibahas lagi. Yang lebih penting adalah menyiapkan segala bentuk rancangan itu bisa benar-benar berjalan di masa depan, dengan memastikan bahwa kondisi lingkungan hidup dan keadilan sosial dipulihkan.
Hal itu berarti pembangunan ibu kota negara tak hanya memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan sosial, justru sebaliknya, pembangunan ekonomi dan teknologi seperti apa yang harus kita jalankan agar fungsi lingkungan meningkat bersama dengan modal sosial yang semakin tumbuh.
Bila cara berpikir ini diterapkan, ada hal-hal penting yang tidak dibicarakan. Misalnya, bagaimana memperbaiki representasi masyarakat agar efektif mengimbangi pengambilan keputusan yang cenderung mengutamakan superioritas ekonomi? Bagaimana mengatasi dominasi “rezim kebenaran” yang didasarkan pada kekuasaan daripada kebenaran yang sejalan dengan kondisi Kalimantan Timur?
Fungsi utama kehidupan manusia dahulu selalu membutuhkan ketersediaan fungsi barang atau jasa publik. Fungsi barang dan jasa publik seperti air dan udara bersih, makanan bergizi, binatang penyerbuk tanaman, pemandangan alam, rasa aman, hubungan harmoni antar sesama, keadilan sosial, selain diproduksi oleh alam, juga diproduksi modal sosial, oleh aksi kolektif atas dukungan norma dan rasa saling percaya di antara kita.
Tentu saja ekonomi juga menyediakan barang dan jasa publik. Tapi semestinya tidak harus selalu mengutamakan teknologi dan efisiensi finansial untuk mewujudkannya. Karena itu, dengan terbatasnya kebutuhan publik dari hasil produksi oleh fungsi lingkungan dan fungsi modal sosial, ekonomi perlu ditetapkan sebagai obyek. Ia perlu diposisikan menjadi obyek dampak, bukan subyek yang memberi dampak.
Sampai pada titik itu, pertanyaannya: mengapa upaya menyeimbangkan kegiatan ekonomi, lingkungan, dan sosial melalui studi Amdal atau analisis mengenai dampak lingkungn, atau lebih luas lagi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), tidak memasukkan unsur “studi kelayakan pemikiran”?
Mungkin orang akan menyangkalnya. Padahal, segala kebijakan dan peraturan berasal dari pemikiran. Perlu kita uji: apakah pemikiran dengan paradigma mengutamakan ekonomi dalam pembangunan bisa diteruskan jika secara sosial tidak bisa diterima? Bagaimana kebenaran ekonomi bisa “menyerap” kebenaran sosial agar menghasilkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan?
Richard Paul dan Linda Elder dalam “The Miniature Guide to Critical Thinking: Concepts and Tools (2008) mendeteksi satu gejala bahwa pemikiran cenderung bias, terdistorsi, parsial karena kurang informasi, dan memerlukan pemikiran kritis. Untuk mencegahnya, perlu komunikasi dengan ragam pemikiran lain untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah serta komitmen mengatasi egosentrisme dan sosiosentrisme.
Para ahli menyebut berpikir kritis adalah mengganti cara berpikir yang melekat dalam paradigma dengan penggunaan standar intelektual tertentu. Maka kita perlu memahami nilai-nilai intelektual inti, yakni rendah hati, menerima perubahan, berintegritas, tekun, dan bertanggung jawab.
Dalam artikel “Peran Kritis Universitas dalam Pembangunan” saya menyitir seorang guru besar filsafat politik yang mengutip Jacques Derrida yang menawarkan tanggung jawab universitas terkait dengan pentingnya berpikir kritis itu. Bagi Derrida, memikirkan peran universitas berarti memikirkan kembali potensi melahirkan pola pikir kritis yang dibutuhkan masyarakat. Tapi universitas juga rentan terhadap pengaruh kekuatan pasar yang membahayakan gagasan pendirian universitas itu.
Karena itu Derrida menganjurkan agar para ilmuwan, terutama di bidang humaniora, memiliki tanggung jawab moral. Komitmen etis dan perlawanan terhadap kekuatan pasar tidak hanya terbatas pada teori, juga usaha membentuk aliansi dengan kekuatan di luar universitas.
Dalam hal ini, Ellen M. Maccarone dalam “The Moral Case for Scientists as Advocates for Environmental Policy” (2013), menyatakan bahwa para ilmuwan semestinya memiliki aliansi dengan kekuatan di luar komunitasnya, misalnya, dengan menjadi pendukung atau advokat kebijakan lingkungan.
Maccarone punya tiga alasan:
Pertama, karena ilmuwan juga warga negara. Tidak pantas mereka menolak kesempatan mengadvokasi hal-hal yang mereka anggap penting.
Kedua, para ilmuwan yang memiliki keahlian di bidang kebijakan lingkungan harus mengadvokasi posisi-posisi yang memerlukan pengetahuan mereka.
Ketiga, advokasi tak harus objektif, seperti penelitian ilmiah. Ilmuwan tidak boleh netral bahkan harus berpihak pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Pemikiran kritis amat penting dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tidak seperti barang dan jasa ekonomi, jasa lingkungan hidup dan modal sosial secara umum tidak bisa diimpor. Mereka menjadi kekayaan yang tidak bisa dihambur-hamburkan.
Oleh karena itu secara kumulatif sebagai pembatas. Mereka semestinya diletakkan sebagai pusat perlindungan ekonomi politik, bukan sebagai obyek dampak belaka. Sebagai advokat, para ilmuwan harus berpihak pertama-tama kepada kepentingan lingkungan dan sosial.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :