Kabar Baru| 12 April 2019
Dampak Perhutanan Sosial Terhadap Hutan dan Masyarakat
SEBUAH hutan sosial dinilai berhasil dan sukses jika ia memenuhi tiga tujuan utama: secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Ukuran ekonomi bisa dilihat dari kesejahteraan petani yang meningkat setelah melakukan praktik perhutanan sosial; secara sosial tak lagi ada konflik lahan, baik antar masyarakat maupun antar masyarakat dengan negara; dan secara ekologi adalah terpeliharanya hutan di atasnya.
Perhutanan sosial adalah skema pemberian hak mengelola hutan negara kepada masyarakat, yang sejatinya sudah dimulai sejak pertengahan 1980-an, setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta yang bertema "forest for people". Dalam skema perhutanan sosial hari ini, masyarakat diberikan hak mengelola lahan 2 hektare di tanah negara selama 35 tahun dan memberdayakannya untuk memenuhi tiga tujuan itu. Ada beberapa skema untuk mencapainya: skema hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan kemitraan kehutanan.
Untuk mengukuhkan pengelolaan tersebut, pemerintah memberikan sertifikat hak mengelola kepada tiap-tiap individu yang mengolah lahan di hutan negara itu. Sertifikat ini bisa membuka akses kepada permodalan, misalnya sebagai kolateral kepada bank, dan kepastian hukum masyarakat mengelola hutan untuk hidup mereka.
Buku ini mengupas tiga perspektif itu untuk mengukur dampak perhutanan sosial di Lampung dan Yogyakarta, terutama setelah dikukuhkan sebagai kebijakan utama sejak 2014. Para penelitinya berasal dari Universitas Lampung, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada. Para peneliti berhimpun di bawah koordinasi Profesor Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Para peneliti mewawancarai petani hutan sosial di dua provinsi itu, menelaah hasil panen dan tanaman agroforestri mereka, lalu mengukur tutupan tajuk hutan untuk menilai dampak ekologi terhadap lingkungan.
Hal paling menonjol dari hasil wawancara dengan para petani, baik di Lampung maupun Yogyakarta, adalah aspek keamanan mengelola lahan dibanding sebelum mereka mendapatkan sertifikat perhutanan sosial. Para petani mengatakan tak lagi cemas dikejar polisi hutan tiap kali mereka masuk rimba yang menjadi ekosistem hidup mereka sejak awal.
Dampak ikutan dari rasa aman mengolah lahan adalah para petani turut menjaga hutan. Mereka tidak lagi berburu hewan yang hidup liar di sana atau mencari kayu di tempat-tempat yang bukan hak mereka memasukinya. Dengan kata lain, perhutanan sosial telah membuat masyarakat dan polisi hutan harmonis dalam menjaga rimba.
Dari dua ilustrasi itu terlihat ada dua dampak perhutanan sosial yang telah berhasil dalam perspektif sosial dan lingkungan. Konflik antara petugas negara yang punya hak menindak para pengganggu hutan dengan masyarakat yang membutuhkan hutan untuk hidup mereka. Sebelum ada perhutanan sosial, jamak kita ketahui masyarakat dan petugas negara adalah “musuh diam-diam” yang saling mengintip kelengahan masing-masing. Masyarakat yang masuk hutan akan dianggap sebagai kriminil yang harus dihukum.
Buku ini kaya dengan data yang berguna untuk membuktikan dampak perhutanan sosial terhadap tiga aspek itu. Meskipun ada beberapa hutan sosial yang terlihat kurang signifikan dampak terhadap tiga ukuran tersebut karena ternyata praktik pengelolaannya kurang dari tiga tahun setelah para petaninya mendapat sertifikat kelola, tapi secara umum dampak pengelolaan hutan oleh masyarakat memberikan hasil yang lumayan.
Hutan sosial umumnya bukan tanaman semusim yang panen dua-tiga bulan setelah ditanam. Tanaman di hutan sosial umumnya tanaman menahun yang baru berdampak secara ekonomi bagi pendapatan keluarga setelah panen.
Selain mengukur tiga perspektif itu, penelitian ilmiah ini juga menyinggung peran pendamping yang ikut menentukan keberhasilan sebuah hutan sosial. Tak kalah penting adalah akses pasar dan permodalan. Dengan kata lain, ada rantai suplai yang tidak bisa diabaikan sebuah hutan sosial memenuhi aspek-aspek pengelolaan secara sosial, ekonomi, dan ekologi: sertifikat, petani, pendampingan, bank/permodalan, off taker/perantara produk, pasar.
Dari 5.000 perhutanan sosial yang sudah disahkan pemerintah, baru 1.000 lebih yang mendapatkan pedampingan secara kontinyu baik dari organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Mereka yang belum mendapat pendampingan perlu diteliti lebih jauh soal dampak pengelolaan secara mandiri sehingga keberadaan pendamping bisa dikalkulasi keberadaannya. Sebab fungsi pendamping tak akan berarti jika tidak ada keinginan kuat di kalangan petani sendiri mempraktikkan hak mereka di hutan negara.
Bagi yang tertarik, silakan unduh buku Dampak Perhutanan Sosial: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dalam format pdf. Sampai bertemu dalam diskusi buku ini dengan para penelitinya, pengamat, dan pelaku hutan sosial pada Senin, 15 April 2019, di Gedung Rimbawan I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pukul 13.00 WIB
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :