MANGROVE dan ekosistem lahan basah menyedot perhatian ketika PBB mengenalkan karbon birul ebih dari satu dekade lalu. Posisinya yang unik, yang berada di kawasan pesisir dan menyimpan 3-5 kali cadangan karbon hutan daratan terlebat membuat mangrove memiliki peran ganda dalam adaptasi dan mitigasi krisis iklim.
Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1-182,5 ton karbon setiap hektare. Bersama rawa gambut, mangrove bisa menjadi andalan menurunkan emisi sektor lahan dalam kebijakan FOLU net sink.
Rehabilitasi mangrove di Indonesia menampakkan sosoknya setelah Badan Restorasi Gambut (BRG) berdiri pada akhir Desember 2020 lalu tugas tambahan restorasi mangrove tahun lalu. Mangrove yang tadinya kurang diperhitungkan dalam konstelasi hutan tropika basah Indonesia, karena luasnya kurang dari 5 persen, punya peran begitu penting dalam menyerap karbon (sequestration) dan menyimpan (storage capacity) karbon.
Hampir seperempat mangrove dunia yang masih ada atau sekitar 14 juta hektare saat ini berada di Indonesia. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut total luas ekosistem mangrove 4.120.263 hektare yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih ada (existing) 3.364.080 hektare dan potensi habitat mangrove seluas 756.183 hektare (data selengkapnya ada di sini).
Pertanyaannya adalah bagaimana posisi karbon biru ini dalam FOLU net sink 2030?
Dalam rencana operasional FOLU Net Sink 2030, karbon biru dalam ekosistem mangrove disebut dalam sub bab Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Emisi Karbon dan Tangguh Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050) dan sub bab Kebijakan Aksi Mitigasi Menuju Indonesia’s FoLU Net Sink 2030.
Mangrove masih belum diperhitungkan baik di dalam nationally determined contribution (NDC) maupun di dalam dokumen mitigasi iklim jangka panjang (LTS-LCCR). Padahal potensi karbon biru yang cukup tinggi pada mangrove, yang meliputi above ground biomass, soil mangrove maupun below ground biomass. Mangrove belum dimasukkan dalam bagian penghitungan target mengikat dalam NDC maupun ambisi Indonesia di bawah mitigasi iklim jangka panjang.
Secara umum kebijakan terhadap mangrove merupakan perlindungan dan rehabilitasi. Dalam kondisi vegetasi rapat atau sedang kebijakan pengelolaan mangrove yang bisa diterapkan adalah dengan cara mempertahankan dan memanfaatkan secara lestari.
Kegiatan lain adalah optimalisasi pemanfaatan dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan, yaitu menjaga keseimbangan kelestarian secara ekologi maupun secara ekonomi. Pemanfaatan pokok hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau pemanfaatan jasa lingkungan (wisata alam) yang tidak merusak vegetasi mangrove. Sedangkan pemanfaatan hasil hutan kayu perlu dihindari, apabila harus dilakukan maka pelaksanaannya dilakukan secara terbatas dengan pengawasan yang ketat.
Pemanfaatan mangrove yang optimal dengan menjaga kelestarian secara ekologi dan ekonomi merupakan kunci dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove. Pemberdayaan masyarakat dengan mengikut sertakan dalam pengelolaan mangrove dan peningkatan kapasitas menjadi perhatian dalam pemanfaatan dan konservasi ekosistem mangrove.
Jika ekosistem mangrove menurun kualitas dan kuantitasnya mangrove itu dalam kondisi rusak. Terhadap ekosistem mangrove dengan kondisi rusak, kebijakan pengelolaan yang bisa diterapkan yaitu memulihkan dan merehabilitasinya.
Pada saat ini telah dan sedang dilaksanakan program rehabilitasi mangrove dengan target seluas 600.000 hektare. Upaya mitigasi dengan peningkatan cadangan karbon merupakan bagian dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) termasuk rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir, juga pembangunan hutan tanaman industri pada lahan bercadangan karbon rendah.
Upaya memulihkan mangrove seluas 600.000 hektare di 9 provinsi prioritas sampai saat ini terkendala pendanaan. Dana rehabilitasi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber-sumber lainnya yang belum cukup dan terbatas.
Baca Laporan Utama Edisi 23:
Kebutuhan biaya untuk rehabilitasi mangrove 600.000 hektare diperkirakan Rp 23 triliun. Setiap hektare pemulihan mangrove butuh biaya Rp 40 juta. Biaya yang cukup mahal untuk sebuah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Bandingkan dengan kegiatan RHL di lahan kering. Dalam pedoman standar biaya kegiatan lingkup KLHK tahun 2021, pembuatan hutan rakyat setiap hektare hanya Rp 5.700.000-Rp. 7.186.000. Tahun ini, rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali (revegetasi) ditargetkan mencapai 11.000 hektare.
Untuk rehabilitasi mangrove Indonesia harus mencari pinjaman US$ 400 juta atau hampir Rp 6 triliun Bank Dunia. Dana ini akan disalurkan dari Kementerian Keuangan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Maka meski mangrove punya potensi besar menyediakan karbon biru dalam FOLU net sink, biayanya sangat besar. Sementara waktu kian mepet menuju 2030.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :