WARGA negara kini bisa menggugat pemerintah yang abai menangani bencana iklim. Referensinya adalah diterimanya gugatan penduduk Kepulauan Selat Torres terhadap pemerintah Australia oleh Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.
Komite yang berisi para ahli pemegang mandat HAM ini menyatakan pemerintah Australia bersalah karena tak membuat kebijakan mitigasi krisis iklim mencegah penduduk di kepulauan antara Australia dan Papua itu tak terdampak krisis iklim. “Putusan ini menandakan perkembangan yang signifikan karena Komite menciptakan jalur bagi individu untuk menggugat ketika sistem nasional gagal mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi mereka yang paiing rentan terhdadp dampak negatif perubahan iklim,” kata Hélène Tigroudja, anggota Komite.
Putusan tanggal 23 September 2022 itu dikeluarkan usai komite menelaah pengaduan bersama yang diajukan delapan warga negara Australia dan enam anak mereka. Semuanya merupakan penduduk asli Boigu, Poruma, Warabber dan Masig, empat pulau kecil di wilayah Selat Selat Torres Australia.
Dalam pengaduannya, penduduk pulau tersebut menyatakan bahwa hak mereka dilanggar karena Australia gagal beradaptasi dengan perubahan iklim seperti membangun tembok laut (seawall)di pulau-pulau dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dampak perubahan pola cuaca memiliki konsekuensi langsung pada mata pencaharian, budaya dan cara hidup tradisional yang mereka jalani. Menurut penduduk pulau, banjir besar yang disebabkan gelombang pasang (rob) selama beberapa tahun terakhir telah merusak kuburan keluaga dan membuat serpihan tersebar di pulau.
“Memelihara kuburan leluhur dan mengunjungi kuburan untuk berkomunikasi dengan kerabat yang lebih dulu berpulang adalah inti dari budaya kami,” tulis penduduk dalam pengaduan itu. Selain itu upacara pendewasaan dan inisiasi hanya bermakna jika dilakukan di pulau tersebut.
Penduduk kepulauan itu juga menilai curah hujan lebat dan badai yang merupakan dampak dari pemanasan global, telah merusak tanah dan pepohonan sehingga mengurangi jumlah makanan dari pertanian tradisional maupun penangkapan ikan.
Di Pulau Masig, misalnya, naiknya permukaan air laut telah menyebabkan air asin meresap ke dalam tanah dan pohon kelapa menjadi sakit, kemudian mematikan buah, dan air kelapanya, yang merupakan bagian dari makanan tradisional penduduk pulau itu.
Komite, kata Tigroudja, mempertimbangkan kedekatan, hubungan spiritual penduduk pulau dengan tanah tradisional mereka, dan ketergantungan integritas budaya pada kesehatan ekosistem di sekitarnya.
Kegagalan Australia dalam mengambil tindakan tepat waktu untuk melindungi penduduk asli Kepulauan dari dampak perubahan iklim menjadikan adanya pelanggaran atas hak. “Negara-negara yang gagal melindungi individu di bawah yurisdiksi mereka dari dampak buruk krisis iklim bisa dianggap melanggar hak asasi manusia menurut hukum internasional,” kata Tigroudja.
Hukum internasional yang dimaksud adalah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Komite HAM PBB bisa meninjau isi pasal-pasal dalam konvenan ini.
Dalam putusan yang sama, Komite HAM PBB menjelaskan bahwa terlepas dari serangkaian upaya Australia, seperti pembangunan tembok laut baru di empat pulau yang diharapkan selesai pada tahun 2023, kebijakan tambahan yang tepat waktu diperlukan untuk mencegah risiko bagi penduduk Kepulauan.
Tanpa upaya nasional dan internasional yang kuat, dampak perubahan iklim dapat mengekspos individu pada pelanggaran hak untuk hidup.
Komite HAM PBB meminta Australia memberikan kompensasi kepada penduduk asli Kepulauan atas kerugian yang mereka derita akibat krisis iklim, terlibat dalam konsultasi untuk memulihkan komunitas di pulau tempat mereka hidup sebagai dampak bencana iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :