Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 Oktober 2022

Belenggu “Tupoksi”

Birokrasi dan tupoksi acap membuat kebijakan berjalan lambat atau malah melenceng. Kenapa?

Belenggu tupoksi

ADA tiga aliran besar dalam pengelolaan sumber daya alam: konservasi (konservasionalism), populisme ekologi (ekopopulism), dan pembangunanisme (developmentalism). Ketiga aliran itu punya angle berbeda dalam mengangkat pertanyaan sumber daya alam. Misalnya, apakah spesies langka dan habitatnya perlu menjadi perhatian atau lebih baik masyarakat lokal dan adat di harus lebih dahulu diperhatikan, atau justru investasi penting untuk pembangunan infrastruktur. 

Tentu saja menjadi tidak tepat bila perdebatan tiga aliran itu diselesaikan hanya berdasarkan logika deduktif: hanya terbatas pada berbagai argumen normatif. Sebab untuk menyelesaikan tantangan perlu memperhatikan kenyataan di lapangan yang perlu dikenali dan digunakan untuk menentukan jenis kegiatan. 

Konstruksi Kayu

Pikiran berbeda juga bisa terjadi akibat kesenjangan antara keharusan memperhatikan berbagai opsi maupun batasan kegiatan sesuai peraturan—yang dibungkus ke dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) unit kerja itu, dengan fakta lapangan yang menyebabkan opsi maupun batasan kegiatan itu tidak sepenuhnya bisa digunakan. 

Pekan lalu saya diundang membahas sinergi kebijakan nasional dan daerah bidang konservasi dan lingkungan hidup oleh Program Pengembangan Integrasi Konservasi (ICDPb) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGS) di Bogor. Saya sampaikan soal sinergi itu melalui telaah tupoksi.

Tentu saja tidak keliru, bahkan wajib, bagi semua aparatur sipil negara, menjalankan tupoksi dalam bekerja. Karena hanya kegiatan dan pedoman yang sesuai tupoksi yang mendapat anggaran. Demikian pula tolok ukur pengawasan kegiatan itu juga disesuaikan dengan pertanggungjawaban penggunaan anggaran itu. Dengan kata lain, tupoksi bukan sekadar lingkup kerja, juga menjadi indikator kesetiaan dan loyalitas kepada lembaga.

Maka, secara implisit atau eksplisit, perbaikan-perbaikan nyata di lapangan bisa tidak cukup menjadi perhatian, karena bisa berada di luar lingkup kesetiaan dan loyalitas yang sudah terbangun itu, yaitu apa yang sesuai dengan peraturan dan pedoman.

Untuk bidang yang lebih luas, saya pernah mendapat cerita dari seorang guru sekolah dasar. Tupoksi Pak Guru adalah menghabiskan materi yang harus ia ajarkan. Akibatnya, ia sudah harus mengubah topik yang diajarkan kendati ia tahu muridnya belum paham dengan pelajaran terdahulu. Kondisi sekolah, lingkungan siswa, dan keadaan membuat kecepatan pemahaman siswa tak sesuai dengan tata waktu pembuat kurikulum.

Maka meski Pak Guru paham bagaimana cara mengajar yang benar, ia bekerja tak sesuai tupoksi ketika ia kembali mengulang pelajaran agar para siswanya paham, sebelum menginjak pengetahuan baru. Ia menyalahi pedoman, dan mungkin akan mendapat sanksi.

Contoh lain, seorang pegawai dinas kehutanan mengeluh tentang kejadian yang seharusnya tidak terjadi di lingkup pekerjaannya. Ia mengatakan, “Tangan saya hanya segini,” sambil menunjuk ke sikunya yang menunjukkan ia tak mampu mencegah kejadian seperti itu. 

Dua contoh itu berkaitan erat dengan kata “sinergi” hubungan kerja antar lembaga. Kita telah mengetahui banyak peraturan presiden atau peraturan menteri yang isinya mengikat dan membentuk sinergi pelaksanaan kebijakan nasional dan daerah, sinergi antar kementerian atau antar unit kerja di dalam kementerian. Dalam peraturan-peraturan itu biasanya ada penegasan bahwa kementerian atau unit kerja tertentu harus mengerjakan tupoksi tertentu, dan semuanya dilaporkan kepada pimpinan untuk dikoordinasikan.

Kita tahu pendekatan hukum dan administrasi seperti itu tidak seluruhnya berhasil. Walaupun setiap kementerian atau unit kerja sudah berhasil menjalankan tupoksi, namun belum sampai membentuk “rumah” yang diinginkan. Sebab tupoksi tertentu bisa menghasilkan fondasi saja, dinding saja, atau atap saja. Rumah sebagai outcome tak kunjung terbentuk. Di sini ada belenggu tupoksi.

Belenggu tupoksi membuat semua orang harus tetap bekerja, meski menjauhkannya dari masalah nyata di lapangan. Apalagi secara struktural tupoksi sebuah unit tidak punya kewajiban menggenapi hasil kegiatan unit kerja lain. Dalam keadaan seperti ini, birokrasi dibuat bukan seperti tim sepak bola yang antar pemainnya bekerja sama membuat gal. Sebaliknya, birokrasi bekerja dengan “bolanya” sendiri-sendiri. 

Presiden Joko Widodo pernah mengkritik keras proyek yang kerap tidak sinergis karena, misalnya, tak didukung pembangunan jalan akses menuju proyek itu. Pembangunan pelabuhan baru tidak memiliki jalan akses atau proyek bendungan tak diiringi jaringan irigasi, dan lain-lain.

Kenyataan demikian itu menunjukkan upaya melakukan sinergi kebijakan antar lembaga masih dikalahkan oleh kepentingan tupoksi tiap unit kerja. Hal itu antara lain akibat bobot penilaian kinerja tupoksi itu lebih pada capaian pertanggungjawaban administrasi daripada perbaikan fakta di lapangan atau perbaikan yang menjadi syarat lembaga lain guna mencapai perbaikan lapangan itu.

Dengan kata lain, kegagalan memperbaiki kondisi di lapangan yang dibutuhkan masyarakat tidak selalu menjadi faktor penyebab kegagalan menjalankan tupoksi. Apalagi pengawasan pada umumnya ikut membenarkan keganjilan pelaksanaan tupoksi tersebut.

Dalam perbincangan informal dengan beberapa pegawai di kementerian, birokrasi dan tupoksi itu telah menumbuhkan sikap solipsisme, yaitu pandangan bahwa pengalaman pribadi merupakan satu-satunya sumber yang patut dipertimbangkan. Solipisme bisa bertahan lama akibat para ahli di perguruan tinggi juga mendukungnya.

Selain di birokrasi pemerintahan, birokrasi di perguruan tinggi juga bisa menumbuhkan keyakinan berlebihan atas ilmu pengetahuan dalam lingkup program studi para ahli. Dengan kekuatan pendekatan deduktif, para ahli perguruan tinggi kurang punya keterampilan “melihat gajah” karena kemampuannya hanya bisa melihat bagian-bagian tubuh dari gajah itu.

Solipisme di perguruan tinggi membuat para ahli lemah dalam menghubungkan penggunaan ilmu pengetahuan yang “benar” dengan, misalnya, perbaikan nyata yang berkeadilan. Kebenaran parsial ini bisa membuat ilmuwan atau peneliti tidak peka terhadap kondisi nyata di lapangan. Barangkali karena prosedur dan penelitian ilmiah juga seperti tupoksi yang kehilangan esensi.

Karena itu, pemerintah sebaiknya punya strategi membangun inovasi birokrasi yang masih terkendala oleh sistem kerjanya—yang sejauh ini masih lebih kuat menjalankan proses administrasi daripada profesi. Ide-ide yang tak terduga cenderung dinetralkan oleh antigen birokrasi, sehingga inovasi menjadi barang langka. 

Marko Milanovic dalam “Illegal but Legitimate?” (2017) mengingatkan bahwa ketika kita beroperasi dalam kerangka positivis—mengikuti teks peraturan dan pedoman apa adanya—berarti kita mentoleransi “sesuatu yang halal belum tentu adil”.

Biasanya pemimpin yang berhasil senantiasa bisa menyiasati tupoksi dan birokrasi itu. Sering kali mereka menjalankan kebebasan imajinasi yang diperlukan dan sesuai kondisi lapangan. Pada mereka yang imajinatif terkesan tak patuh aturan, meski inovasinya diakui masyarakat. Agar mendukung inovasi, perlu penyempurnaan struktur birokrasi dan tupoksi agar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Perbaikan birokrasi dan tupoksi bisa mengambil inspirasi dari negara lain. Perdana Menteri Inggris Tony Blair pernah mencetuskan gagasan “Whole of Government” (WoG) dan “Joined-Up Government”. Di Australia, Jhon Howard mendorong koalisi sosial antar aktor pemerintah, bisnis dan kelompok masyarakat. Koalisi sosial ini mendorong penyamaan persepsi terhadap suatu problem, sehingga terwujud koordinasi alamiah.

Di Indonesia, tampaknya, format kelembagaan dan birokrasi sudah tertinggal. Padahal birokrasi menjadi kendaraan utama pelaksanaan undang-undang dan pelayanan publik. Kita tahu masalahnya, sebab konsep modern dan teknologi bisa memecahkannya, tapi mengapa inovasi birokrasi berjalan lambat? Anda mungkin sudah tahu jawabannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain