PADA 2015, negara-negara menyepakati Perjanjian Paris wajib menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai mitigasi krisis iklim. Prancis sebagai tuan rumah menjalankan komitmen itu menerapkan pajak karbon.
Kebijakan pemerintah Prancis itu menuai protes. Tanpa kenal lelah para demonstran tak surut dari jalan. Mereka memakai rompi kuning hingga mendapat julukan pasukan "gilets jaunes".
Protes nasional ini sebenarnya bermula dari kenaikan harga bahan bakar, di antaranya akibat pengenaan pajak karbon sejak 2018 di Paris. "Ini bukan rompi kuning melawan kebijakan perubahan iklim. Ini tentang biaya hidup yang tinggi, politik, dan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan," kata Pierre Canet, Kepala bagian iklim dan energi WWF Prancis seperti dikutip The Atlantic.
Belakangan gerakan protes ini menjadi ungkapan ketidakpuasan terhadap Presiden Prancis Emanuel Macron.
Macron menganggap protes tersebut sebagai akibat dari kurang pahamnya penduduk tentang kebijakan mitigasi krisis iklim untuk mengurangi emisi.
Dia berkeliling negara, memperkenalkan kebijakan dan langkah-langkah baru dan menjanjikan warga negara terlibat dalam pengambilan keputusan besar.
Macron memperkenalkan "majelis warga", sering disebut demokrasi deliberatif atau mini-publik. Majelis ini beroperasi seperti juri, di mana warga negara yang dipilih secara acak berkumpul sebagai wakil rakyat, dan ditugaskan untuk menemukan solusi untuk masalah politik yang sulit.
Presiden Macron menyebutnya sebagia "Konvensi Warga Negara untuk Iklim" (Convention Citoyenne pour le Climat). Tugas mereka adalah mencari tahu bagaimana Prancis mengurangi emisi karbon setidaknya 40% pada 2030.
Pemerintah menghubngi sekitar 255.000 orang untuk berpartisipasi dalam konvensi. Dari sana, 150 orang dipilih untuk mewakili populasi Prancis berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kategori sosial-profesional, wilayah geografis Prancis, dan jenis daerah tempat mereka tinggal (kota, pinggiran kota, atau pedesaan).
Keragamam ini yang membedakan majelis warga negara dari parlemen. "Kami adalah orang-orang muda. Banyak juga orang tua, pensiunan, dari perdesaan yang melakukan pekerjaan yang sangat berbeda dalam hidup mereka," kata Amandine Roggeman salah satu dari penduduk yang berpartisipasi dalam konvensi itu seperti dikutip ABC.
Sebanyak 150 "orang biasa" itu kemudian mengikuti tujuh pertemuan selama tiga hari pada akhir pekan dari Oktober 2019 hingga Juni 2020. Sesi pertemuan itu sempat tertunda karena Pandemi COVID-19.
Pertemuan itu diawali dengan kursus kilat tentang perubahan iklim yang dipresentasikan oleh para ahli Prancis terbaik, untuk membuat semua warga mengetahui sains terbaru. Sama seperti semua lapisan masyarakat, pengetahuan mereka tentang perubahan iklim bervariasi di seluruh kelompok.
Warga negara dalam konvensi ini kemudian dibagi dalam lima kelompok kerja untuk merumuskan kebijakan iklim: makanan, perumahan, transportasi dan konsumsi.
Amandine yang masuk dalam kelompok konsumsi, menyarankan larangan iklan untuk produk padat karbon. Misalnya mobil. "Kami tidak mengerti mengapa masih diperbolehkan memasang iklan [untuk] mobil bahan bakar besar. Jadi kami ingin melarang publisitas semacam ini."
Pada sesi ketujuh, konvensi memiliki laporan untuk yang menguraikan 149 langkah kebijakan iklim untuk diserahkan kepada Presiden Macron.
Di antaranya, ada larangan membangun bandara baru, membatalkan penerbangan untuk tujuan yang memiliki alternatif transportasi lain (mengemudi/transportasi umum) dalam waktu kurang dari empat jam, pengurangan batas kecepatan, jeda pada semua negosiasi perdagangan internasional sehingga Prancis dapat membuat kebijakan berdasarkan kondisi lingkungan.
Ada juga kebijakan untuk menjadikan ekosida atau kejahatan lingkungan sebagai tindak kriminalitas. Semua ini didanai dengan pajak atas perusahaan-perusahaan besar.
Macron tampaknya terkejut dengan laporan usulan masyarakat. Dalam jumpa pers, dia menyebut bahwa dirinya memiliki tiga “kartu joker.” Yang berarti dia akan mencoret tiga kebijakan yang disodorkan. Itu adalah pertama kalinya konvensi mendengar adanya “kartu joker.”
Macron mencoret usulan mengurangi batas kecepatan, memaksa perusahaan besar untuk mendanai kebijakan lingkungan, dan memperkenalkan kejahatan ekosida yang akan membuat kepala perusahaan bertanggung jawab secara pidana atas tindakan perusakan lingkungan, seperti tumpahan minyak
Prancis akan menjadi negara pertama di dunia yang menjadikan ekosida sebagai kejahatan—berkat usulan konvensi. Namun, Macron justru berjanji untuk menjadikan ekosida sebagai "pelanggaran" yang tidak terlalu serius.
Konvensi sebenarnya memiliki pilihan untuk membawa semua kebijakan ke referendum, tetapi mereka memilih untuk diperkenalkan melalui parlemen Prancis.
Usulan larangan penerbangan untuk perjalanan di bawah empat jam diubah menjadi larangan perjalanan di bawah dua setengah jam. Lalu usulan larangan iklan untuk produk padat karbon, seperti mobil bensin, menjadi pesan peringatan bagi konsumen.
Gambaran lebih jelas terlihat adakesenjangan antara harapan rakyat tentang kebijakan iklim dengan kepentingan politik-ekonomi. Perjalanan pembentukan konvensi hingga hasil akhir usai melalui parlemen menjadi isu yang populer dan diikuti di Prancis.
Konvensi dan 149 ide radikal kebijakan iklim menjadi bahan pembicaraan di pub hingga pesta makan malam. “Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh para ahli sendiri,” kata ahli ekonomi lingkungan Prancis, Louis-Gaeten Giraudet.
Nicole Curato, profesor politik sosiologi dari Unviersity of Canberra, menyebut konvensi ini merupakan eksperimen yang berhasil. "Ini adalah bukti konsep bahwa warga biasa dapat dipercaya untuk membuat keputusan yang cerdas," katanya seperti dikutip ABC
Dua bulan lalu, Prancis melarang penayangan iklan bahan bakar fosil pertama di dunia. Ini tidak seperti yang Amandine dan kelompoknya usulkan, tetapi ada kemiripan. Konvensi Warga Negara untuk Iklim ini, menurut dia, menciptakan konsensus dan kesadaran tentang topik seperti iklim dan menciptakan konsensus. “Dan itu menurut saya sangat penting."
Ikuti berita terbaru krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :