SEORANG petani di Desa Jebus, Muaro Jambi, terlihat semringah ketika saya bertanya apakah ada manfaatnya sekat kanal di rawa gambut yang membentang di Kecamatan Kumpeh Ilir. “Sekat kanal membuat kebun sawit kami punya hasil, selamat dari kebakaran karena gambut selalu basah,” katanya.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) membangun sekat kanal di rawa gambut lahan masyarakat yang menjadi penyangga kawasan konservasi Taman Hutan Raya Orang Kayo Hitam. Ada enam desa yang arealnya rawa gambut: Desa Sogo, Sungai Aur, Seponjen, Tanjung, dan Gedong Karya.
Taman Hutan Raya Orang Kayo Hitam tidak dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meski area konservasi ini satu-satunya taman hutan raya yang berekosistem gambut. Tahura ini dikelola oleh unit pelaksana teknis dinas (UPTD) yang seluruh aktivitas pengelolaannya di bawah instruksi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.
Masyarakat desa di sekitarnya sebelumnya tak tahu jika area konservasi itu Tahura OKH. Mereka juga baru paham bahwa pengelola sekat kanal adalah BRGM. Masyarakat hanya tahu gambut itu adalah areal Taman Nasional Berbak sejak 1992 seluas 162.700 hektare. Tahura OKH baru lahir pada 1999 dengan nama Taman Hutan Raya Sekitar Tanjung seluas 18.140,32 hektare.
Lebih dari 70% kawasan Tahura OKH adalah area terbuka dan hanya ditumbuhi semak belukar akibat kebakaran berulang yang terjadi selama 1997-2015. Menurut data peta interaktif Global Forest Watch, sebagian besar vegetasi di taman hutan raya ini lenyap akibat kebakaran hutan 2015. Karena itu Badan Restorasi Gambut memasukkannya ke dalam area prioritas pemulihan.
Sebagai “pintu masuk” lanskap Berbak yang juga didominasi lahan gambut, kawasan ini yang paling dulu menerima tekanan akibat konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sebelum sawit, masyarakat sekitar hutan ini menanam komoditas pertanian di area bekas tebangan hutan. Jagung, pisang, pinang, coklat.
Pelajaran tentang menanam sawit mereka tiru dari perusahaan yang mengubah area tersebut menjadi perkebunan. Masyarakat baru tahu cara mengolah lahan kasang basah dengan komoditas sawit setelah perusahaan datang ke sana.
Kasang adalah istilah yang merujuk pada jenis tanah gambut. Selain kasang kering, ada kasang basah. Kasang kering adalah tanah gambut dengan kedalaman kurang dari lima meter dan tidak terlalu berair. Sementara gambut yang selalu tergenang dan kedalamannya hingga lutut orang dewasa disebut kasang basah. Selama ini masyarakat mengelola gambut di area kasang kering, seperti tanah pematang berupa tanah mineral.
Perkebunan sawit mulai merambah ke ekosistem gambut sejak 1970-an. Tak hanya Desa Jebus, beberapa desa sekitarnya dengan tipe ekosistem yang sama juga menjadi sasaran perkebunan sawit yang melahirkan konflik lahan menahun.
Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit mengubah mindset masyarakat desa hingga mengubah pola pemanfaatan lahan. Masyarakat Jebus belajar mengubah pemanfaatan kasang, dari jagung menjadi kelapa sawit.
Sawit kini menjadi komoditas umum yang tidak lagi mereka tolak. Bagi masyarakat yang memiliki lahan, sawit adalah tanaman utama. Mereka yang tak punya lahan menjadi buruh tani di perkebunan sawit yang dekat dengan desa mereka. Lambat laun mereka meninggalkan komoditas hortikultura karena sawit lebih menguntungkan.
Dari situ membakar lahan menjadi teknik petani dalam pembersihan lahan. Hampir setiap tahun desa-desa di wilayah ini terpapar asap kebakaran penyiapan kebun sawit. Mereka pun tak menyangkal jika kebakaran hutan dan lahan itu akibat kelalaian dan kesengajaan.
Akibat kebakaran hutan menjadi rutin, pemerintah melarang masyarakat membakar lahan tiap menyiapkan area perkebunan. Sebab, tak hanya kabut asap yang menjadi dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, komoditas hortikultura yang menjadi komoditas khas di daerah ini ikut tumpas. Petani jagung ikut-ikutan mengubahnya menjadi sawit karena lebih menguntungkan.
Teknik membakar lahan untuk perkebunan sebenarnya metode tradisional yang bertahan lama. Amerika Serikat bahkan mengampanyekan kembali pemakaian api dengan pengawasan ketat untuk memulihkan kerusakan hutan alam. Kehadiran industri perkebunan kelapa sawit yang punya konsesi luas membuat kearifan lokal pemakaian api ini menjadi bencana.
Menurut Alex Zahara dalam Breathing Fire into Landscapes that Burn: Wildfire Management in a Time of Alterlife seharusnya memang ada areal yang dikompromikan memakai teknik membakar dalam pengelolaan lahan. Syaratnya ada kemitraan, kepemimpinan, dan arahan masyarakat lokal dalam manajemen kebakaran sehingga api menjadi tidak meluas.
Masalahnya, kebakaran telah jadi momok pengelolaan hutan lestari. Karena itu kini yang diterima dalam pengelolaan lahan yang baik dan benar jika tak memakai api. Badan Restorasi Gambut mendirikan Desa Peduli Gambut yang mengajari 195 petani di sebelas desa di Sumatera Selatan bercocok tanam tanpa membakar dan praktik pertanian ramah lingkungan.
Meski masuk Desa Peduli Gambut sejak 2019, belum ada program serupa di Desa Jebus dan desa-desa gambut di Kecamatan Kumpeh Ilir. Pembangunan sekat kanal baru satu langkah awal membangun kesadaran masyarakat bahwa gambut adalah ekosistem yang harus selalu basah. Sehingga api bukan cara tepat mengelolanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Dosen tetap di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, anggota aktif Perkumpulan KKI Warsi, dan sedang menempuh pendidikan doktor di Program Studi PSL IPB University
Topik :