SAYA tiba di Indonesia 30 tahun lalu. Ketika itu, saya bekerja sebagai guru dan kepala sekolah di sekolah internasional kecil di Sangatta, tepatnya di wilayah pantai yang alami bagian timur pulau Kalimantan.
Waktu itu tahun 1992. Suharto menjabat presiden. Jalan pantai menuju Sangatta tidak bisa dilewati saat musim hujan, kumpulan orangutan liar sering kali muncul di kamp tambang tempat saya tinggal, dan saya menuliskannya dalam rangkaian kata:
Di lepas pantai perairan Pulau Miang, aku pertama kali menemukan kehidupan laut Indonesia yang keindahannya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Warna-warni ikan biru berkelebat ke sana kemari, buih samudera yang hangat menyelinap di sela-sela hamparan terumbu karang. Air berkilau, lebih jernih dari udara. Ikan badut kecil menyelip di antara sulur-sulur anemon yang menggembung dan berayun-ayun. Mulut kerang-kerang raksasa berwarna keunguan di kedalaman laut, belut yang melongok dari lubang-lubang di dinding karang, hiu karang melenggut di bawah sekelompok terumbu karang dan sesekali penyu dengan lamban melintas. Aku pikir aku sedang berada di surga.
Balik ke dermaga kayu yang reyot ke arah dusun, aku bertemu dengan seorang yang berjari sebelas dan baru mengetahui kalau Pulau Miang menghasilkan ikan, kelapa, pisang dan minyak. Penduduk Miang Besar memiliki sumur minyak mereka sendiri yang digunakan apa adanya tanpa dirafinasi untuk bahan bakar kapal dan perahu motor mereka. Asap kehitaman mengepul pekat yang tampak dari kejauhan ketika para penduduk desa menyusuri perairan di dalam kapal kayu mereka; juk-juk-juk-juk….
Bergerak ke tahun 2022, jauh dari pantai alami Kalimantan itu, sekarang saya bekerja sebagai direktur di sebuah program pengembangan pendidikan, bernama INOVASI; kemitraan pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia. Terbayang percakapan di kantor saya di Kota Jakarta. Pak Munir adalah seorang manajer di program tersebut.
"Pak Munir, saya dengar Anda dari Kalimantan?"
"Betul pak. Dari Sangkulirang, Kalimantan Timur."
"Yang benar aja! Saya dulu di sana ketika pertama kali di Indonesia. Saya bekerja di pantai itu di Sangatta. Saya ingat mengunjungi Sangkulirang."
"Wow! Suatu waktu Anda harus datang dan berkunjung lagi ke sana. Anda harus melihat proyek ekowisata saya di Pulau Miang."
Dan benar saja, setelah 30 tahun pertemuan pertama dengan dunia bawah laut Indonesia yang luar biasa, sekali lagi saya menemukan diri saya di Pulau Miang yang terpencil. Dengan semua pengalaman panjang mempelajari bahasa dan budaya Indonesia, saya punya bekal yang lebih baik membuat pengalaman. Ternyata keindahan dunia bawah laut yang magis itu tidak berubah.
Abdul Munir lahir dan besar di Pulau Miang. Banyak perubahan di sini. Sekarang ada jalan bagus dari Samarinda, Sangatta, dan Sangkulirang. Sebanyak 200 keluarga Bugis hidup di Kampung Miang, rumah panggung mereka berdiri tegak menghadap taman karang yang mengelilingi pulau, kehidupan sehari-hari mereka bergerak mengikuti putaran musim memancing, kebun kelapa, dan beribadah di masjid. Beberapa orangbekerja di perkebunan sawit besar di seberang kampung utama. Dan, ya, sumur minyak masih di sana, bangunan sederhana dibuat dari bahan kayu setempat dan di bawahnya terdapat kebun kepala dan pisang yang tidak jauh dari kampung. Munir bercerita bagaimana sewaktu kecil dia diminta ke sumur itu dengan ember plastik mengambil minyak.
Selama dua-belas jam perjalanan dari Balikpapan, saya banyak mendengar cerita Pak Munir. Kariernya sebagai konsultan pendidikan membawanya ke Jakarta dan berbagai wilayah. Tapi hatinya selalu terpaut dengan pulau dan kampungnya tersebut.
Tidak jauh dari pulau, dia sekarang membangun sekolah kecil dan bekerja dengan komunitas di pulau itu membuat program konservasi dan usaha ekowisata yang bisa meningkatkan penghidupan warga pulau, pada saat yang sama menjaga kelestarian lingkungan laut yang sangat bernilai.
Area seluas 10 hektare pantai dipenuhi mangrove dan taman karang telah ditetapkan bersama sebagai area konservasi. Penduduk mulai belajar menjaga biota laut yang berharga di area tersebut termasuk tidak memancing di area tertentu.
Area tersebut terkenal dengan kerang raksasa. Namun, seiring waktu populasinya menurun. Pak Munir bekerja dengan nelayan untuk merelokasi kerang raksasa tersebut ke area konservasi. Sekelompok anak muda dari kampung tersebut menyebut diri mereka dengan nama “Sea Urchin Community”. Dipimpin anak muda cemerlang yang belajar tentang kehidupan maritim di Samarinda, sukarelawan bekerja memperbanyak karang dan mendidik penduduk tentang konservasi.
Menggunakan teknik dan gaya tradisional Bugis, Pak Munir membangun vila dengan model rumah panggung di atas laut di area konservasi dengan bangunan kayu sederhana.
Dua malam saya menginap di vila tersebut. Bagi saya, sekali lagi ini seperti kembali ke surga. Kembali ke surga Indonesia yang saya temukan dulu di usia muda. Hari yang tenang, ikan segar dan makanan khas Bugis, sunset yang indah, malam penuh bintang, air laut hangat yang menjilati pantai dan taman karang itu; ikan berwarna terang, kerang raksasa, dan penyu yang muncul tiba-tiba. Magis.
Elang laut dengan mata tajam mengamati pergerakan dari tempatnya bertengger di pohon mangrove, elang bondol, yang merah-putih, berputar di atas, bangau ungu besar mengamati dengan awas saat kami melintas di sampan kayu. Munir bahkan pernah menyaksikan keluarga dugong (putri duyung) makan lamun sekitar vila.
Munir punya rencana besar untuk Miang. Ia terus memperbaiki vila. Akses dari pulau menggunakan perahu motor; villanya benar-benar di luar jaringan, listrik dipasok dari matahari, sementara ventilasi melintas membuat kamar terasa dingin.
Sambil menikmati secangkir kopi besar khas Bugis, Kepala Desa menjelaskan rencana besarnya membangun jembatan panjang melintas sela-sela mangrove, untuk memberikan kesempatan kepada pengunjung menjelajahi ekosistem laut ini.
Layanan perahu dari Sangatta akan memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Miang. Tidak jauh dari situ, da Miang Kecil, sebuah pulau kecil yang sepenuhnya ditumbuhi mangrove menjadi daya tarik lain, selain wilayah Sangkulirang-Mangkaliat yang dipenuhi karst dan gua yang tertempuh satu jam perjalanan dengan perahu.
Cara Munir mengembangkan ekowisata Pulau Miang ini dengan melindungi dan menjaga lingkungan sesuai dengan cara hidup warga setempat. Pada saat yang sama meningatkan penghidupan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Bagi para petualang, Pulau Miang menyajikan kesempatan kembali bernostalgia ke masa lalu, ke sisi lain surga Indonesia yang belum banyak tersentuh.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pendidik dan penulis dari Australia. Tinggal lebih 30 tahun di Indonesia dan menerbitkan buku Crazy Little Heaven, an Indonesian Journey. Ia tinggal di Lombok dan Tasmania
Topik :