Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Oktober 2022

Rimbawan dan Politik Kehutanan

Rimbawan harus melek politik, bahkan perlu terjun ke dunia politik praktis. Politik kehutanan tak hanya perlu ilmu teknis.

Ekologi politik untuk menganalisis kerusakaan dan bencana lingkungan (Ilustrasi: Dark Moon Art/Pixabay)

TULISAN Profesor Dudung Darusman, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University berjudul “Rimbawan Harus Melek Politik” menarik ditelaah lebih jauh. Profesor Dudung menulis bahwa politik adalah kepentingan dan kekuatan, bukan soal kebenaran. Paling banter soal kebaikan. Walaupun bukan berarti bahwa kepentingan, kekuatan atau kebaikan itu selalu tidak sama dengan kebenaran, bisa saja kebetulan sama, tapi memang kebenaran bukan komitmen politik.

Saya menambahkan satu kata lagi yang juga penting yaitu politik adalah kepentingan, kekuatan dan pengambilan keputusan (decision making). Tanpa pengambilan keputusan politik adalah bebek lumpuh tanpa mempunyai kekuatan.

Konstruksi Kayu

Dalam bernegara, implementasi politik termanifestasi dalam bentuk pengambilan keputusan oleh pemerintah dan atau bersama-sama politisi yang mewakili rakyat di parlemen sebagai seorang anggota DPR yang duduk di Komisi IV DPR yang mengurusi bidang kehutanan. 

Fungsi legislasi DPR yang begitu kuat mengharuskan pemerintah membuat regulasi dapat bekerja sama dan kompromi dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dan strategis.

Sewaktu menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB di era 1970-an, rimbawan dibekali mata kuliah politik kehutanan yang mempelajari masalah perundang-undangan di era penjajahan Bos Ordonantie (Undang-undang (UU) Kehutanan versi Belanda) hingga UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan terbit.

Sekarang ilmu politik kehutanan telah bertransformasi menjadi ilmu kebijakan kehutanan dengan pendalaman yang luas tidak terbatas hanya kehutanan saja tetapi juga lingkungan, tata ruang dan agraria. 

Sebagai mantan birokrat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak era Presiden Soeharto sampai dengan Presiden Jokowi, saya paham bagaimana sulitnya menyusun sebuah regulasi.

Menyusun peraturan menteri saja butuh berbulan-bulan dan rapat berkali-kali, apalagi regulasi yang melibatkan pihak eksternal seperti peraturan presiden, peraturan pemerintah, apalagi undang-undang. Tingkat kesulitan makin tinggi dan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Para ahli hukum mengatakan sebuah undang-undang harusnya direvisi minimal lima tahun sekali, seperti siklus revisi sebuah undang-undang. Faktanya UU Nomor 5/1967 butuh waktu 32 tahun sampai menjadi UU 41/1999. Demikian halnya dengan UU 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang sudah menjadi rancangan UU dan masuk dalam program legislasi nasional tahun lalu tak kunjung disahkan hingga sekarang.

Saat ini, rimbawan memang harus melek politik. Tidak hanya politik kehutanan semata, juga pengetahuan politik secara umum agar mudah memahami dinamika pembangunan kehutanan yang begitu cepat berubah. Pemahaman dan penguasaan ilmu dasar kehutanan belum cukup tanpa didukung dengan politik kehutanan yang kuat, begitu juga sebaliknya. Apalagi melihat konstelasi isu-isu global yang berkembang saat ini dengan adanya krisis iklim dan pemanasan global. 

Sektor kehutanan dituding yang paling bertanggungjawab karena proses deforestasi yang terus berlangsung dalam kawasan hutan di belahan bumi ini. Pemanasan global dipicu adanya emisi karbon di atmosfer. Rimbawan wajib hukumnya melek politik.

Kemahiran rimbawan dalam penguasaan regulasi tidak terbatas pada pengertian tekstual (tersurat), juga mahir dalam menjabarkan regulasi yang terkait maupun regulasi turunannya (kontekstual) agar tidak terjebak dalam dispute yang berkepanjangan.

Pemahaman tekstual adalah apa yang tersurat di dalam regulasi. Itulah yang harus dipedomani atau dilaksanakan di lapangan. Bila dilanggar tentu mendapat sanksi baik administratif maupun sanksi hukum. Sedangkan pengertian kontekstual adalah penafsiran dan pengembangan dari pengertian tekstual hubungan antar pasal dalam satu regulasi maupun antar pasal dalam satu regulasi dengan pasal yang ada di dalam regulasi turunannya, sepanjang masih dalam koridor pengertian tekstualnya.

Rimbawan juga mesti terjun dalam politik praktis sebagai pelaku atau aktor-aktor politik di lapangan agar memahami persoalan kehutanan dalam perspektif yang lebih luas. Entah sebagai anggota dewan perwakilan rakyat (DPR/DPRD) atau sebagai seorang eksekutif pemerintahan (presiden atau kepala daerah) sekalipun.

Dengan kata lain, saya sepakat dengan Profesor Dudung Darusman, rimbawan masa kini harus melek politik kehutanan!

Ikuti perkembangan terbaru soal politik kehutanan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain