SETAHUN setelah Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon terbit, pemerintah mengesahkan aturan turunannya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21/2022 tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon.
Dulu, Presiden Joko Widodo menandatangani draf yang sudah tiga tahun tak kunjung disahkan menjadi Perpres 98/2021 sebelum bertolak menghadiri Konferensi Iklim COP26 di Glasgow. Kini Peraturan Menteri yang mengatur teknis perdagangan karbon itu juga terbit menjelang COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang akan dimulai awal November 2022.
Tepatnya pada 20 Oktober 2022 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan Peraturan Nomor 21/2022. Secara lebih detail, beleid tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon ini mengatur skema dan prosedur penyelenggaraan perdagangan karbon yang diterapkan di Indonesia.
Nilai ekonomi karbon adalah nilai setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. Nilai ekonomi karbon adalah ukuran nilai emisi gas rumah kaca untuk mendorong prinsip produsen emisi membayar dosa lingkungannya atau "polluters-pay-principle".
Perhitungan ukuran gas rumah kaca ini untuk menekan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan krisis iklim, yang ada di atmosfer bumi. Dengan memberikan disinsentif kepada produsen emisi, mereka diharapkan menurunkan produksi emisi gas rumah kacanya karena ada biaya tambahan yang memberatkannya.
Pendeknya nilai ekonomi karbon mengatur soal perdagangan karbon atau perdagangan emisi untuk menekan produksi gas rumah kaca. Selain disinesntif kepada produsen emisi, perdagangan karbon dengan sendirinya memberikan insentif kepada mereka yang menurunkan emisi atau menyediakan penyerapan dan peyimpanannya.
Menurut Perjanjian Paris 2015, dunia harus mencegah kenaikan gas rumah kaca agar tidak melebihi 1,50 Celcius dibanding era Revolusi Industri (1800-1850) pada 2030 untuk mencegah bencana iklim. Saat ini, suhu bumi telah naik 1,2C.
Gelombang panas di India, Inggris, dan belahan bumi utara, kekeringan di Tandu Afrika, dan mencairnya lapisan es di Antartika, hanya sebagian kecil akibat pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi Perjanjian Paris harus memiliki komitmen nasional untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia baru-baru ini meningkatkan target komitmen nasional (NDC) dari 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan bantuan asing dari produksi emisi 2,87 miliar ton setara CO2.
Sektor energi, limbah, industri, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) memiliki target penurunan emisi karbon masing-masing. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2022 tentang tata laksana nilai ekonomi karbon ini akan menjadi panduan dalam perdagangan karbon tiap-tiap sektor tersebut.
Ikut perkembangan terbaru nilai ekonomi karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :