SEBULAN menjelang konferensi iklim COP27, aktivis lingkungan Just Stop Oil membuat gempar. Mereka melancarkan taktik kampanye yang radikal dan kontroversial: melempar makanan ke lukisan mahakarya seniman besar.
Aksi pertama melempar sup tomat kalengan ke lukisan bunga matahari Vincent van Gogh di Galeri Nasional, London, Inggris pada 14 Oktober. Sembilan hari kemudian, para aktivis Just Stop Oil melakukan aksi lagi dengan melempar kentang tumbuk ke lukisan Claude Monet di museum Postdam.
Ketika melihat aksi itu, sebagai penikmat karya seni termasuk Van Gogh dan Monet, saya spontan menahan napas dan berkata, "Ya Tuhan, apa yang mereka lakukan?" Persis seperti reaksi para pengunjung yang ada di National Gallery. Mereka terkejut, bergumam hingga berteriak "Oh my gosh!"
Setelah melempar makanan, mereka bersimpuh, mengoleskan lem ke tangan dan menempelkan diri ke tembok. Dengan lantang, aktivis Phoebe Plummer, 21 tahun, dari London mengatakan, "Apa yang lebih berharga, seni atau kehidupan?"
Bersama rekannya, Anna Holland, 20 tahun, dari Newcastle. Phoebe berkata lagi, "Apakah lebih berharga dari makanan? Lebih dari keadilan? Apakah kamu lebih peduli dengan lukisan dibandingkan melindungi bumi dan manusia?"
Menurut Phoebe, naiknya biaya hidup tak bisa lepas dari krisis minyak, jutaan orang bisa kedinginan dan kelaparan. Mereka bahkan tak mampu menghangatkan sekaleng sup.
Aksi radikal aktivis Stop Oil memantik pro-kontra. Ada yang marah karena mereka bisa merusak mahakarya seni. Ada juga yang mendukung dan memahami kemarahan aktivis muda penuh gairah selama tidak merusak karya seni.
Pada kenyataannya, lukisan itu aman, tidak rusak. Hanya piguranya yang terkena dampak. Artinya para aktivis melakukan aksi liar namun tetap terukur. Mereka tahu aksi ini akan menarik perhatian dunia tapi meminimalkan efeknya. Pesan kunci mereka tersampaikan.
Apa pesan kuncinya? dalam situs just stop oil, mereka jelas menagih janji kepada pemerintah Inggris untuk segera mengurangi penggunaan energi fosil. Mereka meminta pemerintah Inggris segera beralih ke energi terbarukan dan meninggalkan energi dari minyak dan gas.
Pada aksi kedua dengan melempar kentang tumbuk ke lukisan Monet, para aktivis membuat pernyataan lebih gamblang. "Kita sedang menghadapi bencana iklim, dan kalian takut sup tomat dan kentang menghancurkan lukisan."
Menurut para aktivis yang lebih menakutkan, berdasarkan sains kita akan sulit memenuhi kebutuhan pangan pada 2050. "Apakah sekarang kalian mendengar, kapan kalian mendengar dan menghentikan ini."
Dunia tengah menghadapi krisis iklim. Bumi menghangat 1,2C sejak era pra industri. Bayangkan jika bumi seperti tubuh manusia yang naik 1,2C. Badan kita tentu tak enak, sakit.
Apabila terus naik maka bisa terjadi kegawatdaruratan. Ini juga yang terjadi dengan bumi. Berbagai bencana iklim, sudah kita rasakan, banjir hebat, kebakaran hutan, suhu ekstrem seperti gelombang panas.
Pada COP26 tahun lalu di Skotlandia, negara-negara sepakat untuk menahan laju suhu bumi tidak terus naik dan menahan di bawah 1,5C. Salah satunya dengan cara memangkas emisi energi fosil besar-besar, seperti yang disuarakan Stop Oil secara kontroversial.
Masalahnya tak semua orang bersimpati dengan aksi terakhir Just Stop Oil dengan melempar sup tomat ke karya seni. Ironisnya juga mereka menyuarakan bahaya krisis pangan dengan "membuang" makanan, satu kaleng sup tomat juga kentang.
Memang aksi kontroversial sesekali dibutuhkan untuk memberikan efek kejut dan menyampaikan pesan kunci. Seperti kata Bob Geldof, aksi mereka menyebalkan tapi cerdas karena tidak merusak lukisan. Mereka juga tidak membunuh, tapi perubahan iklim yang bisa membunuh.
Secara logika, saya memahami kemarahan aktivis terhadap lambannya negara mengatasi krisis iklim. Namun secara emosional, sulit menerima aksi mereka jika terus menerus mencari perhatian dengan melempar makanan ke karya seni.
Cukup sampai van Gogh dan Monet, jangan sampai aktivis Just Stop Oil melempar makanan lagi ke mahakarya seni lain. Sebab, krisis iklim tidak akan tuntas dengan aksi kontroversial tapi dengan aksi nyata kita dalam kehidupan sehari-hari seperti dengan memangkas emisi kita sendiri, seperti memilih naik transportasi umum, beralih ke kendaraan listrik atau bersepeda.
Ikuti perkembangan terbaru krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Penggerak @Sustainableathome
Topik :