REHABILITASI hutan populer jauh sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan terbit. Melalui program penyelamatan hutan tanah dan air (PHTA), Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden tentang Reboisasi dan Penghijauan pada 1976 untuk menyelamatkan lahan kritis di dalam maupun di luar kawasan hutan.
UU Kehutanan memperjelas reboisasi dan penghijauan sebagai rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuannya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan terjaga.
Implementasi rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Kegiatan rehabilitasi hutan bisa dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan memakai pendekatan partisipatif untuk mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Dari UU Kehutanan, regulasi rehabilitasi hutan kegiatan diperjelas dalam PP 76/2008, yang diperbaharui menjadi PP 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan.
Dalam PP 26/2020 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan dapat dilaksanakan di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Rehabilitasi hutan di kawasan hutan konservasi ditujukan untuk pemulihan ekosistem, pembinaan habitat dan peningkatan keanekaragaman hayati. Sedangkan kawasan hutan lindung untuk memulihkan fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS) dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Sementara rehabilitasi hutan produksi untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutannya.
Regulasi turunan PP 26/2020 berupa peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 23/2021 tentang pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Peraturan ini mendetailkan penilaian untuk menentukan keberhasilan tumbuh tanaman pada kegiatan reboisasi (revegetasi rehabilitasi hutan) dengan keberhasilan tumbuh tanaman paling sedikit 75% dari tanaman awal pada saat penanaman.
Pemeliharaan lanjutan dan pengamanan setelah penanaman diserahkan kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan dan/atau Dinas Provinsi sesuai kewenangannya. Pemeliharaan lanjutan yang dimaksud berupa pendangiran, pemupukan, dan penyulaman. Sedangkan pengamanan yang dimaksud berupa kegiatan ancaman kebakaran, gangguan manusia dan gangguan satwa.
Masalahnya belum ada tolok ukur keberhasilan rehabilitasi hutan. Keberhasilan rehabilitasi hutan harus dibuktikan dalam bentuk portofolio berdasarkan tata waktu yang runut dan logis dari tanaman berupa anakan (seedling) hingga menjadi pohon dewasa (trees).
Portofolio rehabilitasi hutan adalah hasil kerja yang menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bidang rehabilitasi hutan dan lahan dari mulai tanaman berupa anakan menjadi pohon dewasa yang membutuhkan waktu minimal 15 tahun.
Rehabilitasi hutan yang lebih banyak dilakukan dan diterjemahkan dengan kegiatan penanaman kembali (revegetasi) tanaman hutan dalam kawasan hutan yang telah kritis (terdeforestasi) baru dapat disebut berhasil apabila telah menjelma menjadi pohon dewasa dan komunitas vegetasinya telah mampu membentuk menjadi hutan baru sebagaimana yang dipahami selama ini sebagai kawasan hutan.
Empat tahap tanaman tumbuh menjadi pohon:
- seedling (semai) permudaan, mulai ditanam dalam lubang sampai setinggi 1,5 meter (usia 0-5 tahun);
- sapling (sapihan, pancang) permudaan, dari tinggi di atas 1,5 meter sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 sentimeter usia 6-10 tahun;
- pole (tiang) yaitu pohon muda berdiameter 10-35 sentimeter (usia 11-15 tahun); dan
- trees (pohon dewasa) yang berdiameter di atas 35 sentimeter (di atas 15 tahun).
Untuk menjadi pohon dewasa dari bibit/anakan mulai ditanam, membutuhkan waktu 15-20 tahun.
Bukti portofolio rehabilitasi hutan:
- Dalam Peraturan Menteri Lingkungan 23/2022 disebutkan bahwa penilaian keberhasilan tanaman pada fase ini dilakukan pada saat akhir penanaman, pemeliharaan I, dan pemeliharaan II. Artinya, penilaian tanaman dilakukan tiga kali, yakni pada saat tanaman berumur 1, 2, dan 3 tahun, sebanyak 75% atau 1.237 anakan per hektare dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Penyulaman tanaman yang mati dilakukan pada saat pemeliharaan tahun berjalan sebesar 10%, pemeliharaan I sebesar 20%, dan pemeliharaan II sebesar 10%. Sesuai ketentuan silvikultur hutan dalam proses pertumbuhan tanaman kehutanan dapat dilakukan penjarangan (thinning) dan pemangkasan (pruning) minimal dua kali pada saat tanaman mengalami phase sapling dan pole.
- Bila diasumsikan jarak tanam diperlonggar dengan penjarangan menjadi 3 x 3 meter dengan persen tumbuh 7 %, dalam satu hektar tanaman harus hidup minimal 8.33 pancang tanaman.
- Bila diasumsikan jarak tanam diperlonggar dengan penjarangan menjadi 4 x 4 meter dengan persen tumbuh 100%, dalam satu hektare tanaman harus hidup minimal 625 tiang.
- Minimal pohon yang hidup 80% dari tiang tanaman yang ada atau hidup sebanyak 500 pohon tanaman.
Fakta lapangan
Meskipun peraturan menyebutkan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan diserahkan kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan dan/atau Dinas Provinsi, faktanya pemeliharaan lanjutan lebih banyak diserahkan kepada mekanisme alam dalam proses tumbuh selanjutnya dari mulai lepas pemeliharaan II (seedling).
Proses penilaian tanaman pada fase sapling, pole maupun trees tidak pernah dilakukan. Dengan demikian, portofolio keberhasilan tanaman hanya dilakukan pada fase seedling. Padahal waktu tumbuh tanaman hingga pohon terjadi 5-15 tahun. Seharusnya minimal ada tiga kali bukti portofolio rehabilitasi hutan.
Empat portofolio penilaian tanaman tersebut adalah fase secara berurutan. Bagaimana kita memperoleh data valid rehabilitasi hutan dan lahan telah berhasil? Padahal, di masa krisis iklim, memastikan rehabilitasi hutan sangat penting ketimbang klaim reforestasi yang hanya berdasarkan data luas penanaman di awal kegiatan rehabilitasi.
Ikuti perkembangan terbaru rehabilitasi hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :