Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 November 2022

Kritik Atas Revisi Aturan Reforma Agraria

Pemerintah meluncurkan naskah revisi aturan reforma agraria. Mengacu ke UU Cipta Kerja.

Tata kelola reforma agraria (Foto: Geralt/Pixabay)

KEMENTERIAN Koordinator Perekonomian akhirnya mengunggah naskah rancangan revisi Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang reforma agraria pada 26 Oktober 2022. Peraturan ini akan menjadi basis aturan redistribusi lahan seluas 9 juta hektare sebagai amanat Undang-Undang Pokok Agraria.

Namun, perumusan rancangan revisi Peraturan Presiden itu mendapat kritik keras Konsorsium Pembaruan Agraria. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengklaim tak pernah diajak berdiskusi membicarakan revisi itu meski nama organisasinya tercantum sebagai salah satu peserta diskusi publik.

Menurut Dewi, Kantor Staf Presiden dan Kementerian Koordinator Perekonomian beberapa mengabaikan tuntutan transparasi dalam merumuskan kebijakan reforma agraria. "Tuntutan merumuskan kebijakan reforma agraria adalah memadai (adequate), transparan, dan saksama (purdent)," kata Dewi pada 4 November 2022. 

Reforma agraria adalah program pemerintah dalam redistribusi aset tanah. Program ini bertujuan mengatasi ketimpangan kepemilikan dan akses terhadap aset untuk mengurangi kemiskinan. Ada temuan ilmiah bahwa kemiskinan terjadi akibat akses yang timpang terhadap lahan. Maraknya konflik agraria juga menjadi dasar program ini.

Program ini menargetkan 9 juta hektare redistribusi lahan pada 2024. Namun, Kementerian Agraria yang dulu bernama Badan Pertanahan Nasional (BPN) kesulitan mencapai target ini.

KPA bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria meminta Presiden merevisi peraturan 86/2018 itu. Namun, pembahasannya tertutup sejak 2019-2022. "Tiba-tiba saja Kementerian Perekonomian hendak membuat diskusi publik soal rancangannya," kata Dewi. "Ini diskusi publik hanya formalitas karena pemerintah ingin mengesahkannya pada akhir 2022 atau awal 2023."

Soal isi revisi Perpres 86/2018, Dewi mengkritik dasar pertimbangannya yang memakai Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). “Landangan hukum agraria nasional kita adalah Undang-Undang Pokok Agraria, bukan UU Cipta Kerja,” kata Dewi. Akibatnya, kata dia, tujuan reforma agraria menjadi sumir.

Dewi mencontohkan tanah objek reforma agraria (TORA) yang bersumber dari Bank Tanah. Akibat UU Cipta Kerja kini melalui model hak pengelolaan (HPL). Akibatnya reforma agraria yang seharusnya fokus pada masyarakat miskin tercampur dengan pengadaan tanah untuk kelompok usaha besar. Padahal, reforma agraria ingin menghapus ketimpangan dua pihak ini.

Catatan lain KPA dalam reforma agraria adalah revisi Perpres 86/2018 belum memiliki terobosan menyelesaikan konflik agraria dengan BUMN. Selama ini, kata Dewi, perusahaan-perusahaan negara mengajukan argumen kesulitan menghapusbuku aset atau aktiva BUMN dan argumen tentang 30% tutupan hutan di suatu daerah aliran sungai.

Jika benar revisi Perpres 86/2018 mengacu kepada UU Cipta Kerja seperti dibaca Dewi, tutupan hutan 30% seharusnya tak dipakai lagi. Sebab, UU Cipta Kerja menghapus kewajiban pemerintah menjaga tutupan hutan minimal 30% di suatu pulau atau daerah aliran sungai sebagai syarat daya dukung lingkungan.

Soal lain adalah sertifikat tanah. Perpres 86/2018 menganggap sertifikasi tanah sebagai reforma agraria. Menurut Dewi, sertifikasi hanya persoalan administrasi yakni memberikan pengakuan melalui surat atas kepemilikan tanah oleh lembaga negara.

Sementara reforma agraria lebih luas dari sekadar sertifikat. Reformasi agraria mengoreksi struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik seperti petani gurem, buruh tani, rakyat miskin, dan pemulihan hak korban perampasan tanah. "Naskah revisi Perpres 86/2018 melanjutkan persepsi sertifikasi tanah," kata Dewi.

Ikuti perkembangan terbaru reforma agraria di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain