Kabar Baru| 06 November 2022
Yang Dibawa Indonesia ke COP27
HARI ini Konferensi Iklim COP27 dimulai, di kota pantai Sharm El-Sheikh, di dekat Laut Merah, satu jam penerbangan dari Kairo, Mesir. Mesir menjadi negara kedua di Afrika yang menjadi tempat penyelenggaraan Conference of the Parties (COP) setelah Maroko pada 2016.
Ada banyak protes Mesir sebagai tuan rumah COP27 karena pelbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Mesir di bawah Presiden Abdul Fattah Asisi. Amnesty International menilai tak ada negara yang mendaku pahlawan iklim sepanjang mengabaikan perlindungan HAM.
COP27 sebagai konferensi yang penting, meski hasilnya acap mengecewakan. Kesepakatan CO26 di Glasgow, misalnya, tentang penghentian pemakaian energi fosil dianulir Cina dan India, dua negara pemakai batu bara terbesar di dunia.
COP27 akan membahas kembali komitmen negara maju menyalurkan dana mitigasi krisis iklim ke negara berkembang. Apalagi, kenaikan suhu bumi dipastikan melewati batas yang ditetapkan Perjanjian Paris pada 2015 sebesar 1,50 Celsius pada 2030.
Climate Tracker Action menghitung kenaikan suhu bumi akan melebihi 2,4C pada 2050 akibat keterlambatan dunia mengantisipasinya tersebab gagal dalam negosiasi di COP. Pengurangan bahan bakar fosil, mencegah deforestasi, melindungi masyarakat adat masih jadi isu besar di banyak negara.
Indonesia akan turut serta dalam COP27. Ada banyak persiapan yang dilakukan Indonesia untuk tampil sebagai negara yang mengesankan peduli pada mitigasi iklim. Sebagai anggota 10 negara dengan produsen gas rumah kaca terbesar, Indonesia punya tugas yang unik: mesti menurunkan gas rumah kaca sekaligus andalan penyerap gas rumah kaca negara lain.
Sebab, COP27 juga akan membicarakan kembali biaya US$ 100 miliar untuk mitigasi krisis iklim. Sebagai tropis yang menjadi andalan penyerap gas rumah kaca, Indonesia punya kesempatan menyerap dana tersebut.
Yang Dibawa Indonesia
Untuk menuju COP27, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan beberapa hal untuk dinegosiasikan:
NDC Naik
Pada 23 September 2022, pemerintah Indonesia mengajukan proposal penurunan emisi gas rumah kaca yang baru sebagai revisi proposal 2021 ke UNFCC, lembaga PBB yang menjadi tuan rumah COP. Melalui NDC enhanced, Indonesia menaikkan target menurunkan emisi karbon dari 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 41% menjadi 43,2% dengan bantuan asing pada 2030. Rasio ini berdasarkan prediksi emisi tanpa mitigasi 2010 sebesar 2,87 miliar ton setara CO2.
Kenaikan NDC ini sudah dilakukan tiga kali. Pada 2009, Indonesia mengajukan target menurunkan emisi sebesar 26%, lalu naik pada 2016 sebesar 29%. Perubahan terakhir mencakup penurunan emisi gas rumah kaca dari empat sektor. Kecuali sektor pertanian yang turun, empat sektor lain target penurunan emisinya naik: energi, limbah, industri dan proses produksi, dan kehutanan.
Kehutanan menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar. Targetnya pun naik dari 17,2% dalam skenario 29% menjadi 17,4% dalam skenario 31,89%. Program andalannya adalah FOLU net sink atau emisi negatif sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Meski begitu, total luas deforestasi malah naik dari 325.000 hektare dalam skenario 29% naik menjadi 359.000 hektare pada skenario 31,89%.
Penurunan deforestasi lumayan signifikan dalam skenario 43,2%, dari 325.000 hektare menjadi 175.000 hektare. Artinya, tingkat penggundulan hutan, baik terencana melalui program pemerintah maupun tak terencana akibat pembalakan liar atau kebakaran hutan, turun jika ada bantuan internasional. Sebab, skenario ini memerlukan syarat bantuan biaya dari pihak lain.
Perdagangan karbon
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Nomor 21/2022 tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon. Ini peraturan teknis perdagangan karbon, baik untuk pasar domestik maupun internasional. Dengan peraturan ini, usaha pencegahan deforestasi bisa dijual kepada negara atau lembaga lain yang memproduksi emisi.
Ada pelbagai jenis perdagangan karbon yang diatur di Permen 21/2022: perdagangan emisi melalui cap and trade dan carbon off set, pungutan karbon, pembayaran berbasis kinerja, atau mekanisme lain yang sesuai teknologi (lihat penjelasan di sini). Pembayaran berbasis kinerja sudah dimulai dengan Norwegia: negara ini membayar penurunan deforestasi di tahun tertentu berdasarkan unit karbon yang bisa dihindarkan menjadi gas rumah kaca. Harganya US$ 5 per ton setara CO2.
Selain perdagangan karbon, tahun lalu aturan harmonisasi pajak juga telah mengatur soal pajak karbon. Ini pajak yang akan dikenakan kepada barang atau aktivitas yang menghasilkan emisi di awal atau di akhir masa produksi. Nilainya Rp 30.000 per ton emisi setara CO2. Hanya saja pemerintah menunda penerapannya hingga 2025.
Perdagangan karbon bisa menjadi cara Indonesia mendapatkan pembiayaan krisis iklim: menampung dana dari negara maju sebagai produsen emisi untuk melindungi lingkungan Indonesia.
Transisi energi
Dalam NDC enhanced, sektor energi paling besar kenaikan penurunan emisinya, dari 11% menjadi 12,5% dengan usaha sendiri. Target ini mengacu pada kebijakan transisi energi dengan menaikkan bauran energi terbarukan menjadi 23% pada 2025. Andalannya adalah pencampuran bahan bakar PLTU batu bara dengan biomassa atau cofiring biomassa.
PLN sudah uji coba cofiring biomassa di 50 lokasi pembangkit. Caranya dengan mencampurkan batu bara dan pelet kayu atau sampah sebagai bahan bakar pembangkit. Di Bantargebang, Bekasi, sampah orang Jakarta juga akan diolah dengan teknologi RDF atau pengeringan sampah yang kemudian dipadatkan menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
Selain cofiring, andalan transisi energi adalah pemakaian biofuel B40. Artinya, komposisi minyak sawit dalam biodiesel akan ditambah menjadi 40% dibanding solar. Dalam dokumen NDC enhanced, pemerintah menargetkan utilisasi atau pemanfaatan B40 mencapai 100% pada 2030. Pemerintah mengklaim pemakaian biodiesel B40 akan mereduksi emisi karbon sangat signifikan dari pemakaian mesin dan transportasi.
Masalahnya, cofiring maupun B40 berasal dari komoditas lahan. Hutan tanaman energi membutuhkan lahan hutan, meskipun bisa memakai hutan tanaman industri. Sementara B40 menuntut produksi minyak sawit lebih banyak. Sementara sawit mengubah hutan menjadi perkebunan monokultur yang mereduksi simpanan karbon.
Dengan sederet proposal itu, apakah Indonesia akan dipandang sebagai negara yang menjanjikan dan cukup memadai membuat program mitigasi krisis iklim di COP27?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :