Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 November 2022

COP27 dalam Bayang-Bayang Krisis Pangan

Sistem pangan global tidak lagi mumpuni menghadapi dampak krisis iklim. Bahkan jika suhu hanya 1,5C.

Krisis pangan akibat krisis iklim

GELOMBANG panas, ancaman gagal panen di India, banjir di Pakistan hingga kekeringan di Cina, merupakan dampak nyata krisis iklim dan pemanasan global. Krisis pangan ini membayangi perhelatan Konferensi Iklim COP27 di Mesir pada 6-18 November 2022.

Pertemuan ini melibatkan pemerintah, negosiator, organisasi, ilmuwan dan media dari 197 negara untuk membahas krisis iklim.

Konstruksi Kayu

Sebuah surat terbuka disampaikan oleh 350 juta keluarga petani dan produsen/pengusaha pangan di berbagai penjuru dunia kepada para pemimpin dunia dalam pertemuan tahun ini. Isinya merupakan peringatan bahwa sistem pangan global saat ini tidak mumpuni dalam menghadapi dampak krisis iklim

Bahkan ketika dunia bisa menahan kenaikan pemanasan global di bawah 1,50 Celsius seperti target Perjanjian Paris 2015. Para petani juga menyampaikan bahwa COP27 seharusnya memprioritaskan pembangunan sistem pangan di tengah situasi suhu dunia yang semakin panas.

“Ketahanan pangan global menjadi sangat rentan di era krisis iklim sehingga membutuhkan pendanaan adaptasi bagi produsen pertanian skala kecil amatlah diperlukan,” tulis para petani yang tergabung dalam jaringan tersebut.

Pembiayaan untuk keadilan iklim merupakan bahasan penting dalam COP27, setelah pembahasan ini gagal pada COP26 di Glasgow tahun lalu.

Peran petani dan produsen skala kecil sangat penting dalam sistem ketahanan pangan global. Sebanyak 80% dari makanan yang dikonsumsi di kawasan seperti Asia dan Afrika Sub-Sahara berasal dari petani dan produsen skala kecil.

Kelompok petani dan produsen skala kecil ini membutuhkan pembiayaan untuk bisa terus berproduksi dalam sistem besar ketahanan pangan.

Masalahnya, negara-negara kaya hanya menyumbang 1,7% dari aliran pendanaan iklim di 2018–hanya US$ 10miliar atau senilai dengan Rp 157 triliun, dibandingkan dengan yang diperkirakan US$ 240 miliar per tahun atau Rp 3.773 triliun.

Dalam COP26 di Glasgow, negara-negara maju telah setuju menggandakan pendanaan untuk adaptasi iklim menjadi Rp 628 triliun per tahun pada 2025, namun angka tersebut masih hanya sebagian kecil dari yang dibutuhkan.

Kini, lebih dari 70 jaringan dan organisasi yang mewakili petani, nelayan, peternak, dan petani hutan telah menandatangani surat terbuka tersebut. Antara lain Forum Perdesaan Dunia yang mewakili 35 juta keluarga petani di lima benua, Aliansi untuk Kedaulatan Pangan di Afrika yang mewakili 200 juta produsen skala kecil di benua, Asosiasi Petani Asia untuk Pembangunan Berkelanjutan dengan 13 juta anggota, dan Koordinator Pemimpin Teritorial Wanita Mesoamerika di Amerika Latin.

Organisasi nasional dari Yordania hingga Inggris dan India pun telah menandatangani surat terbuka itu. "Perlu ada dorongan besar-besaran dalam pendanaan iklim untuk memastikan produsen skala kecil memiliki informasi, sumber daya, dan pelatihan yang diperlukan untuk dapat terus memberi makan dunia bagi generasi mendatang,” kata Elizabeth Nsimadala, Presiden Federasi Petani Afrika Timur, yang mewakili 25 juta produsen makanan.

COP27 tahun ini berlangsung di tengah krisis pangan global. Kekeringan ekstrem, banjir, dan gelombang panas yang telah merusak panen di seluruh dunia, mendorong para ilmuwan memperingatkan risiko kegagalan panen serentak di lumbung pangan utama dunia.

Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa pergeseran menuju sistem pangan melalui produk pertanian rendah emisi dan lebih beragam adalah kunci menjaga ketahanan pangan dalam perubahan iklim.

Ma Estrella Penunia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Asia untuk Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan yang mewakili 13 juta petani di seluruh Asia mengatakan, "Sebanyak US$ 611 miliar atau sekitar Rp 9.607 triliun habis untuk mensubsidi produksi pangan setiap tahun–yang sebagian besar dinikmati industri, pertanian yang mengandalkan bahan kimia, yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan”.

Dia menambahkan, krisis pangan dan pertanian sebagian besar diabaikan dalam negosiasi iklim seperti COP27 meskipun bertanggung jawab atas 34% emisi dunia, yang sebagian besar berasal dari industri pertanian.

Ikuti perkembangan terbaru krisis pangan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain