PBB merilis dua laporan baru krisis iklim di Konferensi Iklim COP27 6-18 November 2022 di Sharm El Sheikh, Mesir. Salah satu laporan itu, berupa Sintesa NDC 2022 yang menunjukkan saat ini telah terjadi penurunan kurva emisi gas rumah kaca secara global.
Masalahnya, upaya itu tetap tidak cukup untuk menahan kenaikan suhu global 1,5C dibanding masa praindustri pada akhir abad ini. Target NDC 193 negara yang menandatangani Perjanjian Paris 2015 masih menempatkan bumi dalam skenario terburuk, yaitu 2,5C pada 2100.
Perjanjian Paris mendorong kebijakan tiap negara membatasi emisi gas rumah kaca. Komitmen itu dituangkan dalam nationally determined contributions (NDC) yang dirancang dan ditargetkan pencapaiannya untuk masing-masing negara. Dunia perlu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2C, lebih baik jika 1,5C dari suhu sebelum industri (1800-1850) untuk mencegah kekacauan dan bencana iklim.
Kekeringan dan gelombang panas tahun ini merupakan akibat krisis iklim. Dampak ini akan lebih sering dan parah jika suhu global terus naik. Saat ini kenaikan suhu global rata-rata mencapai 1,2C.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa komitmen NDC yang dituangkan tiap negara tetap akan meningkatkan emisi sebesar 10,6% pada 2030, dibandingkan dengan tingkat 2010.
Tahun lalu laporan serupa menunjukkan prediksi peningkatan sebesar 13,7% pada 2030 dibandingkan tingkat 2010. Ini berarti ada perbaikan dalam pengurangan emisi global tahun ini.
Analisis tahun ini juga mengkoreksi analisis tahun lalu yang menyebutkan bahwa emisi diproyeksikan terus meningkat setelah 2030, kini memproyeksikan emisi tidak lagi meningkat setelah 2030. Tetapi produksi emisi belum menunjukkan tren penurunan yang cepat.
Pada 2018, Panel Antapemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB pada menunjukkan emisi gas rumah kaca perlu dikurangi 45% pada tahun 2030, dibandingkan dengan tingkat tahun 2010. Namun, laporan IPCC terbaru yang dirilis awal tahun ini, yang memakai basis emisi 2019, menunjukkan emisi yang harus dikurangi untuk menahan kenaikan suhu 1,5C sebesar 43% dari 51 miliar ton setara CO2 per tahun.
“Tren penurunan emisi yang 2030 menunjukkan bahwa kita telah membuat beberapa kemajuan tahun ini,” kata Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UNCC dalam siaran persnya. “Tapi, kita masih jauh dari skala dan kecepatan pengurangan emisi agar kenaikan suhu dunia tidak lebih dari 1,5C. Pemerintah tiap negara perlu memperkuat rencana aksi iklim dan mengimplementasikannya dalam delapan tahun ke depan.”
Pada CO26 di Glasgow, Skotlandia, semua negara sepakat meninjau dan memperkuat rencana iklim. Tetapi hingga 23 September lalu, hanya 24 negara yang mengajukan rencana iklim baru . Salah satunya oleh Indonesia.
Indonesia menaikkan target NDC dari 29% ke 31,89% dengan upaya sendiri. Jika ada bantuan asing, target itu naik dari 41% menjadi 43,2%.
Sementara itu, laporan Iklim PBB lainnya tentang strategi pembangunan rendah emisi jangka panjang mengindikasikan emisi gas rumah kaca global bisa menjadi sekitar 68% lebih rendah pada 2050 dibandingkan tahun 2019, jika semua strategi jangka panjang diterapkan sepenuhnya tepat waktu.
Laporan ini menganalisis rencana negara-negara anggota PBB untuk bertransisi ke nol emisi atau penyeimbangan emisi pada pertengahan abad atau 2050.
Strategi jangka panjang saat ini (mewakili 62 Pihak dalam Perjanjian Paris) menyumbang 83% dari PDB dunia, 47% dari populasi global pada 2019, dan sekitar 69% dari total konsumsi energi pada 2019. Ini adalah sinyal kuat bahwa dunia mulai menargetkan emisi nol bersih.
Laporan tersebut mencatat banyak target net-zero tetap tidak pasti dan penundaan tindakan kritis yang perlu dilakukan sekarang.
Stiell meminta pemerintah di tiap negara untuk meninjau kembali rencana iklim mereka. "COP27 adalah momen di mana para pemimpin global bisa memperoleh kembali momentum krisis iklim, membuat poros yang diperlukan dari negosiasi hingga implementasi dan bergerak pada transformasi besar-besaran yang harus terjadi di semua sektor masyarakat untuk mengatasi darurat iklim,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :