BURSA Efek Indonesia (BEI) dan Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) menandatangani nota kesepahaman pengembangan perdagangan karbon kemarin, 10 November 2022. Kesepakatan ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 tahun 2022 tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon.
"Kami menyambut baik dukungan IDCTA untuk menciptakan ekosistem perdagangan karbon yang sesuai dengan kebutuhan industri," kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy saat penandatanganan nota kesepahaman.
Perdagangan karbon merupakan salah satu instrumen menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim yang diatur dalam Perjanjian Paris 2015. Berdasarkan perjanjian tersebut, semua pihak yang meratifikasinya (termasuk Indonesia) memiliki target penurunan emisi untuk mencegah kenaikan suhu bumi 1,5C dibandingkan masa praindustri (1800-1850).
Indonesia memiliki target penurunan emisi dalam nationally determined contributions (NDC) yaitu menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% dari produksi emisi 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Target ini naik menjadi 43,2% jika ada bantuan asing.
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli unit karbon. Ada dua jenis perdagangan karbon: cap and trade, yaitu perdagangan karbon di lima sektor NDC: energi, kehutanan, pertanian, limbah serta industri dan proses produksi. Pada lima sektor ini, ada batas emisi (cap) yang boleh diproduksi. Jika sebuah entitas memproduksi emisi karbon melebihi batas tersebut, mereka wajib mengkompensasi kelebihan itu kepada entitas lain yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut.
Skema kedua perdagangan adalah carbon off set, yaitu pengimbangan emisi karbon yang diproduksi dengan emisi yang diserap. Produsen yang memproduksi emisi bisa menukarnya dengan jasa usaha penyerapan karbon. Off set karbon bisa dilakukan dengan perdagangan langsung antar penjual dan pembeli serta melalui bursa karbon.
Bursa Efek Indonesia yang akan menyelenggarakan perdagangan karbon melalui bursa. BEI akan berkolaborasi dengan IDCTA untuk meningkatkan pengetahuan terkait perdagangan karbon sembari mempersiapkan infrastruktur bursa karbonnya.
Sejauh ini bentuk kerja sama perdagangan karbon antara lain mengadakan diskusi serta knowledge sharing bersama pihak ketiga untuk pengembangan perdagangan karbon dan edukasi terhadap stakeholder terkait.
Kerja sama itu juga mencakup evaluasi berbagai solusi penyelenggaraan perdagangan karbon, atau bentuk kerja sama lainnya dalam lingkup pengembangan perdagangan karbon.
Sepekan lalu, BEI juga menandatangani nota kesepahaman tentang potensi pengembangan sistem pertukaran karbon dengan MetaVerse Green Exchange (MVGX), perusahaan teknologi keuangan asal Singapura. MGVX merupakan layanan sekuritas yang menyediakan SaaS (software as service) untuk mengkomersialkan kredit karbon.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar menyambut inisiatif ini. Menurut dia, dengan hutan tropis seluas 123,5 juta hektare, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton emisi karbon, belum termasuk hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan senilai US$ 565,9 miliar atau Rp 8.488 triliun dari perdagangan karbon.
Untuk mendukung peluang itu, kata Mahendra, perlu kerangka regulasi yang mengatur kewenangan dan pengoperasian bursa karbon, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
"Kita juga harus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder dan pasar sehingga bisa mendukung beroperasinya bursa karbon, serta mekanisme pengawasan yang sesuai untuk pasar karbon agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam NDC," kata Mahendra.
Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap regulasi mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon melalui bursa karbon bisa segera diterbitkan sehingga dapat mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.
Ikuti perkembangan terbaru tentang perdagangan karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :