DALAM sebuah diskusi hari ke-5 Konferensi Iklim COP27 Mesir di Paviliun Indonesia, ada pernyataan menarik Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah Mahmud. Ia mengatakan bahwa kemampuan menyerap emisi kelapa sawit berkontribusi dalam pengendalian krisis iklim.
Dalam pengantar diskusi bertajuk “Contributing Palm Oil Towards Carbon Emission Reduction itu, Musdalifah mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit kini mencapai 16,38 juta hektare. Dari luas itu, perkebunan kelapa sawit mampu menyerap 2,2 miliar ton emisi setara CO2 setiap tahun.
Serapan karbon kelapa sawit itu hampir setara produksi emisi Indonesia tanpa mitigasi sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Artinya, cukup dengan perkebunan kelapa sawit, Indonesia tak perlu menunggu hingga 2060 untuk mencapai net zero emissions atau nol-emisi bersih seperti target dalam nationally determined contributions (NDC).
Musdalifah menambahkan bahwa program biodiesel B30 (campuran 30% minyak sawit dengan 70% solar), juga mereduksi atau menghindarkan emisi karbon sebanyak 29,5 juta ton setara CO2 pada 2022. B30 merupakan bagian dari kebijakan energi nasional untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025.
Pernyataan Musdalifah terdengar sejalan dengan kajian Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), ketika menelurkan naskah akademik “Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi”.
Kajian itu menyebutkan kelapa sawit memiliki kemampuan menyerap emisi kabon yang lumayan tinggi dan paling efisien dibandingkan dengan tanaman komoditas kehutanan, seperti akasia, pinus, albizia, casuarina, dan ekaliptus yang termasuk jenis berdaun jarum atau jenis berdaun tidak lebar.
Ukuran yang digunakan dalam penyerapan CO2 adalah komponen-komponen neraca karbon seperti net primary production (NPP) atau nilai bersih penyerapan karbon, respirasi tanah autotrofik dan heterotrofik, kontribusi serasah dan nekromassa. Laju penyerapan karbon dioksida (CO2) di atmosfer dapat diketahui dari nilai NPP.
NPP rata-rata kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan tanaman lainnya (1415±475 gram per sentimeter persegi per tahun), bahkan lebih besar dari vegetasi hutan (1393±613 g/cm2/tahun) meskipun tidak berbeda signifikan.
Perbadingan dengan komoditas hutan tanaman seperti akasia, pinus, albasia, jati dan eucalyptus, menunjukkan bahwa NPP kelapa sawit 1,3-2 kali lebih besar. Jika dibandingkan dengan tanaman kelapa, nilai NPP kelapa sawit 1,15 kali lebih besar.
Benarkah tanaman kelapa sawit berperan menyerap emisi karbon? Mungkin jika kondisinya ideal, yakni dikelola secara berkelanjutan.
Jika kita melihat data Indonesia Sertification Palm Oil (ISPO), perkebunan kelapa sawit yang sudah mendapat label ISPO seluas 7 juta hektare. Artinya, masih ada lebih dari 9 juta hektare yang belum mendapatkan label berkelanjutan.
Sumber emisi terbesar kelapa sawit berasal dari konversi lahan hutan alam tropika dan hutan gambut yang memiliki cadangan karbon tinggi. Kini ada sekitar 3,4 juta hektare perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sawit yang berada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Berdasarkan Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, dari luas kebun kelapa sawit 14,60 juta hektare di Indonesia tak kurang dari 10.634.280 hektare (72,8% ) di Sumatera dan Kalimantan ada di lahan gambut.
Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, 2.815.914 hektare (26,47%) merupakan kebun sawit di lahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 sentimeter. Sedangkan sisanya, 7.820.366 hektare (73,53%) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal.
Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang- sangat tebal) seluas 7.820.366 hektare (53,56%) dari seluruh areal sawit di Indonesia. Data yang dipakai adalah luas perkebunan kelapa sawit 14,6 juta hektare.
Akibat deforestasi sawit, Uni Eropa (UE) mengesahkan dan menetapkan aturan uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan sejak 13 September 2022. Enam produk yang harus bebas deforestasi itu salah satunya minyak sawit.
Karena itu pernyataan Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Musdalifah Mahmud di forum internasional menjadi menarik jika melihat ke dalam data-data tersebut. Selama ini, sektor kehutanan acap disebut sebagai sektor dengan penyumbang emisi terbesar, hampir 50% total emisi nasional.
Karena itu, dalam COP27 Mesir pula, sektor kehutanan mempromosikan program FOLU net sink, yakni emisi negatif sektor kehutanan dan penggunaan lahan yang bertekad menaikkan serapan emisi gas rumah kaca dibanding emisi yang dilepaskannya.
Dengan serapan emisi kelapa sawit yang besar seperti disebut Musdalifah Mahmud itu, agaknya program FOLU net sink lebih ringan mencapai target penurunan emisi 31,89% pada 2030.
Ikuti perkembangan terbaru emisi karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :