SEJAK Juni 2022, Pakistan terendam banjir bandang. Tak kurang dari 1.717 orang, termasuk 639 anak-anak tewas. Korban luka-luka mencapai lebih dari 12.867 orang. Banjir itu juga merendam salah satu kota pertama di dunia, Mohenjo-Daro, yang menjadi warisan dunia versi UNESCO.
Kota yang dibangun sekitar tahun 3.000 Sebelum Masehi ini merupakan pusat peradaban indus di Asia Selatan. Berkat kejeniusan para arsiteknya, kota ini tak tersapu ketika banjir bandang melanda tahun ini. Mohenjo-Daro dilengkapi dengan sistem drainase dan selokan primitif sehingga sebagian besar air bisa mengalir.
Sebagian tanah di kota kuno yang ditemukan kembali pada 1922—tepat 100 tahun yang lalu ini—tenggelam. Air bah yang menyapu tiba-tiba juga merusak beberapa bangunan. Tetapi situs itu masih dapat diperbaiki.
Banjir bandang yang merendam sepertiga wilayah negara itu diduga akibat krisis iklim yang mempengaruhi hujan monsoon. Mencairnya gletser juga memperparah banjir bandang. Pakistan merupakan rumah yang mengikat gletser dalam jumlah paling besar di dunia kecuali kutub utara dan selatan serta pegunungan Himalaya.
Ketika cuaca menghangat, negeri ini menjadi rentan terpapar gletser yang tiba-tiba mencair. Kepala meteorologis Pakistan sudah meminta kewaspadaan masyarakat bahwa tahun ini saja, sudah tiga kali gletser mencair.
Laporan terbaru UNESCO yang terbit awal November ini menyebutkan sebanyak 50 dari 1.154 situs warisan dunia berada di kawasan gletser. Sepertiga dari 50 situs tersebut akan musnah pada 2050, terlepas dari upaya membatasi kenaikan suhu.
Sebanyak dua per tiga situs warisan dunia lainnya masih bisa diselamatkan jika kenaikan suhu tidak melebihi 1,5C dibandingkan dengan periode pra-industri (1800-1850).
Laporan yang merupakan studi bersama UNESCO dan IUCN ini menunjukkan gletser menyusut masif sejak 2000 karena tingginya emisi CO2, kontributor terbesar pemanasan global.
Saat ini, bumi kehilangan 58 miliar ton es setiap tahun. Angka ini setara dengan gabungan penggunaan air tahunan Prancis dan Spanyol. Mencairnya gletser juga menjadi penyebab hampir 5% kenaikan permukaan air laut global.
Sebanyak 18.600 gletser telah diidentifikasi di 50 situs warisan dunia mencakup luas 66.000 kilometer persegi, mewakili hampir 10% dari total area gletser di bumi. Termasuk yang tertinggi (Everest), yang terpanjang (Alaska) dan yang tersisa terakhir di Afrika.
“Laporan ini merupakan seruan untuk bertindak," kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azkataoulay. "Hanya pengurangan cepat tingkat emisi CO2 yang bisa menyelamatkan gletser dan keanekaragaman hayati yang bergantung padanya."
Ketika gletser mencair dengan cepat, jutaan orang menghadapi kelangkaan air dan meningkatkan risiko bencana alam.
Situs dengan tingkat kehilangan es tercepat ada di pegunungan Asia. Sementara Kanada Barat dan Alaska merupakan tempat situs-situs warisan dunia dengan kehilangan es paling sedikit.
Pada awal 2000 hingga pertengahajn 2010 kehilangan es di Arktik terbilang besar, kemudian menurun hingga akhir 2010 karena anomali cuaca yang meningkatkan hujan salju dan pendinginan laut. Namun, penelitian terbaru menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kehilangan es pada 2020.
“Laporan ini menyoroti kebutuhan mendesak mengurangi gas rumah kaca darn investasi dalam solusi berbasis alam (nature-based solutions),” kata Direktur Jenderal IUCN, Bruno Oberle.
Dampak perubahan iklim bagi situs-situs warisan dunia sebenarnya bukan hanya dialami situs-situs yang berada atau di sekitar kawasan gletser. Di Peru, misalnya, tanah longsor tahun ini terjadi di kaki Machu Picchu pegunungan Andes.
Great Barrier Reef di Australia juga mengalami pemutihan massal tahun ini akibat kenaikan suhu air laut. Candi Borobudur di Jawa Tengah, Indonesia juga mengalami anciaman serupa dari perubahan iklim yang ditandai dengan terkikisnya relief batu.
Mohenjo-Daro mungkin masih sangat beruntung menghadapi banjir bandang ya2022 dampak perubahan iklim. Tapi di masa mendatang, jika mitigasi dan adaptasi perubahan ilklim gagal, banjir bandang akan lebih sering menghempas situs-situs warisan dunia dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan keberuntungan itu bisa saja sirna.
Ikuti perkembangan terbaru ancaman krisis iklim terhadap warisan dunia di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :