KEGIATAN menanam pohon sedang populer sekarang. Di era krisis iklim, posisinya terhormat karena mencerminkan rasa peduli terhadap alam dan pemulihan lingkungan hidup. Tokoh nasional dan dunia membuat acara simbolik menanam pohon untuk menunjukkan kepedulian pada bumi yang tak sedang baik-baik saja. Menanam pohon telah jadi kegiatan politik.
Masalahnya jarang ada yang peduli apa setelah menanam pohon. Bahkan kata “keberlanjutan” acap bersanding “hutan”, bukan dengan “pohon”. Barangkali karena anggapan bahwa hutan sudah ada sebelum manusia ada. Pohon yang ada di dalamnya akan tetap ada jika hutan itu ada. Maka istilah keberlanjutan pengelolaan hutan mengacu pada keseimbangan jumlah pohon yang ditebang dengan jumlah pohon yang ditanam.
Maka di sekolah atau universitas tak ada pelajaran menanam pohon. Mahasiswa mempelajari mengelola hutan alam atau hutan tanaman. Menanam pohon hanya satu dari banyak kegiatan dalam pengelolaan itu. Dengan “mengelola”, secara sosial dan ekonomi, menanam pohon akan menciptakan harmoni antara alam dan manusia.
Pekan lalu, ada perbincangan di Center for Watershed and Ecosystem Conservation Universitas Indonesia mengenai kunci sukses menanam pohon. Pembahasan soal faktor-faktor penentu keberhasilan penanaman pohon. Ada tersirat kesimpulan secara nasional menanam pohon kurang berhasil mencapai tujuan sosial, ekonomi, hingga pengendalian iklim.
Barangkali karena menanam pohon berhenti sampai titik menanam pohon. Aspek lokasi, pemilihan bibit, kesesuaian kondisi tak menjadi perhatian. Atau, jangan-jangan menanam pohon memang hanya untuk simbol saja, untuk mendorong orang lain turut melakukannya. Karena itu menanam pohon makin terlihat seperti “greenwashing”.
Dalam “pencucian hijau” menanam pohon tak menaikkan tutupan hutan, terutama di area yang seharusnya dilindungi yang gundul akibat pemanfaatan ruang.
Pada tingkat konsep, “menanam pohon” memang mereduksi besarnya lingkup keberlanjutan hutan fungsi lingkungan hidup. “Menanam pohon” diposisikan sebagai kegiatan teknis pembibitan, penanaman, pemeliharaan yang terpisah dari gambar besar keberlanjutannya. Jika ada proyek rehabilitasi, kegiatannya terfokus pada tiga aspek ini.
Sebagai gambaran, menanam pohon itu seperti batu dalam pembangunan candi. Tak ada candi jika tak ada batu. Namun, dalam sejarah, candi terwujud bukan semata oleh batu, tapi oleh konsistensi kekuasaan dalam membangun modal sosial, pengamanan, bahkan dengan paksaan, disiplin, rasa hormat. Aspek-aspek tak berwujud seperti batu itu yang justru menentukan Candi Borobudur megah hingga hari ini.
Maka jika pembibitan pohon tidak memiliki konstruksi modal sosial dan rasa hormat kepentingan masyarakat terhadapnya, bibit-bibit itu hanya bisa lahir, tetapi tidak mampu tumbuh sampai fungsinya dihormati oleh masyarakat. Tapi mengapa menanam pohon terus dilakukan tanpa aspek-aspek tak terlihat di belakangnya?
Menanam pohon tampak telah menjadi konstruksi sosial yang menghegemoni. Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), hegemoni terjadi melalui proses yang bekerja di dalam masyarakat yang membentuk kesadaran. Cinta lingkungan menjadi semacam “hegemoni sosial”. Kita setuju bahwa menanam pohon itu baik untuk menyelamatkan bumi.
Lima belas tahun lalu, saya menulis di Suara Pembaruan artikel berjudul “Diskursus Menanaman Pohon 1946-2006”. Saya uraikan dinamika penanaman pohon secara nasional, yang dimulai pada periode 1946-1950 melalui “Komite Rehabilitasi Hutan” dan penanaman 1951-1960 melalui “Karang Kitri”. Semuanya gagal.
Kegagalan menanam pohon memicu program yang lebih besar yaitu Pekan Penghijauan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 17 Desember 1961. Namun, hingga 1998 tidak ada informasi berapa jumlah pohon yang berhasil ditanam sampai dewasa, sampai pohon itu berfungsi mengendalikan iklim.
Fakultas Kehutanan IPBB mengumumkan hasil penelitian pada 1998 terhadap proyek-proyek itu. Rupanya, setelah tahun keempat tak ada lagi yang peduli dengan nasib pohon-pohon itu. Sebagian besar lokasi penanaman berubah menjadi pertanian, perkebunan, bahkan perkampungan.
Pada 2007, CIFOR melakukan hal sama dengan menerbitkan laporan “Forset Rehabilitation in Indonesia: Where to after more three decades” yang melihat kembali proyek Gerakan Rehabilitasi Lahan. Hasilnya sama: pohonnya tak diperiksa lagi.
CIFOR menganalisis bahwa rehabilitasi hutan gagal karena tak adanya kepastian kawasan hutan atau hak atas tanah, lemahnya hubungan dengan masyarakat serta tanggung jawab setelah proyek. Artinya, menanam pohon tak diiringi dengan modal sosial merawatnya. Proyek Gerakan Rehabilitasi Lahan seperti mengumpulkan batu untuk candi belaka.
Karena telah menjadi hegemoni, menanam pohon tidak surut meski modal sosial tak kunjung terbentuk. Proyek penanaman pohon masih berkutat pada urusan administrasi, yang terbukti justru menghambat inovasi baru akibat ragam kondisi fisik maupun sosial di lapangan, yang menghalangi pembentukan modal sosial keberlanjutan penanaman pohon.
Menanam pohon itu penting. Apalagi dalam luas yang massal. Tetapi ia tidak bisa berjalan sendirian jika tujuan menanam pohon untuk menghasilkan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ia perlu dukungan transformasi institusional, agar posisinya yang terhormat tidak berubah menjadi greenwashing.
Pepatah Yunani menyebutkan “Masyarakat yang hebat itu ketika mereka menanam pohon di tempat yang tak akan mereka pakai untuk berteduh.”
Ikuti percakapan soal menanam pohon, rehabilitasi hutan, dan greenwashing di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :