AKHIR-akhir ini ada perdebatan soal kerugian negara dalam korupsi atau pelanggaran hukum lain. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubah makna kerugian negara dalam pelanggaran hukum. Misalnya, korupsi. Putusan itu menyatakan kerugian negara tak lagi mengacu pada nilai perkiraan (potential loss) tapi kerugian nyata (actual loss). Maka, bagaimana menghitung kerugian negara dalam korupsi?
Kerugian negara ini penting karena menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan hukuman pada terdakwa korupsi. Karena itu datanya harus berdasarkan fakta terukur yang dinilai menggunakan angka-angka yang berlaku secara legal.
Saya akan memakai contoh kasus yang telah lalu. Misalnya, dalam konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit secara ilegal. Semestinya kerugiannya diambil dari jumlah volume pohon (m3) yang ditebang dan nilai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang dari hasil tebangan pohon itu (Rp/m3). Maka nilai kerugian perekonomian negara akibat kebun sawit ilegal adalah volume pohon kali tarif PNBP.
Di pengadilan, cara menghitung kerugian negara seperti itu disebut “nyata dan pasti”. Jika cara seperti itu kita pakai untuk kasus kebun sawit ilegal itu, perlu memperhatikan dua hal:
Pertama, menaksir volume pohon. Tidak ada yang bisa memastikan volume pohon yang telah ditebang di masa silam. Untuk mengetahuinya, perlu pengambilan sampling untuk menduga volume populasi pohon secara keseluruhan. Bila di dalam lokasi itu masih ada hutan alam, sampling dibuat dengan mengukur volume pohon di hutan alam tersisa. Hasilnya menjadi dasar untuk menaksir volume pohon di seluruh kawasan hutan yang telah dikonversi secara ilegal.
Cara menaksir seperti itu akan mudah bila kita tahu potensi hutan alam sebelum ditebang dengan asumsi jenisnya homogen, sehingga sampling bisa diletakkan di sebarang tempat karena cukup mewakili volume populasi. Misalnya luas sampling 20 plot. Tiap plot seluas 0,1 hektare yang tersebar merata. Volume rata-rata per plot 5 m3 per hektare. Dengan luas hutan alam 1.000 hektare yang berubah menjadi kebun, volume pohon yang ditebang secara ilegal 50 m3/hektare kali 1.000 hektare, menjadi 50.000 m3.
Bila potensi hutan alam itu tidak homogen—berdasarkan peta tutupan hutan sebelum hutan itu dikonversi—stratifikasi plot sampling di dalam hutan berbeda. Sampling akan mencerminkan kondisi hutan yang tidak homogen. Bagaimana jika hutan heterogen itu sudah tak ada lagi?
Menurut saya, sampling bisa dibuat di hutan alam di sekitar lokasi itu, yang mempunyai sifat-sifat ekosistem serupa. Dalam ilmu perencanaan hutan, cara menaksir volume pohon seperti itu dibenarkan, dengan konsekuensi kesalahan yang bisa diterima akibat kesalahan sampling (sampling error).
Kedua, menaksir nilai PNBP. Nilai tarif PNBP yang ditetapkan dalam peraturan-perundangan juga berdasarkan berbagai asumsi. Misalnya, dalam penetapan harga patokan hasil hutan, yang jadi dasar penetapan PNBP, berdasarkan tujuan optimalisasi penerimaan negara atas hasil hutan, penyesuaian perkembangan harga hasil hutan, dan menjamin kelestarian pengelolaan hutan produksi dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial (Pasal 2, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 64/2017).
Dalam tarif itu harga patokan jenis kayu meranti komersial (kayu bulat besar), misalnya, Rp 810.000 per m3. Harga ini jauh di bawah harga pasar, tapi dianggap memenuhi kriteria pada peraturan menteri tersebut. Apakah benar? Jawabannya tergantung pada berbagai asumsi yang para ahli saat menyusun peraturan itu termasuk pertimbangan politis pemerintah.
Maka kriteria “nyata dan pasti” sebagai dasar putusan pengadilan untuk menentukan kerugian keuangan negara akibat perkebunan kelapa sawit ilegal, dikonstruksikan oleh dua hal. Pertama, ada ahli yang bertanggung jawab menentukan perhitungan volume pohon yang ditebang. Kedua, ada angka tarif yang “legal”, walaupun substansinya tergantung pada pertimbangan ahli maupun kepentingan pemerintah dalam suatu kebijakan.
Dalam praktiknya, landasan menentukan “nyata dan pasti” itu subyektif. Secara harfiah, angka-angka itu tergantung pada asumsi-asumsi pada ahli itu. Dengan kata lain, mereka bersifat kontekstual, selain mengandung kepentingan pemerintah yang menetapkan berlakunya tarif PNBP.
Artinya, perbuatan melanggar hukum atau korupsi bisa mempengaruhi harga pasar, terutama produk yang dikonsumsi masyarakat, hilangnya pajak, hingga tertutupnya akses masyarakat terhadap infrastruktur ekonomi. Bermacam bentuk perbuatan ilegal itu—baik berdasarkan teori maupun secara empiris—mempunyai hubungan langsung dengan terganggunya keuangan maupun perekonomian negara. Para ahli ekonomi bisa menghitung kedua jenis kerugian tersebut.
Apakah hasil perhitungan para ahli ekonomi itu, terutama untuk perhitungan kerugian perekonomian negara, bersifat “nyata dan pasti”? Bila kriteria “nyata dan pasti” sesuai penentuan kerugian keuangan negara oleh pengadilan itu juga bersifat “nyata dan pasti”, para ahli ekonomi yang bisa mempertanggungjawabkannya.
Korupsi terbukti menyebabkan distribusi kekayaan tidak merata. Korupsi membuat usaha kecil menghadapi persaingan tidak sehat dari perusahaan besar yang telah menjalin hubungan ilegal dengan pejabat pemerintah. Dalam ekonomi yang korup, sumber daya dialokasikan tidak efisien dan perusahaan yang tidak memenuhi syarat memenangi kontrak pemerintah sering mendapat proyek akibat suap.
Demikian pula, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan juga memburuk di bawah ekonomi yang korup, yang menyebabkan standar hidup warga negara lebih rendah. Karena itu, angka kerugian perekonomian negara dalam putusan pengadilan diabaikan.
Apalagi jika hakim menganggap nilai kerugian ekonomi dalam korupsi sama dengan nol. Padahal, para ahli ekonomi bisa menghitung kerugian negara akibat korupsi atau perbuatan ilegal tersebut.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :