PENELITIAN kebijakan publik umumnya bertumpu pada obyek dan subyek di luar birokrasi pemerintah. Demikian pula telaah kebijakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) yang melaksanakan kebijakan pemerintah.
Dalam sorotan perilaku aktor kebijakan, banyak studi fokus pada hasil kerja di lapangan dengan analisis insentif dan disinsentif untuk memberikan panduan perubahan perilaku pelaksana kebijakan. Kalau pun penelitian masuk ke dalam ruang pengambilan keputusan, pembicaraannya juga seputar regulasi dengan segala kemungkinan perbaikan serta persyaratan pelaksanaannya.
Dalam studi mengenai pengelolaan sumber daya alam, misalnya, banyak telaah yang berangkat dari kacamata sosial, antropologi, maupun politik. Berbagai tinjauan ini cukup tajam dan detail mengaktualisasikan kondisi di lapangan. Kita menjadi tahu bahwa perilaku keseharian para aktor, ketimpangan akses, penyimpangan pemikiran, tekanan kepentingan, maupun ketimpangan pengetahuan, adalah faktor yang menentukan problem-problem pengelolaan sumber daya alam.
Namun, telaah itu kurang mendalami respons pemerintah pusat dan daerah. Birokrasi kita tampaknya tidak bisa merespons tinjauan detail studi-studi tersebut, terutama karena tugas mereka terbatas pada tugas pokok dan fungsi, juga perintah atasan.
Ini problem pokok birokrasi kita. Pegawai negeri terjebak pada “kesetiaan yang bermasalah”, seperti kita lihat di persidangan Fredy Sambo. Studi Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai donasi dan mobilisasi politik dalam pemilihan kepala daerah juga menunjukkan ada masalah struktural maupun politis sehingga tugas birokrasi dan kepentingan politik bercampur-baur.
Dalam “Politicised Bureaucrats: Conflicting Loyalties, Professionalism and the Law in the Making of Public Services” di International Journal of Law in Context (2022), Sophie Andreetta dan Annalena Kolloch perubahan dalam birokrasi di beberapa negara. Rupanya kini ada kesadaran baru. Dari pekerja sosial hingga hakim kini mulai berani memprotes kebijakan yang dipaksakan kepada mereka.
Saya sarikan isi publikasi mereka:
Pertama, pelayanan pegawai negeri sebagai bentuk aktual negara. Birokrasi yang secara langsung melayani masyarakat menjadi situs sentral yang menghasilkan bentuk kenegaraan. Peran dan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dirasakan melalui pekerjaan para pegawai negeri. Merekalah yang mengeksplorasi kritik masyarakat serta turut serta dalam kontestasi dan politisasi pelayanan publik.
Sebab, negara bukan entitas monolitik, melainkan kombinasi representasi, institusi, dan norma yang harus dinavigasi dan diterjemahkan oleh birokrat ke dalam tindakan. Hal itu berarti bentuk negara tertata “dari bawah”, yaitu dari konstruksi kenegaraan sehari-hari yang konkret. Birokrat muncul sebagai aktor sentralnya.
Kedua, birokrat terpolitisasi. Tindakan politik para pegawai negeri itu bisa berupa instruksi kepada masyarakat yang tak sesuai dengan panggilan tugas mereka, demi membantu kepentingan politik yang sedang berkuasa.
Ambivalensi antara cita-cita birokrasi—patuh, berbakti, dan setia kepada negara—dan norma profesional atau etika pribadi pada akhirnya menyebabkan keresahan politik. Di negara-negara Eropa terjadi pemogokan birokrat. Di negara-negara Afrika Barat ada pembangkangan sipil untuk menentang apa yang mereka anggap sebagai “intrusi politik ke dalam urusan peradilan”.
Agaknya ada kesadaran para birokrat melepas tekanan politik dan memperkuat komitmen mereka terhadap cita-cita kenegaraan, hukum, dan pelayanan publik.
Ketiga, ragam norma. Negara punya ragam norma yang saling bertentangan tapi harus dipatuhi para pegawai negeri, termasuk cita-cita profesional, prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Kita tahu, kerja pegawai negeri tak hanya terikat oleh norma etika dan profesionalisme, juga menghadapi kendala seperti gaji rendah, harus memenuhi harapan keluarga, ambisi pribadi, tekanan politik, instruksi pimpinan, atau pedoman kebijakan yang tidak sesuai kenyataan.
Di Malawi, pegawai negeri harus bermanuver di antara tatanan normatif resmi, tidak resmi, dan sosial yang berbeda. Akibatnya, pegawai negeri Malawi lebih rentan terhadap korupsi. Pegawai negeri di Ghana harus melakukan perlawanan terukur dan teratur kepada pemerintah sebagai wujud kesetiaan mereka kepada negara.
Keempat, mengubah diri. Kini mulai terjadi pergeseran nilai-nilai profesional dan perilaku pegawai negeri di tempat kerja lintas generasi. Berbagi bentuk protes, kritik, dan praktik resistensi birokrasi pada dasarnya merupakan manifestasi keterikatan emosional birokrat dengan cita-cita profesional tertentu, yang kadang bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau instruksi pimpinan.
Dari publikasi itu kita bisa belajar bahwa kebijakan publik tidak dapat dihindarkan dari persoalan birokrasi. Problem ini yang membuat birokrasi tidak merespons rekomendasi-rekomendasi hasil studi yang detail dan mendalam.
Bagaimana posisi birokrasi dalam pemerintahan yang demokratis? Para birokrat bisa menolak atau tidak mematuhi instruksi pimpinan mereka yang mereka anggap tidak adil, ilegal, atau menantang secara moral. Agaknya, ini mesti menjadi renungan para birokrat kita bagaimana melaksanakan kebijakan semata-mata untuk melayani publik.
Ikuti percakapan tentang politik kebijakan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :