KESETARAAN gender menjadi salah satu tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDG’s) sebagai komitmen memenuhi hak-hak dasar manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menulis bahwa gender adalah seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu gender menjadi pranata sosial sebagai dasar tanggung jawab dalam konstruksi sosial.
Ali Maksum (2016) merumuskan gender sebagai perbedaan berdasarkan aspek sosiologis dan kultural. Sementara Partini (2013) menulis bahwa budaya masyarakat memaknai gender sebagai hanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Pembagian ini jelas berangkat dari budaya patriarki yang memisahkan peran laki-laki dalam ranah publik dan perempuan di ranah domestik.
Pandangan patriarkis ini telah berimbas pada pembagian tugas mengelola hutan berdasarkan gender. Agar konstruksi sosial ini berubah, perlu ada kebijakan yang “memaksa” agar terjadi kesetaraan gender yang berangkat dari persepsi. Temuan-temuan ilmiah telah menunjukkan pembedaan tugas berdasarkan gender mempengaruhi pengelolaan hutan.
Gender mempengaruhi pengelolaan hutan
Gender memengaruhi peran individu mengelola hutan, akses mengelola hutan, dan pemanfaatan sumber daya hutan. Peran aktif perempuan dalam mengelola dan memanfaatkan potensi hutan tecermin dalam pengelolaan subsisten hingga komersial. Sayangnya, data mengenai peran dan partisipasi perempuan dalam mengelola hutan masih minim sehingga gambar besar peran besar perempuan dalam mengelola hutan secara spesifik belum tergambar dengan jelas.
Pada 2009, Bank Dunia merilis laporan bahwa perempuan di kalangan masyarakat hutan memperoleh separuh pendapatan keluarga, sementara laki-laki hanya memperoleh sepertiganya. Penelitian Poverty Environment Network (PEN) CIFOR menemukan bahwa pendapatan kegiatan mengelola hutan mencapai seperlima dari total pendapatan rumah tangga keluarga di daerah perdesaan yang hidup di dalam atau sekitar hutan.
Berbeda dengan studi Bank Dunia, studi CIFOR menyebutkan kontribusi laki-laki lebih besar dibanding perempuan dalam rumah tangga. Aktivitas laki-laki dalam mengelola hutan menghasilkan pendapatan sementara perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan cenderung melekat pada dunia laki-laki. Manfre dan Rubin menulis bahwa perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengelola hutan karena pembatasan sosial, pembatasan logistik, aturan-aturan dan bias laki-laki dalam tindakan dalam mendorong inisiatif mengelola hutan rakyat.
Berbagai studi menyarankan bahwa partisipasi kaum perempuan dimungkinkan bila terdapat lembaga yang tidak terlalu eksklusif, tingkat pendidikan keluarga yang lebih tinggi dan rendahnya ketidaksetaraan ekonomi antar gender. Sebab temuan Agarwal (2009), Coleman dan Mwangi (2012) menunjukkan peningkatan partisipasi perempuan dalam komite pengambil keputusan dalam berbagai lembaga hutan rakyat telah memperlihatkan perbaikan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya.
Gender dan perubahan iklim
Kajian IPCC menyebutkan bahwa perubahan iklim timbul akibat persepsi keliru dalam membedakan gender laki-laki dan perempuan. Akibatnya, perubahan iklim kian memperburuk ketimpangan gender dan meningkatkan kerentanan kaum perempuan lewat berbagai cara. Perempuan cenderung lebih rentan terdampak perubahan iklim dibanding laki-laki.
Artikel lain:
- Laki-laki lebih tak peduli krisis iklim
- Peran perempuan dalam mitigasi iklim
- Peran perempuan dalam perhutanan sosial
- Perspektif gender dalam reforma agraria
Manfre dan Rubin menulis bahwa pendapatan perempuan dari mengelola hutan akan turun seiring perubahan iklim yang mempengaruhi ketersediaan sumber daya alam. Sebaliknya, jika perempuan lebih aktif dalam mengelola hutan, kerusakan sumber daya alam cenderung kecil sehingga pengelolaan lebih lestari yang mendorong ketahanan iklim dalam pengelolaan hutan. Perempuan lebih cepat dalam adaptasi iklim.
Perempuan dan tenurial
Meinzen-Dick, R., Brown, L.R, Sims Feldstein, H. dan Quisumbing, A.R. (1997) menjelaskan bahwa kepemilikan aset lahan atau pepohonan akan memperkuat posisi kaum perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat serta memberikan insentif bagi mereka dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Namun, fokus yang sempit terhadap kepemilikan mengabaikan akses perempuan ke sumber-sumber daya ini dan pemanfaatannya.
Rocheleau dan Edmunds (1997) menunjukkan pemahaman dimensi gender dalam hak-hak lahan dan tenurial akan mengarah pada kebijakan pengelolaan hutan yang lebih efektif dan fleksibel yang melindungi kebutuhan komunitas dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Agarwal (2009) memperkuat temuan ini dengan menyebutkan bahwa pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan mengelola hutan di masyarakat telah memberikan efek positif pada serangkaian isu pengelolaan hutan berkelanjutan.
Dengan demikian, paradigma dan praktik kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan menjadi kunci pengelolaan hutan lestari.
Ikuti percakapan kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mahasiswa Pascasarjana IPB University
Topik :