Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Desember 2022

Etnoekologi Sebagai Ilmu Kelestarian

Etnoekologi menjadi ilmu yang menopang konsep kelestarian. Apa itu?

Harimau Sumatera di Hutan Harapan, Jambi (Foto: Asep Ayat/FD)

MENGAPA durian lokal gagal berbunga dan apa hubungannya dengan kapur? Dosen saya bertanya suatu ketika. Kami menjawab bahwa karena tidak ada yang membantu penyerbukan, spesies yang penyerbukan mulai berkurang karena kerusakan ekosistem, dll. Tak ada yang bisa menjawab hubungan dengan kapur. Kita perlu etnoekologi

Penyerbuk bunga durian adalah kelelawar. Kelelawar biasanya hidup di gua. Karst gua banyak rusak karena dieksploitasi untuk memenuhi bahan baku industri semen. Maka kapur berkurang, gua rusak, kelelawar tak bersarang akibatnya durian tak berbunga. Itulah ekologi holistik.

Lingkungan hidup ialah sistem yang kompleks. Ada begitu banyak variabel (aspek, komponen) yang membentuknya. Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup kompleks mengacu pada interaksi antar komponen. Tidak hanya kompleks (complexity), lingkungan hidup kini juga bergejolak (volatility), mengandung ketidakpastian (uncertainty), dan tidak jelas (ambiguity) akibat degradasi dan kerusakan lingkungan.

Keempat istilah yang menggambarkan kondisi ini dikenal dengan singkatan VUCA. Istilah VUCA sebenarnya berasal dari US Army War College untuk menggambarkan dunia multilateral sejak berakhirnya Perang Dingin pada 1990-an dengan runtuhnya Tembok Berlin, kemudian banyak diadaptasi untuk menjelaskan strategi pembangunan ekonomi dan dunia industri. 

Kompleksitas lingkungan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan sains normal. Sistem pengetahuan masa kini melahirkan paradigma baru yang dikenal sebagai revolusi sains. Ia mencoba mendefinisikan “teka-teki” baru, berbeda dengan sains normal yang masih berupaya menjawab ‘teka-teki’ lama.

Mengapa begitu? Karena “masalah” bukan potret dan objektif (Kartodihardjo 2020). Masalah terlihat berbeda bergantung bagaimana sudut pandang kita. Dalam sains, ada banyak sudut padang dalam menilai masalah yang sama sehingga ada subjektivitas ilmuwan.

Kehidupan dan dinamika yang terjadi pada lingkungan hidup merupakan universitas terbaik tempat kita belajar. Ada institusi, jejaring, trust yang dapat membantu kita mengelola sumber daya. Namun apakah bisa semuanya bekerja sendiri?

Pengetahuan konservatif lokal memotong praktik pengelolaan sumber daya alam ekologi skala kecil, sementara inovasi ilmiah menghasilkan solusi ekstensif menggunakan prinsip-prinsip utama studi empiris.

Menilai gaya hidup masyarakat adat, disposisi, dan pelestarian warisan budaya yang kaya dan kesuburan vegetasi, menunjukkan keterkaitan penegakan ketat lingkungan hidup adat untuk mengamankan sumber mata pencaharian (Oka 2018).

Salah satu ilmu yang berkaitan dengan hal ini ialah etnoekologi. Etnoekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan ekologi. Ilmu etnoekologi menjembatani ilmu pengetahuan dan ilmu kemasyarakatan melalui kronologi waktu yang menggambarkan kekhasan atau spesifikasi ekologi tertentu akibat interaksi dengan manusia.

Etnoekologi adalah bagian dari konsep pengetahuan ekologi masyarakat lokal local ecological knowledge (LEK). LEK bukan hasil studi ilmiah yang sistematis. Kekuatannya terletak pada rangkaian pengamatan lokal yang panjang (Folke et al., 2003). 

Menurut beberapa sumber penelitian, pengetahuan ekologi lokal dan isu-isu alam secara umum memiliki peran penting dalam perencanaan di masa depan. Temuan Yli-Pelkonen and Kohl (2005) menunjukkan soft value kini menjadi lebih populer dan ada semacam daya tarik baru dalam antusiasme terhadap alam.

Jadi, apa sebenarnya jawaban atas dua pertanyaan di awal tadi? Mengapa kita harus melindungi harimau Sumatera? Mengapa pula durian lokal banyak yang gagal berbunga dan apa hubungannya dengan semen?

Satu hal yang pasti, kita harus sadar bahwa dengan terlindunginya harimau Sumatera, kualitas kehidupan kita meningkat karena kita tetap punya hutan alam yang terjaga dengan menghindari munculnya fragmentasi berlebihan.

Sebagian besar spesies satwa liar saat ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Temuan Crooks (2002) menyatakan hampir separuh harimau Sumatera toleran terhadap fragmentasi. Dengan catatan fragmented area tidak lagi diperluas.

Ikuti percakapan tentang etnoekologi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Dosen tetap di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, anggota aktif Perkumpulan KKI Warsi, dan sedang menempuh pendidikan doktor di Program Studi PSL IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain