SETELAH sepuluh tahun, sekuel film “Avatar: The Way of Water” akhirnya tayang di bioskop. Seperti Avatar 1, ketegangan berawal dari kembalinya manusia ke planet Pandora, tempat tinggal suku Navi. Jake Sully (Sam Worthington) yang sempat merasakan suasana damai kembali terusik oleh kehadiran lusinan pesawat lintas planet yang membawa manusia.
Sully pun mencium bahaya baru. Kedatangan manusia tidak lain adalah invasi yang membuka jalan perampokan besar-besaran sumber daya Pandora. Dugaan itu benar. Tidak menunggu lama, Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang) yang kejam, mantan bos Sully, memimpin operasi khusus untuk menyergapnya.
Quaritch dan timnya mengubah rupa menjadi kaum Navi, sebuah kamuflase licik agar mereka memiliki kemampuan fisik yang lebih cepat dan lincah seperti kaum Navi. Bermodalkan fisik baru itu, sang kolonel segera menawan Spider yang ternyata adalah putranya sendiri.
Spider telah dibesarkan di Pandora oleh sejumlah ahli yang enggan kembali ke bumi. Sehari-hari, Spider hidup bersama putra-putri Sully dan mengenal dengan baik tempat tinggal Klan Omaticaya di “Hell’s Gate”, sebuah hunian sementara setelah rumah pohon mereka dihancurkan oleh manusia dalam invasi di Avatar 1.
Insting militer Sully menduga kuat Spider bakal buka mulut yang mengakibatkan bahaya besar pada klan Omaticaya, Sully, dan keluarganya. Sadar akan bahaya itu, Sully membawa keluarganya kabur menghilang dari klan. Mengendarai “ikran” (burung raksasa) keluarga yang pernah menjadi Toruq Macto itu kehilangan statusnya sebagai pewaris mahkota klan hutan Omaticaya dan melintasi daratan mencari suaka dari Suku Laut, klan Metkayina.
Meski awalnya Ronal (Kate Winslet), istri Kepala Suku Laut, agak keberatan dengan suaka itu, mereka akhirnya menerima Sully dan keluarganya menjadi warga baru klan Metkayina. Mereka mengajar cara hidup suku laut. Anak-anak Sully-Neytiri dan anak angkat mereka Kiri (Putri dari Dr. Grace Augustine, seorang pakar Suku Navi dalam Avatar 1) diajari budaya laut oleh anak-anak Kepala Suku Laut, yaitu Reya (Tsireya) dan Aonung.
Sejak Avatar 1, film ini berusaha mendefinisikan pentingnya keseimbangan relasi antara manusia dan semesta. Kali ini James Cameron dan timnya menempatkan tema “air” sebagai narasi pokok kehidupan. Air hadir dalam sebagian besar potongan dialog dan klip film.
James Cameron agaknya menghadirkan kembali makna air dari suku Maori, yakni sebagai tali pusar kehidupan. Karena itu, kutipan dialog yang dibawakan Reya, mewakili pesan sentral film ini:
“…The way of water has no beginning and no end. Our hearts beat in the womb of the world. Water connects all things, life to death, darkness to light. The sea gives and the sea takes…”
“… air mengalir tidak memiliki awal, tidak pula memiliki akhir. Jantung kita berdegup dalam rahim dunia aliran air. Air menghubungkan segala sesuatu: kehidupan dan kematian, gelap dan terang. Laut memberi sekaligus mengambil…"
Keingingan film ini menunjukkan spiritualitas semesta penghuni Pandora, terutama klan Metkayina. Penonton diajak berkelana ke laut, mengunjungi saudara Tulkun (ikan raksasa) dan mengenal berbagai jenis biota laut. Lebih dari itu, film ini mengajak penonton mengalami laut dan penghuninya sebagai saudara senasib yang memiliki jiwa untuk berdialog dengan manusia dan jagat raya. Karena berjiwa, semesta laut memiliki hak hidup yang sama dengan klan Metkayina.
Bahkan Tulkun yang super raksasa itu merupakan spirit yang mempertemukan kaum Metkayina dan alam semesta. Diceritakan oleh Tonowari bahwa pada suatu masa para leluhur ikan raksasa itu telah bersepakat hidup dalam harmoni dan bertutur tentang keseimbangan semesta dari generasi ke generasi. Itu pula yang menempatkan mereka sebagai roh suci klan Metkayina yang menemani setiap warga klan itu dengan kegembiraan hidup, dari musik hingga tarian.
Sukacita Tulkun dan anggota klan Metkayina makin lengkap menyambut semburat kehidupan baru melalui bayi yang lahir. Karena itu, bagi klan Metkayina, membunuh Tulkun bukan hanya memusnahkan ikan, juga menghancurkan spiritualitas kehidupan. Tindakan brutal manusia yang memburu Tulkun demi uang dilawan dengan hebat oleh keluarga Sully dan klan Metkayina.
Pesan tentang air, selain terinspirasi oleh kaum Maori, juga mengundang ingatan akan filosofi air dalam tradisi Cina. Uraian ringkas filosofi itu dibawakan dengan apik oleh Raymond Tang dalam TedTalk berjudul “Be Humble – and other lessons from the philosophy of water”.
Dalam presentasinya, Tang mengatakan bahwa salah satu pelajaran dari filosofi air adalah kerendahan hati (humble). Air selalu mengalir di tempat rendah, merunduk dari yang lain. Dengan itu, dia menolong semua tanaman untuk bertumbuh, menjaga binatang tetap hidup. Air tidak menarik perhatian untuk dirinya sendiri, tidak pula membutuhkan penghargaan atau pengakuan. Hanya kerendahan hati.
Pelajaran air berikutnya adalah harmoni. Air mengalir di antara batuan, hanya mengitarinya. Tidak bingung, marah, atau terhasut karena kerasnya batuan. Bahkan, air tidak ambil pusing dengan tantangan. Dengan caranya, air menemukan solusi, tanpa kekerasan, tanpa konflik.
Pelajaran ketiga adalah keterbukaan (openess). Air siap untuk terbuka, tergantung temperatur. Air mencair, mengeras, atau menjadi gas, mengikuti media dia berada. Bisa saja ceret, cangkir, atau vas bunga. Pada dasarnya, air memiliki kemampuan beradaptasi, berubah, dan fleksibel yang membuatnya bertahan sepanjang waktu, terlepas dari perubahan yang terjadi pada lingkungan.
Avatar: The Way of Water sesungguhnya sedang mengajari kita, bahwa air tidak hanya kebutuhan dasar mahluk hidup, tetapi juga guru dan roh (spirit tree) tempat kita belajar untuk menjalani kehidupan dengan rendah hati, harmonis, dan terbuka.
Ketiganya adalah panggilan spiritualitas setiap manusia. Tanggung jawab ada di situ. Sebab, kita tidak hanya menumpang, juga mengawaki planet ini. Masing-masing mahluk hidup adalah awak yang memiliki tugas seperti kaum Metkayina, yakni mengalami dunia bukan sebagai material yang diperas hingga kusut, tetapi sebagai saudara kehidupan.
Samudera semesta menunggu manusia membangun kembali relasi spiritual yang hampir putus itu. Putus gara-gara sesat pikir yang melihat hutan, laut, air, dan segala isinya semata-mata sebagai komoditas. Kita adalah makhluk spiritual yang mengarungi kehidupan dalam relasi yang rendah hati, harmonis dan terbuka dengan semesta. Jangan mengerdilkan hidup yang demikian kaya itu dengan diperbudak definisi komoditas yang sementara.
Kita memiliki jiwa yang selamanya hidup dan menyatu dengan semesta. Di situlah, film Avatar: The Way of Water selama hampir tiga jam menyisipkan makna. Kita bisa kunyah untuk kekayaan jiwa dan mengubah sikap hidup terhadap semesta.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pengacara dan peneliti sosial-ekologi fokus pada masyarakat adat, keberlanjutan, perubahan iklim, komoditas, dan mata air
Topik :