DALAM refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan menyatakan bahwa luas rehabilitasi hutan dan lahan 2022 seluas 77.103 hektare, termasuk rehabilitasi mangrove.
Tak ada penjelasan nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk katagori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total. Di era krisis iklim, rehabilitasi hutan mestinya menjadi kegiatan prioritas karena menaikkan serapan emisi karbon sebagai satu cara mitigasi iklim.
Dalam regulasi kegiatan rehabilitasi hutan, pemerintah telah mengatur dengan detail maksud dan tujuan serta lokasi kawasan hutan yang dapat ditanami baik di kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26/2020, pasal 20 ayat (1). Namun pemerintah tidak pernah menjelaskan dan menetapkan luas kawasan hutan konservasi, lindung, dan produksi yang telah direhabilitasi setiap tahunnya. D
Demikian halnya dengan pemanfaatan hasil rehabilitasi hutan dalam PP 26/2020 pasal 32 yang menyebutkan bahwa pemanfaatan hasil rehabilitasi lahan yang dibiayai oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi diatur oleh Peraturan Menteri. Tapi peraturan itu belum terbit.
Keberhasilan tanaman rehabilitasi hutan diukur dari persen tumbuh tanaman dan persen luas lokasi yang telah menjadi tanaman dewasa (minimal umur 15 tahun). Masalahnya, data ini tak pernah dirilis pemerintah.
Dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 145 ayat (7) disebutkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu budi daya tanaman hasil rehabilitasi dilaksanakan melalui penjualan tegakan. Namun penjelasan lebih lanjut tentang hal ini belum ada.
Pada 2020, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menyatakan tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah dan cenderung stabil. Deforestasi netto 2018-2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia, seluas 462,4 ribu hektare.
Angka terserbut berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu hektare dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,1 ribu hektare. Angka reforestasi yang dimaksud adalah hasil rehabilitasi hutan namun tidak disebut tahun kegiatan rehabilitasi dan lokasinya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa MRV untuk program RHL baik rehabilitasi hutan dan maupun rehabilitasi mangrove hingga saat ini belum terdapat perubahan yang signifikan dan tata kelola administrasinya sangat lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 menyebutkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur toga tahun) yang telah diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan, dinas provinsi/kabupaten/kota sesuai kewenangannya dilakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan.
Sinergi ini yang belum ada. Tata kelola administrasi pengukuran, pemantauan, dan verifikasi (MRV) rehabilitasi hutan belum menjadi portofolio pemerintah dan terdokumentasi dengan baik. Rehabilitasi tak sekadar menanam, karena pohon yang berfungsi menciptakan iklim mikro biasanya pohon dewasa dengan usia 15 tahun.
Dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 ada data rehabilitasi hutan dan lahan pada 2015 seluas 200.447 hektare, 2016 198.346 hektare, 2017 200.900 hektare, 2018 seluas 188.630 hektare, 2019 396.168 hektare, 2021 seluas 152.454 hektare, dan 2022 seluas 112.418 hektare.
Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015,2 016 dan 2017 sampai akhir tahun 2022 ini tidak berubah. Padahal waktu membuat pohon bertumbuh. Sehingga datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya.
Dalam refleksi akhir tahun 2022 KLHK, Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) mengatakan bahwa MRV rehabilitasi hutan menjadi tantangan ke depan. Direktorat ini baru mengembangkan geotagging tanaman yang memastikan setiap bibit tertanam dengan georeferensi secara spasial (tata ruang).
Monitoring rehabilitasi hutan menggunakan drone bisa menjadi langkah awal pemantauan rehabilitasi hutan. Tanpa pemantauan, aktivitas paling penting dalam mitigasi iklim ini tak tercatat, bahkan terabaikan. Rehabilitasi hutan pun akan menjadi sekadar kegiatan seremoni penanaman tanpa target dan hasil.
Seberapa penting rehabilitasi hutan? Ikuti percakapannya di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :