KONSEP jangka benah menjadi terkenal setelah masuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 pasal 27 ayat 4 bagian a sebagai solusi menyelesaikan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan produksi. Juga pasal 28 ayat 3 bagian 1 sebagai kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan.
Dalam penjelasan pasal 28 itu definisi jangka benah adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem sesuai tujuan pengelolaan. PP 24/2021 mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.
Kebun sawit di kawasan hutan tentu ilegal. Melalui PP yang menjadi aturan UU Cipta Kerja ini pemerintah hendak mengampuninya lalu implementasi jangka benah untuk menghutankan kembali. Konsep jangka benah berasal dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Konsep jangka benah adalah periode pengaturan tegakan hutan untuk mengembalikan hutan ke keadaan normal.
Dalam jangka benah ada tiga aspek: pengelolaan, kelembagaan, dan kebijakan. Aspek pengelolaan berupa penyelesaian tata batas kawasan hutan guna menjamin kelestariannya, termasuk dukungan data spasial, untuk menyelaraskan dengan tata ruang wilayah. Setelah itu revitalisasi kebun sawit dengan agroforestri sawit guna peningkatan produktivitas lahan dan menjaga biodiversitas.
Berikutnya, kelembagaan untuk mendorong Indonesia Sustainable Palm Oil System (ISPO). Banyak petani sawit belum mampu memenuhi standar itu, juga pengusaha. Sebagian besar petani tersangkut legalitas lahan. Memasukkan mereka ke dalam perhutanan sosial akan menyelesaikan soal ini. Juga skema public-private patnership antara perusahaan sawit dengan pemerintah dan masyarakat.
Skema kolaborasi multipihak ini terutama untuk mendukung kegiatan konservasi dan sosial, tak sekadar dana-dana tanggung jawab lingkungan. Aspek kebijakan menyangkut tata ruang yang efektif, terutama penentuan lokasi dan alokasi izin, persyaratan, dan kewenangan pemberi izin. Karena itu perlu data spasial konsisten, skala akurasi tinggi, dan kerja sama antar sektor dan lembaga.
Sebelum implementasi jangka benah, ada beberapa proses yang harus dilalui sebelumnya, di antaranya adalah a) hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan b) berdasarkan verifikasi administratif dan teknis, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan surat perintah pelunasan tagihan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).
Apa hubungan jangka benah dan Undang-Undang Bebas Deforestasi Eropa atau European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) yang berlaku Mei 2023. EUDDR melarang masuk kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa turunan minyak sawit jika terkait dengan deforestasi. Undang-undang akan mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan sebelum mereka menjual barang ke Uni Eropa.
Setelah undang-undang tersebut berlaku, produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan tersebut. Di mana perusahaan yang lebih kecil akan memiliki waktu 24 bulan untuk beradaptasi. Namun, jika perusahaan tidak mematuhi aturan tersebut dapat dikenakan denda hingga 4% dari omzet perusahaan di negara anggota Uni Eropa. Menurut Komisi Eropa, undang-undang tersebut akan melindungi setidaknya sekitar 71.920 hektare hutan setiap tahun atau setara dengan 100.000 lapangan sepak bola.
Dari 14,6 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia, sawit yang telanjur masuk dalam kawasan hutan luas mencapai 3,2-3,4 juta hektare yang hingga saat ini belum dapat dituntaskan masalahnya. Singkatnya Indonesia belum bebas dari deforestasi meskipun upaya menekan laju deforestasi telah dilakukan setiap tahunnya.
Apakah PP 24/2021 bertabrakan dengan EUDDR?
Sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia punya dua opsi menghadapi EUDDR, yaitu menerima atau menolaknya. Kedua opsi tersebut sudah tentu mempunyai konsekuensi:
Pertama, bila menerima, Indonesia harus segera merevisi pengertian deforestasi yang disesuaikan dengan definisi deforestasi Uni Eropa, termasuk melarang perkebunan sawit di dalam kawasan hutan tanpa kecuali. PP 24/2021 dengan konsep jangka benah kebun sawit dalam kawasan hutan sudah harus ditinjau kembali keberadaannya karena sudah relevan. Termasuk di dalamnya sawit deforestasi yang diajukan prosesnya untuk pelepasan kawasannya hutannya yang mencapai 576.983 hektare itu.
Pelepasan kawasan hutan kebun sawit yang sudah telanjur masuk kawasan hutan jelas masuk dalam katagori sawit deforestasi karena prosedur dan mekanisme yang ditempuhnya keliru. Bisa jadi kawasan hutan produksi yang sudah telanjur ini tidak hanya hutan produksi yang dapat dikonversi tetapi juga hutan produksi biasa yang tidak bisa langsung dilepaskan tetapi harus melalui proses lain yang lebih panjang.
EUDDR tidak menghendaki adanya sawit dalam kawasan hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Kebun sawit yang melaksanakan proses jangka benah, jelas produksi crude palm oil (CPO) akan ditolak oleh UE dengan adanya UU bebas deforestasi ini. Menurut data KLHK, luas kebun sawit yang akan mengikuti proses jangka benah ini luasnya mencapai 1,2-1, 7 juta hektare.
Pilihan terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah kebun sawit seluas 3,2-3,4 juta hektare yang sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan agar segera dimusnahkan dan dibangun kembali menjadi hutan yang berisi vegetasi kayu-kayuan tanaman hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan.
Kedua, bila Indonesia menolak EUDDR, PP 24/2021 dengan konsep jangka benahnya dapat terus dilaksanakan. Konsekuensinya pemerintah Indonesia tidak bisa menjual CPO ke pasar Eropa. Dampaknya Indonesia kehilangan sumber devisa negara dari minyak sawit yang dua tahun terakhir membuat neraca perdagangan kita surplus.
Di luar soal devisa, mencegah deforestasi adalah bagian dari kontribusi mencegah pemanasan global. Deforestasi menyumbang 48% emisi karbon. Deforestasi komoditas pertanian menyumbang gas rumah kaca terbesar dari perubahan fungsi lahan hutan tersebut.
Percakapan tentang jangka benah ada di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :