TIGA tahun pandemi covid-19, Badan Kesehatan Dunia mencatat 756 juta orang terinfeksi virus ini dengan 6,8 juta orang meninggal. Kini dunia memasuki endemi tapi peneliti dan badan-badan dunia gagal memastikan asal-usul virus corona, meski penyebab utamanya lebih, yakni krisis iklim.
Memang belum ada bukti langsung krisis iklim sebagai faktor utama covid-19. Penelitian di jurnal Frontiers in Medicine pada 2021 menunjukkan perubahan tutupan lahan membuat keberadaan kelelawar, yang menjadi vektor virus corona, menyebar.
Krisis iklim juga menjadi pendorong yang mempermudah transmisi virus corona. Hal tersebut terjadi karena krisis iklim menyebabkan cuaca ekstrem, peningkatan suhu, dan kelembaban di beberapa wilayah. Kondisi tersebut membuat virus corona lebih mudah bertahan dan menyebar.
Peneliti menduga semakin parah krisis iklim, kemunculan virus baru yang menyebabkan pandemi akan lebih sering. Penelitian di Proceedings of the National Academy of Sciences pada 2021, diperkirakan dengan meningkatkan krisis iklim, kemungkinan kita menghadapi pandemi seperti covid-19 adalah 38% sepanjang hidup kita. Probabilitas tersebut dapat berlipat ganda pada dekade selanjutnya jika kondisi krisis iklim kian memburuk.
Penelitian lainnya di jurnal Nature Climate Change pada 2022, krisis iklim membuat 218 dari 375 penyakit menular pada manusia semakin memburuk. Beberapa di antaranya adalah demam berdarah, hantavirus, rabies, anaplasmosis, dan sebagainya.
Bagaimana perubahan iklim meningkatkan risiko pandemi?
Pertama, krisis iklim membuat suhu bumi meningkat, intensitas hujan yang tidak teratur, gelombang panas yang semakin sering, kekeringan, dan kebakaran hutan yang semakin mudah. Kerusakan lingkungan membuat daya tahan alam berkurang, kerentanan lingkungan meningkat.
Perubahan tutupan lahan membuat jutaan satwa berpindah tempat ke tempat yang lebih hijau dan hangat. Secara tidak langsung, perpindahan satwa ini juga membawa mereka lebih dekat dengan manusia. Lalu, seperti yang kita tahu, beberapa satwa merupakan inang atau vektor dari patogen tertentu. Artinya, potensi penularan penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) akan semakin mudah terjadi.
Kedua, krisis iklim juga membuat bencana seperti banjir dan badai semakin sering terjadi. Hal tersebut membuat patogen penyebab penyakit mampu menyebar dengan cepat dan lebih mudah bertransmisi ke manusia.
Ketiga, krisis iklim membuat cuaca semakin ekstrem dan tidak menentu. Hal tersebut membuat tubuh manusia menjadi lebih rentan terkena serangan penyakit. Sementara, di satu sisi, kondisi tersebut justru membuat patogen, seperti bakteri, virus, dan fungi, lebih mudah bertahan hidup.
Keempat, dan mungkin yang perlu diperhatikan, krisis iklim membuat es yang ada di bumi mencair. Es di bumi diketahui menyimpan patogen yang dorman selama ribuan hingga jutaan tahun. Artinya, mencairnya es di bumi membuat munculnya patogen dan penyakit baru yang belum pernah kita hadapi.
Pada dasarnya, beberapa penyakit sudah menunjukkan dampak yang lebih buruk belakangan ini. Melansir dari Council on Foreign Relations, krisis iklim membuat banjir parah lebih sering terjadi di wilayah Asia Tenggara. Banjir tersebut membuat nyamuk penyebab demam berdarah lebih mudah untuk bertahan dan berkembang biak.
Kenaikan temperatur di Amerika Utara membuat kutu penyebab penyakit lyme semakin menyebar luas. Kenaikan temperatur juga membuat kelelawar pembawa virus Ebola semakin menyebar luas di wilayah Afrika Tengah. Sementara di Amerika Selatan, krisis iklim membuat curah hujan meningkat dan membuat transmisi hantavirus rentan terjadi.
Tentunya, contoh di atas hanya sedikit dari banyaknya penyakit yang akan terjadi di masa depan. Memang, fasilitas kesehatan manusia di masa depan akan semakin canggih dan maju. Namun, jika berkaca dari pandemi covid-19, rasanya upaya mitigasi perubahan iklim adalah langkah terbaik untuk mencegah munculnya pandemi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :