Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 Maret 2023

Rawa Gambut Rawan Terbakar

Menurut BMKG tahun ini El Nino. Pantau Gambut merilis studi kerentanan rawa gambut terhadap kebakaran hutan.

Kebakaran di lahan gambut (Foto: wwf.id)

RAWA gambut menjadi ekosistem penyimpan panas terbaik dibanding jenis-jenis ekosistem lain. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari 13,4 juta hektare lahan gambut, ekosistem ini menyimpan 57 Gigaton emisi karbon setara CO2—20 kali lipat dibanding karbon yang tersimpan di ekosistem tanah mineral.

Agar panas itu tak terlepas menjadi gas rumah kaca yang menumpulkan kemampuan atmosfer menyerap emisi karbon dari bumi, ekosistem gambut harus selalu basah. Itu kenapa namanya tak boleh lepas dari “rawa” agar perspektif terhadap gambut yang berair terbawa terus. Sebab, ketika ia kering, gambut sangat rawan terbakar. 

Konstruksi Kayu

Panas yang tersimpan di dalamnya akan segera terbakar jika ada api yang menyulutnya. Selama 2015-2019 setidaknya total 1,4 juta hektare rawa gambut terbakar, 70% berada di area konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan 36% dari area itu berkobar lebih dari satu kali.

Sudah lama rawa gambut dimanfaatkan untuk HTI. Dari total 13,4 juta hektare lahan gambut di Indonesia, 5,2 juta hektare merupakan area yang telah diberi izin kepada pelaku usaha. “Sayangnya, pemerintah fokus pada pemadaman api untuk menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, bukan masalah utama yaitu perlindungan ekosistem gambut,” kata Wahyu A. Perdana, juru kampanye Pantau Gambut.

Menurut Wahyu, alih-alih melindungi gambut, Undang-Undang Cipta Kerja memberi kelonggaran pada ketelanjuran kawasan hutan oleh industri. Ia mengutip data Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebut ada 2,9 juta hektare perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan secara tidak sah.

Untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, Pantau Gambut merilis studi Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2023 pada Wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia. Kesatuan Hidrologis Gambut adalah ekosistem gambut yang umumnya terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa. Berdasarkan data KLHK, Indonesia memiliki 865 KHG dengan luas total 24,6 juta hektare. 

Pantau Gambut, sebuah LSM, memakai dataset 2015-2019 untuk menentukan model bobot dan dataset 2020 dalam menganalisis kerentanan rawa gambut dari kebakaran. Berdasarkan analisis Pantau Gambut, 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar, seluas 3,8 juta hektare masuk dalam kategori risiko tinggi  dan 12,6 juta hektar tergolong ke dalam risiko sedang. 

Berdasarkan studi Pantau Gambut, setidaknya ada 45 KHG yang memiliki risiko kebakaran tinggi kebakaran dari 20.000 hektare. Provinsi Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan luas rawa gambut dengan risiko tinggi terluas, yakni 1,13 juta hektare yang tersebar di 13 KHG.

Dari 13 KHG tersebut, KHG Sungai Kahayan-Sebangau memiliki risiko tinggi terluas, yakni 190.395 hektare. KHG tersebut berada di dalam lokasi eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut satu juta hektare pada masa Soeharto yang kini diteruskan menjadi proyek food estate atau lumbung pangan.

Jika dilihat dari proporsi kerentanan, KHG Sungai Ifuleki Bian-Sungai Dalik, Papua Selatan, menjadi KHG dengan tingkat kerentanan terbakar paling tinggi. Dari 1.421 hektare, 1.374 hektare atau 97% memiliki risiko tinggi terbakar. Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG risiko tinggi paling banyak, yakni 13 lokasi.

Tim Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) menggunakan tiga citra satelit dan mencatat kemunculan 1.275 titik api. Berdasarkan analisis secara grafik jumlah dan pola sebaran titik panas, da indikasi kebakaran hutan dan lahan total empat minggu, terhitung sejak Januari-Februari 2023. Yang menjadi perhatian, sebayak 381 titik api berada di wilayah risiko tinggi dan 520 hotspot berada di wilayah risiko sedang. 

Studi Pantau Gambau mengindikasikan korelasi antara ekosistem gambut, kerentanan terhadap kebakaran hutan dan lahan, serta pola kebakaran yang berulang. Untuk itu, Wahyu menyarankan agar mitigasi kebakaran diantisipasi sejak awal. Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi memprediksi tahun ini adalah siklus El Niño atau musim kemarau kering yang bisa memicu kebakaran hutan dan lahan.

Ikuti pembahasan tentang kebakaran hutan dan gambut di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain