Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Maret 2023

Peluang Meluaskan Aturan Anti-SLAPP

Ada usaha membuat aturan perlindungan terhadap pejuang lingkungan atau anti-SLAPP.

Pejuang lingkungan rentan kriminalisasi. Perlu aturan anti-SLAPP

PARA aktivis Rettet den Regenwald, LSM peduli hutan hujan di Jerman, bergembira menyambut putusan Pengadilan Tinggi Hamburg pada 21 Februari 2023. Pengaduan memutuskan menolak gugatan Kenertec. Para aktivis Rettet yakin perusahaan ini terafilisasi dengan Korindo Group, perusahaan kayu dan perkebunan kelapa sawit di Papua.

Korindo adalah perusahaan Korea Selatan yang memiliki sejumlah konsesi kayu dan perkebunan kelapa sawit di Papua. Perusahaan yang sudah ada di Indonesia sejak 1970-an ini menggugat para aktivis Rettet dan Mighty Earth, LSM lingkungan dari Amerika Serikat, yang mengirimkan surat terbuka bahwa perusahaan tersebut merusak hutan Papua.

Kenertec meminta Rettet dan Mighty Earth mencabut beberapa pernyataan tentang pemakaian buldoser dan api untuk membuka konsesi hutan Papua. Hakim Pengadilan Hamburg menolak tuntutan tersebut setelah gugatan didaftarkan tiga tahun lalu. “Itu tuntutan yang ingin mengintimidasi kami dan menakut-nakuti organisasi lain,” kata Bettina Behrend, salah satu ketua Rettet dalam siaran pers.

Penolakan tersebut diketuk hakim setelah mereka menerima kesaksian dari sejumlah aktivis lingkungan dari Indonesia tentang aktivitas Korindo Group. 

Tuntutan mencabut pernyataan tersebut memicu gelombang protes di beberapa negara. Mereka memakai peristiwa itu untuk menuntut Uni Eropa membuat aturan anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Anti-SLAPP adalah aturan yang menentang kriminalisasi untuk melindungi masyarakat yang memperjuangkan konstitusi, kepentingan publik, perlindungan lingkungan.

Para aktivis Rettet membuat petisi yang mendapatkan dukungan sebanyak 216.620 tanda tangan. Wakil Presiden Komisi Uni Eropa VÄ›ra Jourová telah menerima petisi tersebut di Brussel, Belgia, dan berjanji segera membuat rancangan aturan Anti-SLAPP yang bisa menyulitkan tuntutan kepada aktivis lingkungan. Pemerintah Jerman juga kabarnya sedang membuat rancangan peraturan serupa.

Indonesia juga sebenarnya sudah memiliki aturan Anti-SLAPP, yakni UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009. Pasal 66 menyebutkan bawah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Pasal ini memberikan impunitas hukum kepada siapa saja yang memperjuangkan perlindungan lingkungan.

Masalahnya, pasal ini belum diterjemahkan ke dalam petunjuk teknis dan pelaksanaan sehingga menjadi pedoman para hakim menolak gugatan terhadap pejuang lingkungan. Ada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/2013 kepada para hakim sebagai pedoman memutus perkara-perkara SLAPP.

Namun, aturan itu tak cukup jelas mendefinisikan kasus-kasus yang terkait SLAPP, prinsip dan kriterianya, hingga definisi pejuang lingkungan yang mendapatkan impunitas hukum berdasarkan pasal ini. 

Walhasil, hingga kini banyak aktivis dan masyarakat yang memperjuangkan lingkungan malah digugat ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama. Gugatan SLAPP seperti kepada LSM Rettet di Jerman pun menjadi jamak. Petani, aktivis, buruh yang menentang operasi perusahaan yang merusak lingkungan dan masyarakat acap diadukan ke pengadilan dan berakhir dengan vonis penjara. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah mencoba menerbitkan aturan Anti-SLAPP untuk melindungi aktivis lingkungan. Namun, selain aturan ini belum muncul, para pengamat lingkungan menganggap aturan setingkat menteri tak cukup kuat melindungi aktivis yang digugat melanggar undang-undang lewat gugatan pencemaran nama baik.

Apalagi, keputusan Menteri Lingkungan itu bukan pro-yustisia. Artinya, aturan Anti-SLAPP tak bisa membatalkan penyidikan sebuah kasus SLAPP yang diproses di kepolisian.

Karena itu, menurut Grita Anindarini, Deputi Direktur Program Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), perlu penjelasan lebih teknis menjabarkan pasal 66 UU PPLH itu. Salah satu yang diadvokasi ICEL mewujudkan aturan anti-SLAPP adalah memberikan rekomendasi kepada lembaga-lembaga menyusun aturan turunan ini.


Artikel lain:


Pedoman Kejaksaan Nomor 8/2022 tentang penanganan perkara pidana lingkungan hidup, kata Grita, bisa menjadi peluang menghentikan perkara-perkara SLAPP sejak dini. “Seharusnya aturan ini berbentuk hukum acara,” kata Grita kepada Pradhipta Oktavianto dari Forest Digest

Idealnya, aturan anti-SLAPP untuk melindungi pejuang lingkungan berbentuk undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHA Perdata. Namun, karena membuat undang-undang butuh waktu lama, aturan anti-SLAPP bisa diturunkan dari pasal 66 berbentuk peraturan pemerintah. Masalahnya, membuat PP juga tidak mudah dan cepat. 

Alternatif lain yang disodorkan ICEL adalah memperluas aturan anti-SLAPP ke sektor lain tidak hanya lingkungan hidup dan sumber daya alam, melainkan hak asasi manusia secara umum. Sehingga prinsip anti-SLAPP bisa masuk dalam revisi UU HAM. “Aturannya perlu didesain tak hanya melindungi pejuang lingkungan dari serangan hukum, juga serangan fisik dan digital,” kata Grita.

Ikuti perkembangan tentang aturan SLAPP di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain