DALAM konsep kelestarian bisnis dan investasi, kini berkembang apa yang disebut environmental, social, and governance (ESG). Prinsip keberlanjutan terjadi jika praktik perusahaan memiliki memiliki aktivitas kelestarian secara lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Prinsip ESG yang baik diungkap ke publik, sebagai bentuk komitmen organisasi atau perusahaan untuk menyeimbangkan tiga kriteria keberlanjutan tersebut. Masalahnya, ESG bisa terjebak pada greenwashing atau pencucian hijau atau kelestarian yang semu.
Stella Septania, Dewan Pengurus Nasional Institute of Certified Sustainability Practitioners, menjelaskan bahwa praktik greenwashing bisa berupa klaim berlebihan atas aksi nyata yang dilakukan sebuah organisasi atau perusahaan dalam menerapkan prinsip ESG.
“Klaim kepada publik bahwa dia melakukan praktik-praktik tertentu yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Tapi overclaim. Tidak didukung performa yang sesuai dengan klaim tersebut,” kata Stella.
ESG akan menentukan reputasi perusahaan dalam mendukung keberlanjutan. Tapi reputasi itu harus dibangun di atas performa dan komunikasi.
Stella memberikan rumus praktik ESG yang terhindar dari greenwashing, yakni PCR: performance, communication, dan reputation. “Selama performa perusahaan mendukung apa yang disampaikan ke publik, itu tidak greenwashing. PCR ini harus ada dan seimbang,” kata dia.
Untuk menghindari praktik greenwashing, Stella menyarankan perusahaan memperkuat komunikasi internal. Sebuah perusahaan yang mempraktikkan ESG dengan benar akan memiliki tim operasional yang memahami performa yang baik karena seluruh tim memahami apa yang mereka lakukan akan berdampak secara lingkungan dan sosial. Pemahaman itu akan melahirkan aktivitas yang menghindarkan kerusakaan lingkungan dan sosial.
Karena itu, tim operasional perusahaan memiliki aktivitas yang selaras dengan tim komunikasi, terutama dalam mengungkapkan performa perusahaan ke publik. Pada banyak kasus, greenwashing bisa terjadi karena kurangnya pemahaman dan komunikasi internal mengenai prinsip ESG. “Kadang-kadang mereka melakukan greenwashing bukan karena niatnya jahat. Tapi karena mereka tidak tahu,” kata Stella.
Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati juga berpendapat istilah greenwashing muncul karena pengenalan prinsip ESG masih relatif baru. Sehingga pemahaman di tiap unit bisnis atau organisasi belum merata.
Sri Mulyani meminta para akuntan mencermati isu ini sehingga bisa meluaskan pemahaman ESG kepada pemilik dan pengelola perusahaan. Menurut Sri, greenwashing adalah bentuk fraud atau tindakan melawan hukum. “Yang bagian nyuci-nyuci ini biasanya akuntan. Jadi apakah ini money laundring atau greenwashing, adalah tantangan tata kelola atau fraud yang baru,” papar Sri Mulyani dalam Kongres XIV Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Sri Mulyani melihat greenwashing sebagai strategi pemasaran dan komunikasi yang dilakukan perusahaan untuk membangun citra ramah lingkungan. Tetapi sebetulnya tindakan ini palsu atau tak sesuai dengan fakta.
Selain akuntan, kata Sri, pemerintah daerah juga bisa menentukan praktik greenwashing. Baru-baru ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya meminta pemerintah daerah mewaspadai greenwashing atau praktik klaim perusahaan terhadap upaya ramah lingkungan yang tak berdasar.
Siti Nurbaya menekankan pada upaya mitigasi krisis iklim melalui pengurangan gas rumah kaca namun bisa jadi kedok atau manipulasi fakta yang tergolong greenwashing bagi perusahaan. “Banyak negara maju dan sektor swasta yang berminat membeli karbon dari hutan Indonesia karena dianggap lebih murah dibandingkan jika mereka menurunkan emisi mereka sendiri,” kata Siti Nurbaya dalam Rapat Kerja Teknis Nasional Pengendalian Perubahan Iklim Tahun 2023.
Dengan kata lain, pembelian karbon dalam perdagangan karbon juga bisa terjebak pada praktik greenwashing. Alih-alin menurunkan emisi yang diproduksi, unit bisnis akan lebih senang membeli jasa penurunan emisi pihak lain karena lebih gampang. Para produsen emisi, akan lebih gampang membeli jasa penyerapan emisi kepada pihak lain, ketimbang menurunkan emisi yang membutuhkan biaya banyak untuk mengubah teknologi.
Misalanya dalam pengenaan pajak karbon. Jika pajak dalam perdagangan karbon menjadi pilihan dari kewajiban menurunkan emisi, produsen emisi karbon akan cenderung membayar pajak ketimbang memenuhi kewajibannya. Apalagi jika tarif pajak karbon untuk tiap unit emisi sangat murah.
Di Indonesia tarif pajak ditetapkan sebesar Rp 30.000 per ton. Pajak adalah salah satu instrument pilihan dalam perdagangan karbon. Sementara di negara lain, pajak bisa mencapai US$ 100 per ton emisi karbon. Dengan perbedaan yang jomplang ini, pajak akan menjadi instrumen greenwashing produsen emisi seraya mengklaim telah melakukan ESG.
Ikuti percakapan tentang greenwashing di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :