GREENWASHING kini jadi tema baru pengelolaan lingkungan. Di tengah komitmen menurunkan emisi karbon sebagai bagian mitigasi krisis iklim, semua pihak berkewajiban mengurangi produksi gas rumah kaca mereka. Tapi, aktivitas itu bisa terjebak ke dalam greenwashing atau manipulasi penurunan emisi jika tak transparan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan meminta pemerintah daerah mewaspadai greenwashing berupa klaim perusahaan terhadap aktivitas ramah lingkungan yang tak berdasar. Ia mengingatkan upaya pemerintah daerah mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi alat greenwashing bagi perusahaan.
Siti Nurbaya merujuk tingginya minat negara maju dan perusahaan besar membeli jasa penyerapan dan pengurangan emisi Indonesia melalui skema perdagangan karbon. “Membeli penyerapan karbon Indonesia lebih murah dibandingkan jika mereka menurunkan emisi sendiri,” katanya dalam Rapat Kerja Pengendalian Perubahan Iklim 2023 pada 1 Maret 2023.
Agar pemerintah daerah tak terjebak pada dorongan greenwashing perusahaan, Siti Nurbaya mendorong pemerintah daerah mendahulukan usaha menurunkan emisi gas rumah kaca secara langsung melalui sektor kehutanan dan lahan, melalui pemulihan ekosistem.
Siti Nurbaya kembali menyinggung bahwa upaya pemulihan ekosistem oleh pemerintah pusat dan daerah bisa diklaim oleh pihak lain sebagia usaha mereka menyerap emisi karbonnya. Atau diklaim pihak lain lalu dijual kepada produsen emisi.
Dalam mitigasi krisis iklim yang adil, kata Siti, setiap pihak tetap harus menurunkan emisi karbon mereka, bukan langsung membeli usaha penyerapan emisi pihak lain. Subsitusi ini, kata dia, bisa tergolong greenwashing karena mitigasi iklim tak mencapai tujuan pokoknya, yakni memangkas emisi karbon dari aktivitas industri.
Untuk mencegahnya, kata Siti, penting Indonesia mengacu pada standar internasional baik dalam metodologi maupun verifikasi serta transparansi perdagangan karbon. “Kalao membicarakan perdagangan karbon kita tak bisa ngomong nasional atau daerahnya saja,” kata dia.
Cara mencegah klaim berlebihan dalam penurunan emisi karbon, pemerintah akan membangun Sistem Registri Nasional (SRN) sehingga usaha menurnkan emisi mapun penyerapannya akan tercatat dalam sistem yang diampu oleh pemerintah.
Stella Septania dari Dewan Pengurus Nasional Institute of Certified Sustainability Practitioners mengingatkan bahwa pelaku greenwashing bisa siapa saja. Mulai dari perusahaan, lembaga swadaya masyarakat, atau masyarakat kebanayakan. “NGO juga bisa. Misalnya gelar konser ramah lingkungan, tapi sampah plastik di mana-mana. Jadi enggak ada performa yang bisa mendukung apa yang dia klaim ramah lingkungan itu,” katanya.
Dalam hal greenwashing, aktivitas perusahaan lebih krusial. Di luar upaya penyerapan karbon melalui hutan, praktik greenwashing bisa terjadi ketika sebuah perusahaan membuat klaim penyerapan atau pengurangan emisi dari lini bisnis mereka. Padahal, faktanya, penyerapan emisi itu tak sesuai kenyataan atau dilakukan oleh pihak lain.
Dunia pernah digegerkan oleh praktik greenwashing Volkswagen, perusahaan mobil terkenal dari Jerman, ketika mereka memproduksi kendaraan diesel yangd klaim ramah lingkungan. Netflix mendokumentasikannya dalam folm dokumenter Dirty Money.
VW mengklaim kendaraan diesel di Amerika dan Eropa menghasilkan sedikit emisi. Kendaraan diesel itu sampai dipasang peranti lunak yang mereka produksi emisi ketika dikendarai. Namun, peneliti kemudian menemukan bahwa jumlah emisi kendaraan diesel VW ternyata jauh lebih banyak dibanding yang tercatat di peranti tersebut. “Jelas ini greenwashing dengan niat,” kata Stella.
Di Indonesia, sejauh pengamatan Stella, belum ada praktik greenwashing setelanjang VW. Tanpa pengaturan yang jelas, skema perdagangan karbon di Indonesia yang akan berlaku bisa terjebak pada greenwashing.
Greenwashing berkaitan dengan prinsip kelestarian dalam skala lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Perusahaan yang pura-pura ramah lingkungan bisa mendapatkan sertifikasi dengan manipulasi lalu mendapatkan keuntungan dari harga lebih tinggi karena klaim ramah lingkungan. Padahal operasi perusahaan menimbulkan konflik sosial dan merusak lingkungan.
Ikuti percakapan tentang greenwashing di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :