PENGAMBILAN keputusan berdasarkan banyak perspektif, secara normatif, lebih baik dibanding jika hanya berangkat dari hanya satu perspektif. Sebab, pada diskusi dengan ragam perspektif segala kemungkinan dipertimbangkan. Pemakaian banyak perspektif tak selalu merugikan karena waktu yang dipakai membuat keputusan menjadi panjang. Sebab, perspektif sempit justru lebih merugikan saat keputusan sudah diambil.
Masalahnya, dalam pengambilan keputusan ada banyak kepentingan. Akibatnya, pengambilan keputusan acap berjalan tidak seimbang. Kelompok tertentu mengendalikan jalannya pengambil keputusan. Sebaliknya peserta lain hanya melegitimasinya.
Dalam “Groupthink: Definition, Signs, Examples, And How To Avoid It” pada 8 Februari 202, Derek Schaedig menganalisis mengenai pemikiran kelompok atau groupthink. Dalam psikologi, istilah berkonotasi negatif. Pemikiran kelompok menghasilkan keputusna tak bijak dan keliru. Hal itu antara lain karena kelompok gagal mempertimbangkan perspektif alternatif, karena termotivasi mencapai konsensus tertentu.
Irving Janis (1972) telah lama mempopulerkan istilah groupthink itu. Menurut dia, ketika persetujuan begitu diinginkan, pemikiran kelompok cenderung mengesampingkan penilaian realistis dari kemungkinan pandangan alternatif. Situasi ini terjadi akibat kurangnya keragaman pendapat dalam kelompok, atau sikap negatif terhadap anggota luar kelompok yang memperburuk pemikiran.
Penyebab lain adalah kurangnya obyektivitas kepemimpinan. Pemimpin yang tak objektif mencoba menggiring konsensus secara tidak rasional. Atau, ada kesepakatan motif mempertahankan sebuah argumen sehingga anggota kelompok enggan angkat suara menentang konsensus.
Irving Janis menjelaskan beberapa gejala groupthink yang perlu diwaspadai. Misalnya, kelompok acap percaya tindakannya selalu benar, bahkan ketika mereka menerima komentar negatif. Anggota kelompok terkadang menyensor diri mereka sendiri. Dalam diskusi mereka membiarkan asumsi yang keliru. Jika setiap orang dalam kelompok diam, orang lain menggapnya persetujuan.
Dari pengalaman saya mengikuti berbagai kelompok dalam pemerintahan maupun gerakan sosial, individu yang terpengaruh oleh pemikiran kelompok cenderung tidak efektif dalam membantu membuat keputusan. Mereka cenderung menahan pendapatnya, padahal pendapat mereka mungkin membantu mengkritik pendapat kelompok.
Dalam diskusi, kita bisa menyensor diri sendiri. Akibatnya diskusi tidak mendorong ide-ide kritis. Dari pengamatan saya, ada juga soal lain yakni kepatuhan terhadap otoritas secara berlebihan yang disertai dengan rendahnya daya kritis.
Kepatuhan terhadap otoritas secara berlebihan umumnya terkait dengan lemahnya membangun cara berpikir secara terbuka, yang disertai rendahnya keterbukaan. Hilangnya daya kritis itu, dalam prosesnya, sering kali berkembang menjadi penghambat upaya mewujudkan perbaikan pengambilan keputusan.
Oleh karena itu tepat bila disebut bahwa groupthink adalah fenomena psikologis, di mana anggota kelompok membuat keputusan berdasarkan kebutuhan menyesuaikan diri, menghindari konflik, dan mencapai kekompakan kelompok. Ketika fenomena itu terjadi, anggota kelompok cenderung meninggalkan pemikiran kritis, menghilangkan individualitas dan kreativitas. Pada akhirnya situasi ini mengarah pada keputusan di bawah standar, dengan hasil negatif jangka panjang.
Untuk itu groupthink adalah contoh praktik psikologi sosial. Dalam artikel saya “Korupsi dan Kerusakan Lingkungan Hidup”, Transparency International menyebutkan indeks korupsi Indonesia tahun lalu turun dari 38 menjadi 34 dari 180 negara. Nilai tertinggi Denmark (90) dan terendah Yaman (16). Hal itu berarti Indonesia berada dalam sepertiga kelompok negara paling korup.
Artinya, potensi korupsi di negara kita semakin besar. Selain uang negara yang disimpangkan, juga ada soal akibat pengaruh dampak negatif ganda lebih luas yang merugikan kepentingan masyarakat. Misalnya soal mutu pendidikan, profesionalisme dalam pekerjaan pelayanan publik, atau susutnya sumber daya alam secara berlebihan yang manfaat ekonominya dinikmati oleh kelompok tertentu saja.
Hubungan antara praktik groupthink dan rendahnya indeks korupsi itu antara lain terlihat dalam publikasi “Criminogenic isomorphism and groupthink in the business context” oleh Alexander Glebovskiy pada January 2019 di International Journal of Organization. Glebovskiy menelaah kecenderungan perbuatan kriminal dalam bisnis melalui teori institusional dan psikologi sosial untuk membahas pengaruh proses atau struktur organisasi yang sama (isomorfik) dan groupthink terhadap perilaku kriminal di dunia usaha.
Glebovskiy menyebut bahwa groupthink memiliki efek kriminogenik pada bisnis dan individu dalam pengaturan organisasi, yang memaksa pelaku bisnis terlibat dalam perbuatan kriminal. Untuk memfasilitasi kejahatan, isomorfisme dan groupthink mendorong aktivitas kriminal dengan menumbuhkan perilaku homogen, berkesesuaian satu sama lain, kemiripan, membentuk nilai yang dianut bersama, dan cara berpikir yang identik di seluruh perusahaan yang terlibat. Perilaku kawanan ini dapat dianggap sebagai salah satu penjelasan atas maraknya perilaku kriminal dan tidak etis di dunia korporasi (Glebovskiy, 2019).
Pendapat Glebovskiy itu sejalan dengan pemikiran Irving Janis, bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku korupsi merupakan bentuk rasionalisasi dari kondisi yang mereka hadapi. Dalam prosesnya, pemikiran kelompok mendorong anggota kelompok menolak informasi dari luar dan peringatan atau kritik. Orang luar dianggap tidak tahu masalah. Bahkan perilaku menyimpang dan kebiasaan yang sudah menahun itu, menurut Glebovskiy, menjadi keyakinan korporasi sekaligus praktik kekebalan yang tidak perlu dipertanyakan.
Dalam “How to Steer Clear of Groupthink”, Jennifer Mueller dkk. menunjukkan ketika organisasi perlu memecahkan masalah, organisasi itu membuat gugus tugas, komite pengarah atau penasihat untuk mengembangkan konsensus ide-ide baru, berupa prosedur, kebijakan, produk, atau layanan. Sayangnya, menurut mereka, kelompok yang memecahkan masalah berbasis konsensus sering kali menjadi tempat matinya ide-ide inovatif.
Kelompok itu biasanya rentan terhadap pemikirannya sendiri, yaitu kesepakatan seputar solusi status quo. Hal itu karena umumnya mereka terikat oleh groupthink dan memiliki kecenderungan percaya bahwa solusi yang ada pasti baik. Mereka mudah tergoda condong pada pemikiran status quo itu.
Untuk itu ketidakpuasan terhadap status quo sudah waktunya dinyatakan secara terbuka. Ide-ide yang bertentangan dengan yang biasa dibicarakan semestinya mulai dihargai untuk membantu menghasilkan perdebatan, menciptakan langkah-langkah baru, atau menentukan fakta dan kekuatan ide yang sudah ada tetapi terabaikan. Tolok ukur keberhasilannya tiada lain kecuali perbaikan nyata di lapangan.
Ikuti percakapan tentang bahaya groupthink di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :