NILAI hutan tidak hanya kayu. Hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang membuat harga hutan tidak ternilai. Seperti di hutan penelitian Gunung Dahu (HPGD) di Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat, yang berjarak 28 kilometer ke Barat dari pintu jalan tol Jagorawi. Area penelitian ini hasil rehabilitasi hutan yang kini sejuk dan indah.
Pohon meranti merupakan pohon asli hutan Gunung Dahu. Selian rehabilitasi, penanaman meranti di Gunung Dahu sejak awal didedikasikan untuk riset dan konservasi. Lanskap seluas 250 hektare ini semula semak belukar dan tegakan pinus tua yang kurang produktif.
Sejak 1997-2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Komatsu mengganti tegakan pinus tua dengan meranti. Pembibitannya memakai inovasi perbanyakan massal stek vegetatif dengan teknologi pengkabutan yang dikenal dengan teknik KOFFCO.
Puluhan ribu bibit meranti hasil perbanyakan generatif dan juga vegetatif massal stek pucuk ini yang kemudian ditanam di lahan yang berbukit dan curam dengan kelerengan lebih dari 25% dengan akses jalan yang sangat sulit. Kini, bukit kering yang panas serta minim pohon itu sudah rimbun dan sejuk.
Hutan Penelitian Gunung Dahu kini telah bertransformasi menjadi sebuah bentang hutan multifungsi. Sebagai fungsi riset, Gunung Dahu menjadi laboratorium lapangan bagi ratusan mahasiswa kehutanan dari berbagai perguruan tinggi yang datang untuk melakukan kegiatan riset, magang, atau praktikum. Dari hutan ini, setidaknya ada mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhir dan tesis terkait ekologi, pertumbuhan, biodiversitas, dan konservasi tumbuhan.
Tidak hanya mahasiswa, praktisi kehutanan, tenaga teknis dan pengambil keputusan di perusahaan kehutanan juga menjadikan Gunung Dahu sebagai tempat praktik silvikultur. Tegakan meranti Gunung Dahu menjadi sumber benih ribuan buah meranti setiap kali musim buah.
Studi hutan Gunung Dahu juga sudah terbit di jurnal Sustainability berjudul, “Generating Multifunctional Landscape through Reforestation with Native Trees in the Tropical Region: A Case Study of Gunung Dahu Research Forest, Bogor, Indonesia”. Dari studi ini kita tahu ada lebih dari 30 jenis meranti di Gunung Dahu yang meningkatkan produktivitas lahan sehingga mampu menghasilkan volume tegakan per hektare 127,602 meter kubik hingga 215,412 meter kubik untuk jenis Shorea leprosula dan 85,992 meter kubik hingga 181,395 meter kubik untuk jenis S. selanica.
Sedangkan untuk jenis lainnya cukup variatif, yakni 16,534 mmeter kubik per hektare hingga 253,505 meter kubik per hektare dengan volume kayu tertinggi 253,505 meter kubik per hektare untuk jenis meranti bukit atau S. platyclados. Volume stok tegakan untuk berbagai jenis meranti di Gunung Dahu relatif tinggi dibandingkan dengan potensi cadangan tegakan di area hutan bekas tebangan di Indonesia yang berkisar 35-40 meter kubik per hektare.
Jika nilai kayu ini dihitung secara kasar sebagai hasil perkalian volume per hektare terendah yang diasumsikan sebesar 90 meter kubik dengan luas areal berhutan hasil rehabilitasi seluas 110 hektare saja, menghasilkan nilai kayu Rp 10-15 miliar. Sebab harga kayu meranti di pasar Rp 1-1,5 juta per meter kubik.
Rehabilitasi lahan Gunung Dahu juga secara nyata meningkatkan tutupan areal berhutan dari semula 79,2 hektare atau 29,5% pada 1997 menjadi 219,1 hektare atau 81,8% pada 2017. Peningkatan tutupan lahan dan peningkatan stok tegakan berdiri diikuti secara otomatis menaikkan cadangan karbon.
Dari studi stok karbon di Gunung Dahu tercatat cadangan karbon hutan meranti sebesar 13,947 ton atau penyerapan emisi sebesar 51,138 ton setara CO2 pada 2020 dari emisi awal sebelum rehabilitasi sebesar 7,407 ton setara CO2. Keuntungan karbon bersih selama pembangunan hutan Gunung Dahu yang dikurangi 20% untuk buffer penyerapan emisi sebesar 34,985 ton setara CO2 atau setara US$ 174.925.
Hutan Gunung Dahu setelah rehabilitasi juga berkembang menyerupai hutan alam. Kemampuan regenerasi yang terlihat dari kemampuan berbuah dan menghasilkan anakan meranti menjadi salah satu indikator penting kegiatan rehabilitasi mampu menciptakan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya satu jenis tanaman. Ribuan anakan alam dari beberapa jenis meranti tumbuh subur terhampar di lantai hutan yang menandakan bahwa regenerasi alami telah berjalan dengan sendirinya.
Di habitat aslinya, kemampuan regenerasi meranti terjadi ketika tinggi pohon mencapai puncak lapisan kanopi hutan yang membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun. Di Gunung Dahu, pohon meranti mulai berbunga dan berbuah pada usia 16-17 tahun dan diikuti interval berbuah 2-7 tahun dan bahkan hampir setiap tahun untuk jenis meranti bukit.
Transformasi hutan terdegradasi menjadi lanskap hutan meranti juga telah memberikan manfaat ekologis lain, di antaranya peningkatan kesuburan tanah, peningkatan daya infiltrasi air permukaan yang mengurangi risiko air limpasan dan risiko longsor. Vegetasi memiliki peran utama dalam pembentukan tanah vegetasi yang berbeda akan membentuk karakteristik tanah yang berbeda pula.
Secara fisik, vegetasi menjadi faktor penentu kapasitas infiltrasi. Semakin besar jumlah dan ukuran vegetasi akan meningkatkan kapasitas infiltrasinya. Vegetasi hutan juga akan mempengaruhi karakteristik biokimia tanah melalui serasah. Serasah adalah material mati yang terdiri dari ranting, daun, ranting kecil, kulit kayu, bunga dan buah, yang terletak di atas permukaan tanah yang telah mengalami pelapukan dan mineralisasi.
Fungsi serasah penting bagi lantai hutan karena sebagian besar hasil pelapukan ini akan menjadi unsur hara yang kembali ke lantai hutan. Mikroorganisme dalam sistem perakaran, sisa bahan organik, dan kesuburan tanah tumbuh subur akibat dekomposisi serasah. Mikroorganisme tanah bertanggung jawab atas sebagian besar proses biologis (60-80%) yang terkait dengan siklus hara dan penguraian bahan organik.
Jasa ekosistem lain dari rehabilitasi hutan Gunung Dahu adalah naiknya ketersediaan air bersih. Setidaknya ada lima mata air di kawasan hutan ini. Keberadaan sumber air ini menjadi sumber irigasi persawahan masyarakat, pengairan tanaman semusim, keperluan harian air bersih, kolam dan embung air, sehingga menunjang sanitasi penduduk di sekitar Gunung Dahu.
Sebuah studi menunjukkan produksi air di Gunung Dahu sekitar 3,6 juta meter kubik pada 2020 dengan debit 114 liter per detik. Maka jika dihitung nilai jual pada harga Rp 70 per liter, nilai air Gunung Dahu Rp 250 juta per tahun. Nilai ini baru dari satu mata air kecil saja.
Dalam kurun waktu 20 tahun setelah rehabilitasi, hutan Gunung Dahu telah memberikan banyak manfaat sosial, ekonomi, dan jasa lingkungan. Tidak hanya meningkatkan cadangan karbon, kegiatan rehabilitasi secara signifikan juga mengubah karakteristik lanskap hutan terdegradasi yang berpotensi menjadi tujuan wisata alam baru.
Berdasarkan catatan, rata-rata jumlah pengunjung hutan penelitian Gunung Dahu sebelum pandemi Covid-19 80-100 orang per hari. Jika diasumsikan jumlah pengunjung terendah 560 orang dan tertinggi 3.000 orang per bulan dengan asumsi tiap orang belanja Rp 100 ribu, ada pemasukan bagi pengelola Gunung Dagu Rp 56-300 juta.
Kembalinya hutan terdegradasi juga otomatis mengembalikan keanekaragaman hayati. Di hutan Gunung Dahu kini terdapat lebih dari 60 jenis pohon dan 40 jenis tumbuhan bawah, 10 jenis epifit, lebih dari 20 jenis mesofauna tanah, serta jenis mamalia, mikroba potensial, serangga dan beragam polinator.
Salah satu karakteristik penting dari hutan hujan tropis yang didominasi keluarga Dipterokarpa atau meranti-merantian adalah mikoriza, asosiasi yang khas antara pohon meranti dengan jamur ektomikoriza (ECM). Jamur ECM akan memodifikasi sistem perakaran lateral pohon inang dan memberikan beberapa manfaat, seperti peningkatan serapan hara, melindungi dari patogen akar, meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian, dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan.
Keberadaan ektomikoriza penting dalam siklus hara hutan dalam membantu pohon mendapatkan nutrisi secara alami. Dari beberapa hasil penelitian diketahui asosiasi yang terbentuk di hutan alam ini juga telah terbentuk di hutan meranti hasil penanaman di hutan Gunung Dahu dengan teridentifikasi 10 jenis ektomikoriza dari famili Amanitaceae, Boletaceae, Hydnangiaceae, Russulaceae, dan Schelodermataceae.
Walhasil, rehabilitasi lahan adalah bentuk investasi. Tak hanya menghasilkan nilai ekonomi, juga berperan dalam konservasi. Pemilihan jenis, kesesuaian habitat, dan pandangan masyarakat menjadi penting dalam menentukan keberhasilan rehabilitasi. Soalnya, rehabilitasi tidak hanya persoalan teknis tanam menanam, intrik sosial akan selalu melekat dalam proses panjang rehabilitasi termasuk juga di hutan Gunung Dahu.
Penggantian tanaman meranti menjadi tanaman semusim dan kegiatan penebangan merupakan riak-riak tantangan yang proses rehabilitasi hutan Gunung Dahu. Keberhasilan rehabilitasi, reboisasi, restorasi sebuah bentang lahan tak hanya dihitung berdasarkan persentase bibit yang hidup dan mampu bertahan setelah ditanam.
Manfaat rehabilitasi yang menyeluruh adalah menilai semua manfaat hutan dan lingkungan. Semua nilai terlihat dan tak terlihat dari rehabilitasi hutan Gunung Dahu menunjukkan nilai hutan jauh lebih besar dari sekadar kayunya saja.
Ikuti perkembangan terbaru rehabilitasi hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :