THE Economist menyebut kita sedang menuju Homo urbanus. Maksudnya, manusia akan menjadi orang kota karena pertumbuhan kota-kota kian pesat. Desa-desa berubah menjadi perkotaan yang menuntut pembangunan permukiman kian masif. Akibatnya ruang terbuka hijau menyusut.
Seba, tuntutan itu mengakibatkan banyak pengalihan fungsi lahan terutama kawasan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan. Ruang-ruang hijau menyusut berganti dengan bangunan dan gedung-gedung perkantoran yang menyebabkan kualitas lingkungan berkurang.
Keadaan ini perlu diimbangi dengan perbaikan kualitas lingkungan perkotaan, salah satunya melalui pemanfaatan jasa lingkungan perkotaan. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 menjelaskan bahwa jasa lingkungan adalah kegiatan memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi utamanya.
Pengelolaan jasa lingkungan sangat erat berkaitan dengan pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) suatu kota, karena memiliki banyak fungsi ekosistem saling berinteraksi dan memberikan manfaat secara tidak langsung. RTH tidak hanya memiliki fungsi bio-ekologis sebagai pengatur iklim mikro, produsen oksigen, habitat satwa, penyerap polutan diudara, hidrologi (air) dan tanah melainkan juga fungsi sosial dan budaya karena RTH menghadirkan wadah komunikasi, tempat rekreasi dan media pendidikan bagi warga kota (Permendagri No.1, 2007).
Berkaitan dengan hal itu, fungsi RTH menjadi penting sebagai pengatur proses hidrologi dalam meningkatkan ketersediaan air tanah di wilayah perkotaan. Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat Kota Makassar tahun 2016 memiliki RTH seluas 1325,29 hektare atau sekitar 7,58% dari luas wilayah ibu kota Sulawesi Selatan ini.
Selama ini salah satu cara memperoleh air bersih adalah dengan memanfaatkan pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kendati demikian, semakin tingginya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan akan berdampak pada semakin tinggi pula kebutuhan akan air bersih di perkotaan.
Kota Makassar menjadi salah satu kota dengan kepadatan tinggi yang akan berdampak pada penyediaan air bersih. PDAM kini harus beralih ke sumur gali (air tanah).
Air tanah adalah salah satu sumber air yang penting ketika sumber air permukaan sudah mulai terbatas ketersediaannya. Pemanfaatan air tanah telah diatur di dalam UU Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah 43 Tahun 2008 tentang air tanah serta peraturan daerah.
Penelitian saya pada 2016 menunjukkan produksi air bersih PDAM sebesar 92.025.315 meter kubik per tahun yang didistribusikan ke 167.783 pelanggan di Kota Makassar. Masalahnya, nilai NRW (non-revenue water) atau kehilangan air sebesar 42%, sehingga total air bersih yang tersuplai ke masyarakat hanya 53.374.683 meter kubik per tahun.
Konsekuensi dari ketimpangan ini adalah masyarakat memenuhi kebutuhan air bersih melalui sumur bor dan sumur gali. Sebagian penduduk menggunakan air tanah atau PDAM sebagai sumber utama pemenuhan air bersih mereka, sebagiannya lagi mengombinasikan kedua sumber air bersih tersebut jika salah satu sumber air mengalami gangguan.
Namun, pemompaan air tanah secara berlebihan menyebabkan penurunan permukaan tanah. Pemanfaatan air tanah melalui sumur juga akan mengakibatkan penurunan lengkung muka air tanah (depression cone). Sehingga makin besar laju pengambilan air tanah, semakin curam lengkung permukaan air tanah yang terjadi.
Seharusnya pengambilan air tanah harus memperhatikan debit pengambilan yang disarankan oleh pemerintah untuk menghindari penggunaan air tanah bebas yang besar.
Salah satu solusi guna menambah kapasitas jumlah air tanah di kota Makassar dengan optimalisasi RTH sebagai daerah resapan. Usaha pengembangan RTH dapat dilaksanakan dengan cara ekstensifikasi yaitu menambah luasan daerah RTH pada wilayah kota yang masih kosong serta belum termanfaatkan dengan baik.
Dengan demikian, kawasan RTH dapat membantu mengatasi permasalahan krisis air. Terdapat beberapa cara dalam merumuskan strategi pengelolaan jasa lingkungan air tanah di wilayah perkotaan seperti melakukan konservasi air dan tanah melalui kegiatan penambahan luasan RTH, reboisasi dan pembuatan sumur resapan/lubang biopori yang berfungsi menjaga kelestarian sumber air baku serta menjaga kualitas potensi daerah cekungan air tanah.
Pada akhirnya pengambilan air tanah haruslah melaksanakan prinsip efisiensi dalam pemanfaatan atau penggunaannya agar ketersediaan air tanah dapat berkelanjutan. Menambah raung terbuka hijau atau RTH bisa jadi solusi, tapi eksploitasi air tanah berlebihan tetap menjadi ancaman.
Ikuti percakapan tentang ruang terbuka hijau di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti di Pusat Riset Ekologi & Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :