ADA ungkapan dari Hippocrates, filsuf Yunani yang hidup antara 460-360 Sebelum Masehi: “Biarkan makanan menjadi obatmu, biarkan obat menjadi makananmu”. Maksudnya, makanan sehat dan nutrisi dalam makanan memiliki khasiat penyembuhan dan nutrisi penting menjaga kesehatan dan pencegahan penyakit.
Salah satu defisiensi nutrisi yang paling umum terjadi pada masyarakat adalah anemia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan anemia sebagai keadaan tubuh manusia ketika kadar hemoglobin kurang dari 13 gram per desiliter pada laki-laki dan 12 gram/desiliter pada perempuan. Anemia adalah kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dengan atau tanpa penurunan jumlah sel darah merah. Anemia disebabkan oleh kekurangan gizi yang menjadi perhatian utama di seluruh dunia misalnya, defisiensi B12, zat besi, dan asam folat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 dalam Profil Kesehatan Indonesia 2021 menyebutkan sebanyak 48,9% ibu hamil dan 32% remaja di Indonesia mengalami anemia. Sebanyak 84,6% anemia pada ibu hamil terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun. Secara global, berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), selain ibu hamil dan remaja, 42% anak di bawah usia lima tahun juga rentan terkena anemia.
Anemia terkait lima masalah gizi lain, yakni stunting atau tengkes atau kontet, berat lahir rendah, kelebihan berat badan pada masa kanak-kanak dan wasir. Berkurangnya jumlah asupan zat besi pada anak-anak berisiko tinggi pada perkembangan mental anak dan kekurangan zat besi dapat mengakibatkan keterlambatan fungsi kognitif anak.
Kekurangan zat besi juga dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kerentanan anak terhadap mikroorganisme patogenik (virus, bakteri, jamur dan parasit) yang menyebabkan penyakit menular. Selain itu, peningkatan penyerapan logam beracun bisa berasal dari kapasitas penyerapan yang tinggi di antara pasien defisiensi zat besi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kondisi seperti keracunan timbal dan kadmium.
Kekurangan zat besi pada ibu hamil mengakibatkan komplikasi kehamilan seperti mudah lelah, gerakan fisik terbatas, kemampuan kognitif rendah, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi mikroorganisme. Selain itu, wanita hamil memiliki risiko kematian yang lebih tinggi akibat kekurangan zat besi.
Akibat kondisi ibu hamil yang tidak sehat akan meningkatkan risiko kematian janin, kelahiran prematur, kerusakan saraf, dan hipertensi. Padahal zat besi dapat dikonsumsi tidak hanya dari sumber pangan hewani, tapi juga sumber pangan nabati. Pada masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, mengonsumsi sumber pangan hewani merupakan suatu kemewahan.
Sementara banyak sumber pangan nabati yang mengandung zat besi tinggi yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, khususnya zat besi pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Salah satunya dari ekosistem rawa gambut, yakni tanaman pakis.
Pakis atau paku-pakuan adalah salah satu tumbuhan liar yang paling umum dikumpulkan oleh manusia seluruh dunia sebagai sumber makanan atau obat tradisional. Bagian pakis seperti daun, batang, rimpang, pelepah atau pucuk muda, bahkan kadang-kadang seluruh tanaman digunakan untuk makanan atau obat tradisional.
Pakis yang bisa dimakan memainkan peran penting sebagai sumber makanan murah dan mudah tersedia terutama untuk orang di Oseania dan Asia. Berdasarkan penelitian, pakis menjadi sumber zat besi yang potensial, murah dan mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal kita. Kandungan zat besi dari pakis 10-50 kali lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran berdaun lainnya.
Salah satu jenis pakis rawa gambut yang populer adalah kelakai (Stenochlaena palustris). Pakis ini cocok untuk ibu menyusui dan penderita anemia karena kandungan nutrisinya melebihi sayuran lain. Banyak studi menyebutkan kelakai banyak ditemukan di lahan gambut bekas terbakar. Kelakai tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua dan Sulawesi.
Kelakai memiliki kandungan flavonoids, alkaloids, steroid dan terpenoid, serta vitamin C, protein, betakarotin dan asam folat. Masyarakat Dayak dan Banjar di Kalimantan Selatan sudah biasa mengolah kelakai sebagai obat dari generasi ke generasi.
Tempat tumbuh kelakai mempengaruhi kandungan mineral yang terkandung dalam daunnya. Tanah gambut memberikan kandungan mineral yang paling tinggi dibandingkan kelakai yang tumbuh di tanah aluvial atau tanah berpasir. Kandungan mineral yang relatif rendah pada kelakai yang tumbuh pasir kuarsa dan tanah aluvial diduga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara tanah pada kedua jenis tanah tersebut.
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengonsumsi kelakai adalah cara mengolah sebagai sayuran. Proses memasak kelakai akan berpengaruh pada kandungan gizi dan mineral yang terkandung di dalamnya. Kelakai yang segar atau tanpa dimasak memiliki kadar mineral paling tinggi dibandingkan dengan kelakai yang digoreng, dikukus dan kadar gizi dan mineral paling rendah pada kelakai yang direbus.
Proses perebusan paling berperan dalam penurunan magnesium (21-68%), Cu (11-60%), Ca (39%) dan Mn (8-38%). Mineral lain seperti Zn dan Fe menurun dengan penggorengan masing-masing sebesar 14-37% dan 9-43%. Seluruh mineral, kecuali Cu, masih dalam batas asupan harian yang dianjurkan, jika diasumsikan satu porsi kalakai adalah 50 gram basis kering.
Berbagai penelitian dalam penggunaan tradisional, fitokimia, dan studi farmakologis, menunjukkan kelakai memungkinkan mendukung sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). Kelakai memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara serius.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti madya bidang sosial ekonomi kehutanan di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN
Topik :