Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 Maret 2023

Permodelan Peta Masalah Karbon Biru

Karbon biru andalan mitigasi iklim. Perlu pemetaan masalahnya.

Hutan bakau di Teluk Bintuni, Papua Barat (Foto: Kuswandi, 2017)

DARI lebih 17 ribu pulau, sekitar 16 ribu pulau di Indonesia sudah terdaftar di PBB. Dengan pulau-pulau itu, negara kita punya garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Dari 1.905 kilometer persegi, 75% luas wilayah Indonesia adalah lautan. Dengan begitu, kita punya cadangan karbon biru yang melimpah. 

Karbon biru Indonesia terdiri dari tiga ekosistem, yaitu terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Mereka mampu menyerap emisi karbon puluhan kali lebih banyak dibanding ekosistem karbon hijau, yakni ekosistem daratan seperti hutan, perkebunan, pertanian, padang rumput. Karena itu, area karbon biru Indonesia penting dalam mitigasi krisis iklim. 

Konstruksi Kayu

Blue carbon atau karbon biru adalah karbon yang ditangkap dan disimpan oleh organisme di kawasan pesisir dan samudera melalui proses fotosintesis dan terakumulasi dalam biomassa (mangrove, rumput laut, alang-alang laut [seagrass], dan fitoplankton) maupun sedimennya.

Dalam rentang 1996-2020 terjadi penurunan luas hutan mangrove seluas 1,7 juta kilometer persegi. Kehilangan mangrove terjadi karena konversi menjadi lahan budi daya tambak udang maupun pembangunan infrastrtuktur lainnya. Oleh karena itu, perlu kajian untuk memitigasi laju deforestasinya.

Indonesia telah memulai berbagai upaya untuk mengelola dan merestorasi ekosistem karbon biru seperti program rehabilitasi mangrove. Selain itu, Indonesia juga telah mempromosikan pengelolaan ekosistem karon biru dalam forum internasional seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Blue Carbon Initiative.

Namun, masih banyak tantangan dalam mengoptimalkan peran Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim melalui ekosistem karbon biru, seperti pengelolaan yang kurang efektif, kekurangan dana, dan adanya konflik kepentingan dengan sektor lain. Oleh karena itu, perlu dukungan berbagai pihak termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mengatasi tantangan ini dan memaksimalkan potensi ekosistem karbon di Indonesia. Salah satu yang dapat diupayakan adalah melakukan kajian permodelan. 

Kajian permodelan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif ketika dihadapkan dengan keterbatasan akses dan dana. Seperti yang kita ketahui ada banyak permodelan yang dapat digunakan dalam mempelajari dinamika karbon di wilayah pesisir seperti Modelling Habitat suitability menggunakan model distribusi spesies, model prediksi perubahan luas lahan karbon biru berdasarkan pola perubahan yang terjadi dari masa sebelumnya (LULC Change), dan Modelling prediksi blue carbon menggunakan learning machine (misalnya inVEST).

Salah satu metode permodelan berbasis machine learning yang paling sering digunakan adalah maximum entropy (MaxEnt). Pemodelan ini menggunakan beberapa set data titik perjumpaan dan data lingkungan, sehingga MaxEnt mampu memodelkan probabilitas distribusi species yang spesifik sesuai dengan kondisi lingkungan.

Penggunaan MaxEnt akan efektif digunakan dalam skala global (misal: skala pulau besar), untuk spesies yang spesifik (habitatnya yang telah terfragmentasi, atau terisolqsi) dan memiliki kecenderungan habitat khusus. Dengan terbatasnya data yang digunakan, kemudian dianalisis melalui algoritmanya, MaxEnt mampu menghasilkan model niche dan distribusi yang memiliki validitas yang tinggi.

Beberapa fungsi dalam bidang konservasi, yaitu sebagai salah satu kriteria dalam penetapan status spesies dalam daftar merah IUCN, pengelolaan ekosistem, pengendalian spesies asing, mengungkap pola spasial kesesuaian habitat dan penggunaan habitat oleh suatu spesies, mengungkap variabel lingkungan yang menentukan kehadiran spesies dalam suatu lokasi. Selain itu, MaxEnt juga dapat digunakan untuk memprediksi penyakit, kebakaran hutan, distribusi tanaman obat, distribusi tempat berpotensi ekowisata dan lain-lainya.

Ikuti perkembangan terbaru karbon biru di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli muda Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain