DI era krisis iklim, karbon menjadi salah satu produk jasa lingkungan ekosistem hutan yang bisa memberikan kontribusi ekonomi, kesejahteraan masyarakat, sekaligus penanganan krisis lingkungan. Produk pemanfaatan jasa lingkungan karbon sebagai salah satu wujud “green economy” semakin berkembang di tengah merosotnya industri pemanfaatan hasil hutan kayu dewasa ini.
Selama ini pengelolaan hutan berbasis kayu banyak menuai kritik karena pengelolaan yang tidak berkelanjutan dan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca dari pemanenan kayu (tegakan yang rusak akibat pemanenan, pembangunan infrastruktur serta penggunaan bahan bakar fosil yang digunakan dalam proses pemanenan dan pengangkutan).
Masalahnya, pertimbangan ekonomi senantiasa menjadi pertimbangan yang sering kali mengabaikan dampak ekologis/lingkungan. Hal ini mendorong berkembangnya konsep “strong sustainability” yang mengasumsikan modal ekonomi dan lingkungan saling melengkapi, tetapi tidak dapat dipertukarkan.
Nilai jasa lingkungan karbon akan kita peroleh jika pengelolaan ekosistem hutan dilakukan secara lestari dan berkelanjutan sehingga aktivitas-aktivitas yang berdampak pada produksi emisi gas rumah kaca—penyebab utama krisis iklim dan pemanasan global—terhindarkan. Karena itu pengembangan usaha karbon yang melulu menekankan pertimbangan ekonomi harus dihindari untuk mencegah bisnis karbon kembali mengulang bisnis kayu yang tak lestari. Tujuan perdagangan karbon pun mesti ditujukan untuk mengatasi krisis lingkungan dan krisis iklim.
Perdagangan karbon mengacu pada pasar dan sistem perdagangan yang memfasilitasi pembelian dan penjualan kredit karbon atau izin emisi yang mengatur dan membatasi jumlah emisi gas rumah kaca sebuah negara atau perusahaan. Perdagangan karbon menjadi salah satu instrumen finansial yang memungkinkan pencapaian target nationally determined contribution (NDC) atau kontribusi penurunan emisi tiap negara.
Regulasi perdagangan karbon Indonesia berkembang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sejak terbit Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon muncul peraturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Peraturan Menteri LHK itu menjadi titik tolak upaya mencapai target NDC Indonesia melalui perdagangan karbon. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi emisi karbon yang besar, di sisi lain juga memiliki potensi untuk mengurangi emisi melalui kebijakan pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan di mana Indonesia telah berkomitmen untuk tercapainya FOLU Net Sink 2030.
Pada 2012, Indonesia meluncurkan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), yang bertujuan mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Program ini mendapatkan dukungan dan pendanaan dari beberapa negara dan organisasi internasional.
Lima tahun setelah tahap persiapan (pilot phase), pada 2017 Indonesia memasuki fase pembayaran berbasis hasil atau result based payment (RBP). Pada 12 Juli 2021, pemerintah Indonesia mendapatkan pembayaran dari Global Carbon Fund sebesar US$ 103,781,250 dari peurunan emisi karbon sebanyak 20,3 juta ton setara CO2 pada 2014-2016 ata 6,75 juta ton per tahun.
Mekanisme REDD+ juga berkembang di level provinsi, seperti program FCPF di Kalimantan Timur dan BioCarbon Fund (BioCF) di Jambi. Selain REDD+, beberapa pelaku usaha dan organisasi juga mengembangkan proyek karbon pada sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan (AFOLU) di pasar karbon sukarela seperti program Verified Carbon Standard (VCS) Climate; Community and Biodiversity Standards (CCB); dan PlanVivo.
Indonesia memiliki potensi besar menjadi pemain penting dalam perdagangan karbon global, terutama melalui pengurangan emisi karbon dari sektor hutan dan lahan (FOLU) yang berkelanjutan. Namun, perdagangan karbon Indonsia masih terhalang beberapa kendala dan tantangan terkait verifikasi, proyek jangka panjang, additionality dan kebocoran (Angelsen 2010), transparansi keuangan yang tidak memadai, standar yang mahal (Laing et al. 2016) dan biaya transaksi yang tinggi (Nantongo & Vatn 2019).
Untuk mengatasi hambatan dan tantangan tersebut, perlu kolaborasi para ahli, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menerapkan kebijakan dan praktik perdagangan karbon. Mengembangkan usaha karbon memerlukan strategi matang untuk memastikan kesuksesan dan keberlanjutan usaha. Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mengembangkan usaha karbon:
Identifikasi dan fokus pada potensi pasar. Pemangku proyek perlu fokus pada pasar yang sesuai dengan jenis proyek karbon. Hingga 2030, pemerintah Indonesia perlu mendorong pelaku usaha karbon Indonesia untuk mencapai NDC dengan mengutamakan perdagangan karbon yang tidak menyebabkan perpindahan hak karbon ke luar negeri sehingga klaim penurunan karbon masuk ke dalam NDC Indonesia.
Proyek karbon yang sesuai. Pelaku usaha karbon mesti memilih jenis proyek karbon yang sesuai dengan potensi pasar yang sudah diidentifikasi dan sesuai dengan keahlian serta kemampuan perusahaan. Proyek karbon pada sektor kehutanan dan lahan dapat berupa aforestasi (afforestation), reforestasi (reforestation) dan revegetasi (revegetation); perbaikan manajemen hutan (improved forest management, IFM), perubahan manajemen hutan menjadi konservasi, memperpanjang rotasi, penerapan reduce impact logging (RIL); mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD), restorasi lahan basah (wetlands restoration and conservation, WRC) melalui penyekatan kanal dan pencegahan pembuatan kanal.
Kemitraan. Pemangku proyek karbon perlu membentuk kemitraan dengan masyarakat lokal untuk memastikan partisipasi aktif masyarakat dan mendukung pengelolaan hutan yang lestari. Kerja sama dengan pemangku kepentingan, seperti komunitas di sekitar proyek, pemilik hutan, pemerintah, dan organisasi nonpemerintah untuk memastikan dukungan memperoleh akses ke lahan.
Teknologi yang tepat. Teknologi yang tepat dalam mengurangi emisi karbon secara efektif menjadi tahap penting proyek karbon. Teknologi yang terbukti efektif mengurangi emisi karbon dan terjangkau untuk perusahaan akan mendukung proyek karbon yang berhasil. Teknologi terbaru bisa memastikan efisiensi dan akurasi dalam pengukuran karbon dan perhitungan kredit karbon.
Sertifikasi. Beberapa lembaga sertifikasi proyek karbon antara lain Verra’s Verified Carbon Standard (VCS); Climate, Community and Biodiversity Standards (CCB Standards); Gold Standard; PlanVivo; SD Vista. Sertifikasi untuk memastikan bahwa kredit karbon yang dihasilkan bisa diperjualbelikan di pasar karbon domestik ataupun global.
Penerapan pengelolaan risiko. Implementasi pengelolaan risiko yang matang untuk memitigasi risiko yang mungkin muncul dalam pengembangan proyek karbon, seperti risiko regulasi, pasar, lingkungan, reputasi dan teknis.
Kegiatan usaha karbon di sektor kehutanan terkait dengan regulasi, seperti izin usaha, penanaman kembali, pemanfaatan lahan, dan lain sebagainya. Jika perusahaan tidak mematuhi regulasi tersebut akan terkena sanksi hukum yang berdampak negatif pada reputasi dan kinerja perusahaan. Demikian juga pasar karbon memiliki volatilitas yang tinggi, dan harga karbon dapat berfluktuasi secara tajam. Jika harga karbon turun, perusahaan yang bergantung pada pendapatan usaha karbon pendapatannya akan turun signifikan.
Usaha karbon di sektor kehutanan juga berdampak pada lingkungan, terutama jika tidak dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Risiko lingkungan berupa gangguan keanekaragaman hayati. Misalnya dalam kegiatan penanaman menggunakan jenis tanaman bukan endemik yang mudah terancam oleh hama dan penyakit.
Perusahaan yang terlibat dalam usaha karbon di sektor kehutanan harus memperhatikan reputasi mereka, terutama terkait isu-isu lingkungan dan sosial. Jika perusahaan tidak bertanggung jawab atau tidak mematuhi standar, reputasi mereka tercemar dan berdampak negatif pada kinerja perusahaan.
Usaha karbon di sektor kehutanan juga terkait dengan risiko teknis, seperti risiko kebakaran hutan, perambahan dan pembalakan liar, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan produksi atau bahkan berhenti sama sekali.
Fokus pada keberlanjutan. Aspek keberlanjutan pengembangan proyek karbon penting untuk menjamin kelestariannya. Pemangku proyek perlu memastikan kegiatan mereka tidak hanya mengurangi emisi karbon, juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
Membangun reputasi. Reputasi usaha yang baik menunjukkan keberhasilan proyek karbon menghasilkan kredit karbon yang berkualitas (nyata, additionality, jangka panjang/permanen, terukur, berkelanjutan). Karena itu perusahaan harus mematuhi standar nasional dan internasional dalam pengembangan proyek karbon.
Tahapan Mengembangkan Usaha Karbon
Untuk mengembangkan proyek karbon, perlu juga melibatkan berbagai pihak, seperti ahli (lingkungan, kehutanan, carbon accouting, sosial, ekonomi), perusahaan dan organisasi, masyarakat serta pemerintah. Selain itu, perlu juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan untuk memastikan bahwa proyek karbon tidak berdampak negatif tetapi memberikan manfaat terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Mengembangkan proyek karbon melibatkan beberapa tahapan, antara lain:
Identifikasi dan penilaian. Ini tahap awal pengembangan proyek karbon. Pada tahap ini, perlu identifikasi potensi sumber emisi gas rumah kaca yang bisa dikurangi atau dikompensasikan melalui proyek karbon. Identifikasi manfaat ganda dalam mengurangi emisi karbon, seperti memperbaiki kesejahteraan sosial, mendukung konservasi dan restorasi ekosistem, keanekaragaman hayati, kesesuaian dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Selain itu, juga perlu penilaian terhadap potensi dampak lingkungan dan sosial dari proyek.
Desain/Perencanaan. Pada tahap desain, perlu perencanaan rinci tentang bagaimana proyek akan diimplementasikan, termasuk rincian tentang aksi mitigasi dan teknologi yang akan digunakan, metode, nilai manfaat karbon (baseline, emisi proyek, penurunan emisi/serapan yang dihasilkan), kebutuhan sumber daya, dan estimasi biaya. Pada tahapan ini proyek akan menghasilkan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) atau Project Design Document (PDD).
Register pada sistem perdagangan karbon. Indonesia mewajibkan semua proyek karbon terdaftar di Sistem Registri Nasional (SRN).
Implementasi. Ini tahap di mana proyek karbon berjalan. Pada tahap ini, perlu pengadaan sumber daya dan peralatan untuk melaksanakan aksi mitigasi, serta pelatihan bagi staf yang akan terlibat dalam proyek.
Monitoring dan verifikasi. Tahap monitoring dan verifikasi sangat penting dalam pengembangan proyek karbon. Pada tahap ini, perlu pemantauan terhadap emisi karbon dan pengurangan emisi yang telah dicapai. Verifikasi untuk memastikan bahwa pengurangan emisi karbon tersebut memenuhi standar sertifikasi yang berlaku.
Sertifikasi dan pemasaran. Setelah proyek karbon telah berhasil, manajemen proyek perlu mendapatkan sertifikasi dari badan sertifikasi yang diakui secara nasional atau internasional. Setelah mendapatkan sertifikasi, kredit karbon yang dihasilkan bisa dijual-belikan di pasar karbon atau digunakan untuk mengkompensasi emisi karbon perusahaan atau organisasi pembuat proyek karbon.
Ikuti perkembangan terbaru perdagangan karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti ahli madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :