Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 28 Maret 2023

Mitigasi Dampak El Niño dalam Rehabilitasi Hutan

El Niño bakal terjadi mulai April ini, menurut BMKG. Bisa mengancam program rehabilitasi hutan.

Kekeringan akibat El Niño (Foto: Ryke Nandini)

AWAL Maret lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) merilis El Niño akan terjadi pada 2023 dengan peluang 50-60%. El Niño adalah kondisi ketika curah hujan berkurang dan menyebabkan kemarau panjang. April merupakan awal terjadinya El Niño, dan akan mencapai puncak pada Agustus 2023.

El Niño mengakibatkan kekeringan, kegagalan panen, serta memicu kebakaran hutan dan lahan terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang didahului dengan munculnya titik api pada lahan gambut. Dampak lebih lanjut adalah munculnya kabut asap yang mengganggu jarak pandang serta berpotensi berbahaya bagi kesehatan.

Pada sektor kehutanan, fenomena El Niño menjadi tantangan bagi rehabilitasi hutan dan lahan. El Niño berpotensi menghambat keberhasilan rehabilitasi sehingga perlu mitigasi. Beberapa upaya mitigasi antara lain pemilihan jenis tanaman, penggunaan bahan pembenah tanah, menjaga ketersediaan air melalui pemanenan air, pembangunan sarana penyiraman tanaman, serta pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi lahan.

Pemilihan jenis tanaman adalah langkah pertama dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Kondisi biofisik lahan serta prediksi iklim ke depan hendaknya menjadi pertimbangan pemilihan jenis. Tanaman yang dipilih adalah yang adaptif terhadap kekeringan, mampu menyimpan lebih banyak air, serta meminimalisasi penguapan yang menyebabkan tanaman menjadi kering.

Beberapa tanaman adaptif dapat dikenali dari karakteristik daun serta perilaku adaptasi pada iklim kering. Tanaman berdaun kecil cenderung lebih adaptif dibandingkan berdaun lebar. Namun, sebagian tanaman berdaun lebar mampu beradaptasi dengan meranggas pada musim kemarau sebagaimana tanaman jati (Tectona grandis). Jenis tanaman yang secara ilmiah teruji adaptif terhadap kekeringan dan dikenal luas oleh masyarakat antara lain gamal (Gliricidia sepium), trembesi (Samanea saman), turi (Sesbania glandiflora), asam (Tamarindus indica), sengon (Paraserianthes falcataria), nyamplung (Canophylum inophyllum L.), johar (Cassia florida Vahl.), juwet (Syzygium cumini (L.) Skeels).

Sebelum penanaman, persiapan media tanam merupakan langkah yang tidak kalah penting. Selama musim kemarau, kebutuhan air akan meningkat sehingga kapasitas penyimpanan air dalam tanah perlu ditingkatkan. Bahan pembenah tanah seperti pupuk dan hidrogel bisa memperbaiki kemampuan tanah dalam menyimpan air.

Pada kegiatan rehabilitasi lahan di kawasan hutan, penggunaan pupuk kimia tidak diperkenankan karena menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Pupuk alami lebih direkomendasikan, selain aman terhadap lingkungan juga lebih hemat biaya karena dapat memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di alam. 

Pupuk alami, seperti pupuk kandang dan pupuk hijau, juga mampu memperbaiki sifat fisik tanah  seperti tekstur, struktur dan porositas, yang secara tidak langsung berpengaruh pada kemampuan tanah dalam penyerap air. Tanah yang mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air dengan baik akan mempermudah akar tanaman memperoleh air bagi pertumbuhan tanaman. Dengan demikian, pemberian pupuk alami pada awal penanaman merupakan bentuk mitigasi terhadap dampak El Niño yang akan terjadi. 

Bahan pembenah tanah yang mampu memenuhi kebutuhan air bagi tanaman adalah hidrogel, yaitu media tanam yang mampu menyerap air dan nutrisi. Hidrogel termasuk bahan yang ramah lingkungan karena dapat terurai oleh mikroba tanah dalam kurun waktu tertentu. Pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, penggunaan hidrogel cukup ekonomis dan mampu bertahan sampai lima tahun. Penggunaan hidrogel dalam rehabilitasi pernah saya lakukan pada penanaman mimba di Nusa Penida pada 2010-2013. Tanaman yang diberikan hidrogel mempunyai pertumbuhan lebih baik.

Air merupakan masalah utama di daerah kering. Masyarakat beradaptasi terhadap keterbatasan air dengan membangun sarana pemanenan air (water harvesting) yang dikenal sebagai embung atau cubang. Sarana sederhana ini dibuat dengan memanfaatkan sumber daya lokal untuk menampung air hujan sebagai cadangan di musim kemarau. Sarana ini membantu pemenuhan kebutuhan air, tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, namun juga untuk ternak dan kebunnya.

Pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, pemanenan air bukan dengan membangun embung mengingat lokasi biasanya di kawasan hutan yang sulit dijangkau. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menjaga kelembapan tanah menggunakan mulsa, yaitu menutup permukaan tanah menggunakan bahan alami atau buatan.

Mulsa alami menggunakan sisa-sisa tanaman seperti ranting, jerami, atau sisa pangkasan tanaman. Mulsa buatan biasanya menggunakan plastik, namun hal ini tidak direkomendasikan dalam rehabilitasi hutan dan lahan karena tidak ekonomis dan berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan. Dengan mulsa, tanah menjadi lebih lembap, suhu tanah tidak terlalu panas, penguapan berkurang, penyerapan air lebih banyak, mencegah terjadinya erosi, serta dalam jangka panjang mampu menambah kesuburan tanah.

Kunci terakhir mitigasi El Niño adalah pelibatan masyarakat, mulai dari pemilihan jenis, penanaman sampai pemeliharaan tanaman. Masyarakat yang terlibat dalam rehabilitasi hutan dan lahan cenderung lebih peduli. Kepedulian itu muncul dari rasa memiliki, terlebih lagi bila kegiatan rehabilitasi dilakukan pada lahan miliknya. Karena itu, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan perlu dikembangkan agar semakin banyak masyarakat yang peduli dengan kegiatan rehabilitasi.

Ikuti percakapan tentang rehabilitasi hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain