Kabar Baru| 07 Agustus 2019
Ibu Kota Pindah ke Mana
GEGAP gempita pemilihan umum usai sudah. Hitung cepat lembaga survei telah final, semua tinggal menunggu keputusan final Komisi Pemilihan Umum tanggal 22 Mei 2019. Kendati kubu Prabowo Subianto mengklaim menang 62 persen, agaknya mayoritas rakyat Indonesia lebih memilih menunggu pengumuman KPU saja. Di luar itu kita kembali ke hari-hari yang normal seperti sebelum pemilihan.
Presiden Joko Widodo tiba-tiba melempar wacana lama tentang pemindahan ibu kota ke luar Jakarta. Seperti yang ia umumkan di Instagram @jokowi, menurut Presiden, Jakarta menanggung dua beban sebagai ibu kota negara: pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis dan ekonomi. “Apakah di masa depan kota ini masih mampu memikul beban itu?” tulis admin akun @jokowi pada 30 April 2019.
Isu ini sebetulnya isu lama, bahkan jika ditarik ke masa kolonial. Pada awal abad 20, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Strirum (1916-1921) punya ide memindahkan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasannya didasarkan kepada hasil studi dari H.F. Tillema, ahli kesehatan Belanda kelahiran Groningen yang bertugas di Semarang, tentang kesehatan kota-kota di pesisir utara Jawa. Tillema menyimpulkan bahwa kota-kota di Pantura tidak sehat sebagai kantor pemerintahan, perdagangan, industri, pendidikan dan lain-lain. Saran dan niat Strirum gagal karena dunia dihajar malaise atau depresi besar pada 1932 usai perang dunia pertama.
Di zaman kemerdekaan, Soekarno meneruskan niat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Ia bahkan sudah mengundang para insinyur Rusia datang ke sana mendesain dan membangun kota ini pada awal 1960. Menurut Soekarno, dalam peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1957, Palangkaraya bisa menjadi “modal dan model” ibu kota modern. Letaknya yang di tengah Indonesia, berada di pulau yang luas, dan masih banyak lahan kosong untuk perkembangan kota sebagai efek pusat pemerintahan.
Gagasan Soekarno memudar seiring kejatuhannya menjelang 1965, terutama setelah krisis ekonomi 1962. Orde Baru di bawah Soeharto terlalu gengsi meneruskan gagasan ini. Atau tak menyetujuinya karena akan mengalihkan pusat kekuasaan dan ekonomi—strategi Soeharto melanggengkan kekuasaan. Palangkaraya tak pernah ditengok lagi sebagai calon ibu kota baru, hingga Reformasi 1998.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah punya wacana ini tapi tak diwujudkan. Baru di era Jokowi ada kajian rada serius soal beban Jakarta dan daya dukung kota-kota lain untuk pemerataan ekonomi. Meski hanya dituangkan dalam 12 halaman makalah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengkajinya dengan menyodorkan beberapa alternatif.
Studi kelayakan ibu kota pindah atau tetap memakai analisi biaya-manfaat (Sumber: Bappenas)
Pada 2017, Jokowi agaknya sreg dengan Palangkaraya. Ada empat pertimbangan: Jakarta sudah terlalu padat dan tidak sesuai lagi untuk ibu kota negara, Kalimantan pulau tanpa gunung berapi sehingga bebas gempa, posisinya di luar Jawa, sehingga menetralkan pembangunan Jawa-sentris, tidak memerlukan dana APBN.
Dengan memakai analisis komparatif dan analisis manfaat-biaya sebagai metode umum dalam studi kelayakan, serta mengombinasikan keduanya, Bappenas mengerucutkan pilihan pada dua pula utama untuk ibu kota baru: Jawa dan Kalimantan. Dua pulau ini punya skor paling tinggi dibanding pulau lain.
BACA: Tantangan Palagkaraya Sebagai Calon Ibu Kota Baru
Analisis komparasi membandingkan 53 negara yang memindahkan ibu kota mereka dan memisahkan pusat bisnis serta pemerintahan. Dari 53 negara, hanya 13 negara yang dianggap berhasil memindahkan ibu kota. Keseluruhan negara yang berhasil adalah mereka yang memindahkan pusat bisnis atau pusat pemerintahannya. Sementara yang gagal karena memindahkan keduanya sekaligus.
Skor pulau untuk lokasi baru ibu kota Indonesia (Sumber: Bappenas)
Sementara analisis biaya dan manfaat menunjukkan pemindahan punya skor >1. Dari lima pulau yang dianalisis, Jawa dan Kalimantan punya skor yang paling tinggi dengan membandingkan ancaman, infrastruktur, hingga kekuatan ekonomi. Jawa, misalnya, kekuatan budaya dan infrastruktur sangat tinggi tapi rawan bencana. Kalimantan sangat luas tapi dukungan budaya dan infrastruktur sangat lemah.
Analisis kombinasi menilai dua pulau itu secara strategis. Hasilnya, Pantai Utara (Pantura) kawasan tengah di Jawa dan daratan tengah di Kalimantan punya skor paling tinggi. Jika mengacu kepada skor tersebut, kota yang masuk dalam kriteria layak sebagai ibu kota baru di Jawa adalah Cirebon, Tegal, Pemalang atau kota-kota di sekitarnya. Sementara di Kalimantan, kota layak ibu kota adalah Palangkaraya dan kota-kota kecil di sekitaranya.
Kalimantan agaknya lebih diunggulkan jika melihat daya dukung perkembangan setelah ibu kota baru. Jika ibu kota pemerintahan berpindah dari Jakarta tapi masih di dalam pulau Jawa, tak menunjang pemerataan ekonomi seperti yang disebut Jokowi. Jawa sudah terlalu padat. Sebanyak 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Sementara pulau Kalimantan yang luasnya enam kali luas pulau Jawa hanya menampung 6 persen pendeuduk. Dengan menimbang soal ini, Kalimantan lebih unggul ketimbang Jawa kendati punya skor lebih kecil.
Skor lokasi spesifik ibu kota Indonesia (Sumber: Bappenas)
Masalahnya adalah memindahkan ibu kota sama seperti pindahan rumah. Kita akan membawa masalah dari tempat lama ke tempat baru. Dalam hal pemindahan ibu kota, kita akan punya dua rumah. Di mana-mana, rumah tangga yang punya dua dapur biayanya selalu lebih mahal ketimbang satu dapur. Akan ada ongkos bolak-balik Jakarta-lokasi baru bagi masyarakat yang mengurus segala keperluan. Apalagi, Indonesia belum memasuki Internet 4.0, di mana tangan birokrasi masih diandalkan untuk mengurus segala hal secara manual.
Jika problem Jakarta adalah macet, banjir, kriminalitas akibat bebannya menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi, mengapa bukan soal-soal itu yang diselesaikan, ketimbang memindahkan rumahnya? Pada periode Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, banjir bisa dikendalikan, kejahatan bisa ditekan dengan memperbanyak kamera pengawas, macet diurai dengan membuat underpass dan bypass. Biayanya mungkin lebih murah ketimbang memindahkan kantor-kantor pemerintahan yang menyimpan dokumen, orang, hingga data ke tempat baru dan suasana baru.
Lokasi baru calon ibu kota Indonesia di Jawa: Cirebon, Tegal, Pemalang (atas) dan Kalimantan: Palangkaraya. (Sumber: Bappenas)
Jika melihat analisis perbandingan 53 negara, pemindahan ibu kota di negara-negara berkembang cenderung gagal karena kota-kota baru sejak awal tak didesain sebagai pusat pemerintahan maupun bisnis. Hanya negara maju yang cenderung berhasil menata ibu kota baru mereka karena kota-kota itu sebenarnya secara kultur siap sebagai kota besar. Misalnya, New York dan Washington.
Sejak mula New York adalah pelabuhan dagang tempat bertemunya orang dari pelbagai negara. Manhattan adalah kota yang ditukar dengan pulau rempah di Ambon antara Belanda dan Inggris. Jika New York kini lebih kosmopolitan dibanding kota Amerika lain, karena sejak awal kota ini didatangi oleh pelbagai orang dari segala penjuru.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :