Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 05 April 2023

Integrasi Pengelolaan Hutan di Era Krisis Iklim

Ada sembilan syarat integrasi pengelolaan hutan lestari di era krisis iklim.

Pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang memicu pembalakan liar (Foto: Sutisna Nando)

PEMERINTAH Indonesia coba menjawab problem krisis iklim di sektor kehutanan dan tata guna lahan melalui program FOLU net sink 2030 atau keseimbangan penyerapan dan pelepasan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dan pemakaian lahan. Pada 2030, sektor FOLU menyerap 17,4% dari perkiraan emisi nasional 2,87 miliar ton setara CO2.

Komitmen itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon. Peta jalan sudah menguraikan upaya adaptasi, mitigasi, dan ketahanan yang akan dilaksanakan dari tingkat nasional hingga tapak. Indonesia memiliki keunggulan, antara lain letaknya di khatulistiwa, memilik itutupan hutan tropis yang luas, keanekaragaman hayati tinggi, sumber daya alam melimpah, dan sumber daya manusia yang cukup memadai.

Konstruksi Kayu

Pemerintah mengupayakan tiga aksi untuk mendukung target FOLU net sink: mengurangi kebakaran hutan dan lahan, mempertahankan hutan, dan menambah tutupan hutan untuk meningkatkan serapan karbon. Ketiga aksi prioritas ini mesti menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya KLHK sebagai pengampu kawasan hutan.

Pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu upaya mitigasi perubahan iklim di sektor FOLU. Ada beberapa sistem yang coba diperkenalkan, yakni multiusaha kehutanan, pengelolaan hutan berdampak rendah (RIL), dan sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi lapangan serta penerapan teknik silvikukltur intensif (Silin). 

Meski begitu, program pengelolaan hutan lestari di tingkat lapangan tidak mudah mengingat kendala yang dihadapi pelaku usaha dan pemerintah. Pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan hanya parsial mengingat unit pengelola di tingkat tapak berada pada sebuah lanskap (bentang alam) yang terdiri dari berbagai ekosistem dengan beragam fungsi dan pemanfaatan, termasuk di dalamnya satwa dan manusia yang sering kali harus berhadapan untuk sam-sama mempertahankan ruang hidup. 

Problem dan tantangan pengelolaan hutan di era krisis iklim

Salah satunya masih maraknya pembalakan liar dan perambahan di berbagai kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan konservasi (termasuk hutan lindung). Hal ini menyebabkan pengurangan luasan tutupan hutan (deforestasi), yang berdampak nyata terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, serta mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Tantangan lainnya adalah kurangnya sumber daya yang berkualitas yang paham tentang pengelolaan hutan lestari dan lemahnya koordinasi berbagai instansi pemerintah. Sinkronisasi kebijakan juga masih lemah. Pengelolaan kawasan hutan memang berada di bawah KLHK, namun kegiatan di dalam kawasan bersinggungan dengan kementerian lainnya seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (pembangunan akses jalan), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (tambang mineral yang sebagian besar berada di dalam kawasan hutan), pertanian (terutama komoditas komersial utama seperti kepala sawit), Agraria dan Tata Ruang (tumpang tindih penguasaan lahan).

Ketidaksinkronan ini menyebabkan kebijakan dan penegakan hukum tidak berjalan efektif, serta meninggalkan kebingungan bagi para praktisi kehutanan.

Selain itu, kebijakan pengelolaan hutan Indonesia sering kali lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada kelestarian lingkungan, yang berujung pada eksploitasi sumber daya alam dan degradasi hutan. Hal ini nyata terjadi dengan kenyataan bahwa potensi jenis komersial di lapangan semakin menurun dan kebijakan penurunan limit diameter tebangan. 

Pemanenan kayu/pohon hanya ditujukan bagi jenis komersial, seperti meranti, sementara jenis lain yang potensial belum banyak termanfaatkan. Tingkat panen lestari yang selama ini dihitung hanya diambil dari perhitungan riap kayu komersial. Sementara hutan alam produksi tidak hanya terdiri dari pohon meranti, juga pohon jenis lain yang masih belum dikaji kualitasnya. Sangat sering keputusan pengelolaan hutan dibuat tanpa melibatkan penelitian mendalam. Kurangnya partisipasi publik dan transparansi proses pengambilan keputusan memperburuk masalah ini. 

Hutan tropis memiliki komposisi jenis yang heterogen dengan struktur umur pohon beragam pada setiap satuan tapak dan memiliki keunikan dengan kekayaan tumbuhan dan satwa.   Karakteristik struktur tegakan hutan alam yang baik akan menyerupai kurva huruf J-terbalik sehingga seharusnya struktur tegakan hutan bekas tebangan juga akan mengikutinya.

Hal ini tidak terlepas dari peran berbagai spesies satwa yang berkorelasi dengan persebaran tumbuhan penyusunnya. Over eksploitasi jenis pohon pilihan akan berpengaruh terhadap struktur hutan alam, termasuk modifikasi sistem regenerasi/pemulihan hutan terdegradasi.  Perubahan komposisi jenis satwa akibat hilangnya jenis tumbuhan tertentu karena penebangan pohon komersial akan mempengaruhi struktur dan komposisi spesies hutan di masa datang.

Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan hutan lestari sebagai pedoman bagi para praktisi lapangan. Namun, kebijakan yang ada saat ini perlu untuk di evaluasi kembali untuk melihat efektivitas implementasinya di lapangan. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, kawasan hutan tropis dengan beragam tumbuhan dan satwa endemik berada pada sebuah lanskap hutan utuh mengalami degradasi dan diskontinuitas ekosistem akibat pembangunan jalan. Pembangunan jalan nasional dan jalan akses lainnya yang melintas atau memotong kawasan hutan menjadi penyebab utama fragmentasi hutan. 

Fragmentasi hutan mengakibatkan penurunan fungsi hutan sebagai tempat hidup keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa (terutama habitat satwa jarang, langka dan terancam punah), bertambahnya bukaan (efek tepi), rentan terhadap pembalakan liar, dan masuknya spesies invasif yang memicu kebakaran hutan dan hilangnya keragaman hayati alami. 

Perubahan iklim juga menimbulkan tantangan terhadap pengelolaan hutan, karena kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan yang mendorong kebakaran hutan lebih sering dan parah.  Hutan yang terbuka dan tidak secepatnya dipulihkan akan memicu tumbuhnya jenis-jenis perintis dan jenis tanaman invasif yang membentuk semak yang pada saat musim panas atau musim kering panjang akan memicu kebakaran hutan.

Hutan yang dibiarkan terbuka dan ditumbuhi semak belukar memicu masuknya perambah hutan (Foto: Titiek Setyawati).

Secara keseluruhan, pengelolaan hutan lestari di Indonesia membutuhkan pendekatan multidisiplin/keilmuan yang menangani faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi. Pendekatan ini harus melibatkan lembaga pemerintah, masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya yang bekerja sama untuk mempromosikan praktik pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, melindungi keanekaragaman hayati, dan memitigasi dampak perubahan iklim.

Apa yang seharusnya ada dalam regulasi pengelolaan hutan?

Terkait pengelolaan hutan lestari, pemerintah Indonesia sudah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjamin bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan hasil hutan mengikuti kaidah. Yang utama adalah peraturan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan berbagai faktor untuk memastikan pengelolaan hutan berkelanjutan. Beberapa pertimbangan penting tersebut antara lain:

Konservasi keanekaragaman hayati: Peraturan pengelolaan hutan harus bertujuan melindungi keanekaragaman hayati hutan, termasuk flora dan fauna, dengan melestarikan habitat dan ekosistemnya, mengurangi fragmentasi, membatasi kegiatan yang merusak dan memitigasi dampak yang merugikan. 

Pemanfaatan yang berkelanjutan: Peraturan harus mempromosikan penggunaan sumber daya hutan yang berkelanjutan, seperti kayu, hasil hutan non-kayu, dan satwa liar, untuk memastikan bahwa penggunaannya tidak melebihi kapasitas hutan untuk beregenerasi.

Partisipasi pemangku kepentingan: Peraturan harus mendorong partisipasi masyarakat lokal, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan hutan, untuk memastikan bahwa kepentingan mereka diperhitungkan.  Mengutamakan alokasi manfaat yang adil bagi seluruh pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal yang terdampak oleh kegiatan/operasional pengelolaan hutan serta menghormati hak-hak masyarakat dan akses terhadap hutan.

Restorasi dan rehabilitasi hutan: Peraturan harus mencakup ketentuan untuk restorasi dan rehabilitasi hutan, untuk memperbaiki kawasan hutan yang terdegradasi dan untuk memastikan produktivitas jangka panjangnya. 

Pencegahan dan pengelolaan kebakaran hutan: Peraturan harus mencakup langkah-langkah untuk mencegah kebakaran hutan dan mengelolanya secara efektif ketika terjadi, untuk meminimalkan dampaknya terhadap ekosistem hutan dan kesehatan manusia.

Mencegah tumpang tindih penggunaan kawasan hutan:  Peraturan harus secara tegas mencakup langkah-langkah yang strategis demi menyelamatkan hutan ketika terjadi tumpang tindih penggunaan untuk kegiatan non-kehutanan.  

Penyerapan karbon dan perubahan iklim: Peraturan harus mempertimbangkan peran hutan dalam penyerapan karbon dan mitigasi perubahan iklim, dan mempromosikan kegiatan yang mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan ekosistem hutan. 

Penegakan hukum: Peraturan harus mencakup ketentuan untuk penegakan hukum dan hukuman untuk kegiatan ilegal seperti penebangan liar, perburuan liar, dan perambahan. 

Pemantauan dan evaluasi: Peraturan harus mensyaratkan pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan hutan secara teratur untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan, mengidentifikasi masalah, dan melakukan penyesuaian yang diperlukan terhadap rencana pengelolaan.

Secara keseluruhan, peraturan pengelolaan hutan harus menyeimbangkan kebutuhan berbagai pemangku kepentingan, melindungi ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati, mendorong pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan, dan mengatasi tantangan yang muncul seperti perubahan iklim dan kegiatan ilegal dalam kawasan hutan pada berbagai bentang alam di Indonesia.

Ikuti percakapan tentang kebijakan pengelolaan hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti madya di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta manajer program Wildlife Conservation Society

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain