Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 07 April 2023

Problem Zonasi Kawasan Konservasi

Pembagian zonasi kawasan konservais belum jelas. Plus minim jagawana, taman nasional menjadi rentan.

Jembatan gantung (suspension bridge) Situ Gunung di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (Foto: Dok. FD)

DALAM rapat dengan Komisi Kehutanan dan Pertanian DPR pada 6 Februari 2023, Sekeretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mendapat banyak pertanyaan seputar kawasan konservasi. Pertanyaannya sederhana apakah masyarakat yang bermukim di seputar taman nasional paham dan mengerti pembagian zonasi? Bagaimana strategi KLHK menginformasikan zonasi kepada masyarakat? Siapa yang bertanggung jawab menginformasikan dan mensosialisasikan tentang zonasi kawasan konservasi?

Hendroyono menjawab secara teoritis dan tekstual mengenai pengertian zonasi dan fungsi zonasi yang termuat dalam Undang-Undang 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA).

Pada intinya, pembagian zonasi hanya berlaku pada kawasan konservasi KPA, yakni taman nasional saja, sedangkan kawasan konservasi KPA lainnya seperti taman hutan rakyat, Taman Wisata Alam; dan KSA seperti cagar alam dan suaka margasatwa dibagi ke dalam blok. Pembagian zonasi dan blok untuk memudahkan perencanaan penataan kawasan dan penyusunan rencana pengelolaan. Penyusunan zonasi atau blok pengelolaan dilakukan oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA atau KPA serta pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Zonasi pengelolaan kawasan taman nasional meliputi: a) zona inti; b) zona rimba; c) zona pemanfaatan; dan/atau d). zona lain sesuai dengan keperluan. Sementara blok pengelolaan pada KSA dan KPA selain taman nasional meliputi: a) blok perlindungan; b) blok pemanfaatan; dan c) blok lainnya.

Di luar teori dan teks aturan, banyak masalah di kawasan konservasi, baik KSA maupun KPA. Boleh jadi benar apa yang digugat dan dipermasalahkan para anggota DPR tentang pembagian zonasi atau blok dalam KSA maupun KPA tersebut. Zonasi atau blok pengelolaan yang sudah ada nyaris tidak berguna karena banyak dilanggar dan tidak dipatuhi di lapangan.

Kasus-kasus penebangan liar dan pertambangan ilegal taman nasional seperti di TN Kerinci Sebelat di Sumatera dan TN Bogani Nani Wartabone di Sulawesi. Demikian juga dengan perambah hutan yang masuk dalam cagar alam Cyloop yang menyebabkan banjir di Kabupaten Jayapura dan Danau Sentani pada 2019. 

UU 41/1999 secara spesifik menyebut cagar alam tentang keunikan dan kekhasan zona inti taman nasional. Pasal 41 ayat (2) menyebut rehabilitasi hutan dan lahan (reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

Penjelasan pasal ini menyebut pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya. Dari aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan, zona inti taman nasional dan cagar alam mempunyai prioritas perlindungan yang paling tinggi (high protected priority) dibandingkan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam lainnya (suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata).

Sebagai kawasan yang mendapat prioritas perlindungan paling tinggi, zona inti mempunyai keunikan dan memperoleh perlakuan (treatment) khusus. UU 5/1990 pasal 32 dalam penjelasannya menyebut zona inti sebagai bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Kriteria penetapan zonasi dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivity of ecology), urutan spektrum sensitivitas ekologi dari yang paling peka sampai yang tidak peka terhadap intervensi pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti, perlindungan, rimba, pemanfaatan, koleksi, dan lain-lain.

Selain hal tersebut juga mempertimbangkan faktor-faktor: keterwakilan (representation), keaslian (originality) atau kealamian (naturalness), keunikan (uniqueness), kelangkaan (raritiness), laju kepunahan (rate of exhaution), keutuhan satuan ekosistem (ecosystem integrity), keutuhan sumber daya/kawasan (intacness), luasan kawasan (area/size), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan pencapaian (accessibility), nilai sejarah/arkeologi/keagamaan (historical/archeological/religious value), dan ancaman manusia (threat of human interference), sehingga memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian secara ketat atas populasi flora fauna serta habitat terpenting. Kriteria penetapan zonasi ini diperjelas oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.76/2015 tentang kriteria zona pengelolaan taman nasional dan blok pengelolaan suaka alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata alam.

Sayangnya, penataan kawasan taman nasional berupa pembagian zonasi, terkesan homogen  (seragam) dan kurang mempertimbangkan aspek topografis khususnya antara kawasan taman nasional yang berupa daratan (pegunungan dan dataran rendah) dan perairan (danau/rawa gambut dan lautan). Untuk penataan kawasan taman nasional yang bersifat daratan barangkali tidak terlalu sulit dengan kriteria yang disebut di atas.

Salah satu kelemahan mendasar pengelolaan taman nasional adalah mudah dibobol dan dijarah. Masalahnya karena kurang penjaganya. Luas taman nasional rata-rata di atas 100.000 hektare bahkan di atas 1 juta hektare. Sementara jagawana hanya berkisar 100-125 orang setiap taman nasional. Idealnya satu orang petugas jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200-250 hektare. Oleh karena itu, taman nasional seluas 100.000 hektare, membutuhkan jagawana minimal 500 orang.

Batasan zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya di taman nasional juga belum jelas dan nyata. Apalagi zona bahari bagi taman nasional wilayah perairan laut, batas zonanya pasti masih dalam angan-angan saking luas kawasan perairannya. Pembuatan tata batas antar zona membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar.

Pemerintah sebaiknya mulai memikirkan cara lain yang lebih tepat untuk menjaga taman nasional. Pelibatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan masyarakat setempat dalam menjaga, mengamankan dan mengawasi taman nasional wajib dilakukan untuk menghilangkan kesan para petugas di balai besar bekerja sendiri. Sebagai kompensasinya, masyarakat diberi kesempatan mengelola zona pemanfaatan melalui kemitraan konservasi untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 5/1990 pasal 34 ayat (3).

Ikuti percakapan tentang kawasan konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain