ISU kesetaraan gender kian merangsek ke pelbagai segi. Berdasarkan studi, mereka yang tidak memiliki kekuatan sosial besar di komunitas, karena tak bisa meyakinkan perempuan dan generasi muda.
Dalam sebuah studi Petr Matous di jurnal Agriculture and Human Values, memperlihatkan peran perempuan dan anak muda berperan penting dalam memajuakn pertanian kakao di Sulawesi, Indonesia. Menurut studi tersebut perempuan dan petani muda lebih mampu dan efektif dua kali lipat meyakinkan komunitas petani dibanding laki-laki dewasa.
Matous menganalisis data dari program pertanian kakao di Sulawesi yang dijalankan oleh SwissContact, sebuah LSM, sejak Maret 2020. Dia melakukan survei kepada 1.885 petani untuk mengidentifikasi pembentuk opini (opinion leader) di komunitas mereka. Pembentuk opini merupakan tokoh berpengaruh di komunitas mereka, dimana mayoritas diduduki oleh laki-laki dewasa.
Matous mendapatkan 18 opinion leader dan memilih 18 petani di luar opinion leader secara acak. Sebanyak 18 petani yang dipilih secara acak ini merupakan anak muda dan perempuan. Matous meminta kedua kelompok meyakinkan sebanyak mungkin petani mengadopsi teknik baru agar kesehatan kakao mereka meningkat. Teknik baru ini berupa penggunaan gunting pangkas dalam program Swisscontact.
Kelompok yang diisi anak muda dan perempuan ternyata mampu memberikan dampak yang lebih signifikan dibanding kelompok opinion leader. Namun, bukan berarti kelompok opinion leader tidak menghasilkan apa-apa. Mereka juga mampu meyakinkan petani-petani di komunitas mereka, namun dampaknya tidak signifikan.
Kenapa bisa begitu? Matous menduga ada fenomena influencer fatigue atau kelelahan pemengaruh. Fenomena ini terjadi ketika tokoh sosial dengan status tinggi sering diundang ke berbagai program atau komunitas untuk memberikan edukasi dan motivasi. Kehadiran dan status tokoh sosial atau opinion leader ini diakui oleh masyarakat. Namun, karena terlalu sering tampil dan masyarakat menemukan adanya kesenjangan status, masyarakat cenderung bosan dan tidak termotivasi.
Sedangkan, bagi mereka yang baru muncul di masyarakat dengan prestasi baru, mereka tidak merasakan adanya kesenjangan sosial, sehingga kehadirannya lebih mudah diterima dan lebih akrab. Selain itu, mereka yang baru muncul cenderung lebih membumi, terbuka terhadap pendapat, dan lebih segar dalam menyampaikan gagasan sehingga hal ini membentuk koneksi sosial yang dekat dengan masyarakat.
“Anak muda lebih mudah menerima inovasi dan teknologi baru dibanding laki-laki dewasa. Sehingga mereka dapat menjadi pionir dalam adopsi inovasi tersebut. Apabila hasilnya bagus, mereka dapat dengan mudah meyakinkan dan mengajak rekan petani lainnya untuk mengadopsi hal serupa,” kata Sylvia Sjam, ahli kakao dan profesor di Universitas Hassanuddin, kepada Mongabay.
“Sedangkan perempuan, mereka cenderung lebih rajin dan gigih dibanding laki-laki dewasa,” tambah Sylvia.
Temuan ini menunjukkan jika keterlibatan petani dari kelompok sosial berbeda bisa menyebabkan pergeseran struktur hubungan sosial masyarakat. Hasilnya, setiap elemen penduduk, terlepas dari status sosialnya, memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dikenal dan memiliki peran penting dalam komunitas.
Ditambah lagi dengan memahami peran dan keefektifan anak muda dan wanita dalam komunitas, mereka akan mendorong dan mengakselerasi adopsi pertanian berkelanjutan di masyarakat.
Bukan berarti pertanian berkelanjutan tak perlu melibatkan laki-laki dewasa. Sebab, laki-laki dewasa atau opinion leader tetap berperan penting. Mereka bisa menjadi pemrakarsa dalam program pengembangan. Sementara, generasi muda dan perempuan bertugas untuk menjamin bahwa program pengembangan tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan.
Membiarkan opinion leader tanpa peran juga bisa menimbulkan konflik dan menghambat inovasi. Sebaliknya, melibatkan setiap elemen masyarakat, baik itu opinion leader, generasi muda, wanita, dan petani biasa, akan meminimalisir konflik kepentingan, membuat program dan inovasi berjalan lebih lancar.
Peran penting generasi muda dalam adopsi pertanian berkelanjutan dan konservasi sendiri telah banyak dibuktikan dari beragam studi. Apalagi, generasi mudalah yang akan mewariskan planet ini di masa depan.
Namun, FAO mencatat masih banyak tantangan untuk melibatkan generasi muda dalam kegiatan konservasi dan adopsi pertanian berkelanjutan, terutama di negara berpendapatan menengah dan rendah. Seperti masalah pendidikan, akses kepemilikan lahan, akses ke green jobs, kemampuan finansial, politik, dan masih banyak lagi.
Ikuti percakapan tentang pertanian berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :