Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 April 2023

Mitigasi Karbon Biru yang Efektif

Mencegah deforestasi atau restorasi mangrove. Mana lebih efektif dan efisien?

Akar mangrove yang berjela-jela di Pulau Rambut Kepulauan Seribu menyimpan cadangan karbon biru yang besar (Foto: Asep Ayat/FD)

MENCEGAH selalu lebih baik dibanding mengobati. Pepatah ini tetap kita tujukan kepada lebih baik mencegah ekosistem mangrove hilang ketimbang merehabilitasinya karena hilang atau rusak. Biaya merehabilitasi selalu lebih besar dibanding mencegah kerusakannya.

Ekosistem mangrove adalah ekosistem unik yang ada di antara daratan dan laut, mengalami pasang surut dan terdiri dari vegetasi yang mampu beradaptasi terhadap kondisi tempat mereka tumbuh. Tempat tumbuh mangrove sangat dinamis karena salinitas (penggaraman) air laut yang tinggi, pasang-surut gelombang, erosi, dan lain-lain.

Dengan tempat tumbuh seperti itu, mangrove yang berhasil tumbuh membentuk ekosistem yang tahan banting. Ia melindungi pantai dari ancaman tsunami, mencegah erosi dan abrasi pantai, hingga tempat tumbuh flora dan fauna endemik, serta menyerap karbon lebih banyak dibanding ekosistem hutan daratan. Di era pemanasan global, karbon mangrove menjadi penentu keberhasilan kita dalam mitigasi krisis iklim.

Potensi Karbon Biru

Karbon mangrove sering disebut karbon biru, untuk membedakan dengan karbon di hutan daratan yang disebut karbon hijau. Kemampuan mangrove menyerap emisi karbon yang begitu kuat karena mereka memiliki perakaran nafas yang ekstensif (pneumatophores) sehingga mampu mengikat sedimen, serta kondisi tanah yang bersifat anaerobik, menyebabkan lambatnya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tanah.

Ekosistem mangrove di Indonesia yang saat ini seluas 3,3 juta hektare. Serapan karbon yang dikandungnya, menurut studi Daniel Murdiyarso dari CIFOR pada 2015 dan Alongi pada 2016, sebanyak 3-3,14 miliar ton setara CO2.

Dengan serapan dan simpanan karbon yang banyak itu, mangrove juga bisa berubah menjadi sumber emisi gas rumah kaca jika ekosistem tersebut mengalami gangguan, seperti alih fungsi lahan menjadi tambak, pertanian, atau peruntukan lainnya. Studi saya pada 2019-2022, juga studi Murdiyarso (2015), Richards & Friess (2016), dan Kauffman (2017) menunjukkan alih fungsi mangrove paling banyak adalah tambak udang.

Selama 3-4 dekade ke belakang, Indonesia telah kehilangan 40% hutan mangrovenya (Murdiyarso et al., 2015). Laju kehilangan mangrove di Indonesia tergolong cukup tinggi dibandingkan negara-negara pemilik mangrove di dunia. Pada 2009-2019, studi saya menghitung laju deforestasi mangrove Indonesia diperkirakan sebesar 18.209 hektare per tahun dengan potensi emisi sebesar 1.434.874 ton setara CO2 per hektare per tahun.

Hilangnya mangrove membuat pantai kehilangan fungsi-fungsinya. Daya dukung lingkungan terhadap kenaikan permukaan air laut berkurang. Hal paling penting, mangrove berubah menjadi sumber emisi gas rumah kaca karena mangrove yang rusak akan melepaskan emisi karbon yang tersimpan ke atmosfer. Pelepasan emisi karbon ini menjadi penyebab utama pemanasan global.

Untuk memulihkan ekosistem mangrove yang rusak dan terdegradasi akibat tingginya laju deforestasi mangrove di masa lalu, pemerintah telah menetapkan target restorasi mangrove seluas 600 ribu hektare dari tahun 2021-2024. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama oleh Kementerian Koordinasi Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah daerah. 

Pada 2021 ada kerja sama riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) KLHK dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mengenai kontribusi ekosistem mangrove dalam mitigasi perubahan iklim. Studi ini melaporkan kegiatan restorasi mangrove oleh pemerintah dari tahun 2020 hingga 2030 diprediksi mencegah emisi 8,9 juta ton CO2 per tahun ke atmosfer.

Namun jika Pemerintah Indonesia melakukan upaya pencegahan deforestasi dan degradasi ekosistem mangrove, emisi karbon yang tercegah masuk atmosfer sekitar 32 juta ton CO2 per tahun hingga 2030. Studi ini menyimpulkan pencegahan deforestasi dan degradasi ekosistem mangrove merupakan solusi iklim yang efektif jika dibandingkan dengan kegiatan restorasi (Arifanti et al., 2022).

Pencegahan deforestasi dan degradasi mangrove dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi mangrove, penguatan dasar hukum kebijakan untuk mendukung perlindungan ekosistem mangrove dari alih fungsi lahan, pengembangan ekowisata, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove, menciptakan sumber penghasilan non-kayu alternatif bagi masyarakat pesisir, dan lain-lain. Melalui kegiatan di atas, mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove bisa terjamin di masa datang.

Restorasi mangrove bukan perkara mudah, karena butuh biaya besar sejak perencanaan, koordinasi, realisasi kegiatan hingga pengawasan hasilnya. Bank Dunia (2022) memperkirakan butuh sekitar US$ 3.900 untuk merehabilitasi 1 hektar mangrove di Indonesia. Nilai ini mencakup biaya 10.000 bibit per hektare, pembangunan fasilitas dan infrastruktur persemaian, serta penanaman dan pemeliharaan bibit mangrove yang standar (World Bank, 2022). 

Dengan perbandingan-perbandingan itu, perlu strategi mengoptimalkan potensi mitigasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan keseimbangan antara konservasi, perlindungan, rehabilitasi, dan restorasi ekosistem mangrove. Jika keseimbangan perlindungan mangrove tercapai, setidaknya kita akan bisa mencegah emisi karbon ke atmosfer sebanyak 41 juta ton setara CO2 per tahun.

Ikuti laporan utama tentang karbon biru di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain